Deradikalisasi kerap diibaratkan sebagai upaya diagnostik terhadap "penyakit" radikal yang diidap seseorang dan kemudian mencari pengobatan yang tepat.
Ketepatan bisa berkait jenis obatnya, takarannya, dan juga cara pengobatannya. Namun, tahapan deradikalisasi yang dilalui secara sistemis ini sering kali masih saja "terpental" oleh ganasnya "virus" radikal yang melilit seseorang, padahal sudah melibatkan para pakar yang jawara mendiagnosis, diperkuat tim peneliti dan penindak berpengalaman serta didukung dana besar. Faktanya, radikalisme terus bertumbuh dan terorisme masih jadi ancaman.
Ada yang berceloteh mungkin hal ini karena militansi pegiat deradikalisasinya yang masih "loyo". Tak sekuat militansi kalangan radikal yang siap bekerja atas nama jihad. Entah kenapa mereka ini mudah tersihir oleh paham radikal sehingga tanpa pakai "ransum" yang menggiurkan mereka siap berjihad untuk menggalang kekuatan. Mereka mau dibodohi pakai dalil-dalil keagamaan yang disampaikan secara picik, tanpa pendidikan literasi yang sesuai standar (mu'tabar). Dan, nyatanya, mampu membakar semangat dan militansi yang menyala tiada padam.
Sungguh ini seakan membalik-balik logika mapan. Lagi-lagi kisah satu keluarga yang bersedia melakukan aksi bom bunuh diri di gereja di Surabaya, serta sederet cerita tentang tindakan melawan akal sehat lainnya, membuat kita terus mengaduk-aduk pikir sembari mencari jalan terbaik untuk deradikalisasi dan pencegahan dari paham radikal. Ternyata kita juga tidak lantas boleh "kalap" dengan melakukan kegiatan deradikalisasi dan pencegahan radikal secara masif, yang akhirnya tampak bersifat "seremonial" dan "selebrasi".
Merintis yang tercecer
Saya dibuat terkagum saat bertemu seorang pegiat deradikalisasi "partikelir". Dia bekerja sendirian dan dengan pendanaan mandiri. Istilahnya, ini "gerakan klandestin" (tandzim sirri). Ya, layaklah saya sebut dia "beraksi" secara "lone wolf". Dari keheningan dan semak-semak rimbun tak terlihat mata khalayak, tiba-tiba dia bergerak begitu gesit sehingga menghasilkan amaliyat yang bermanfaat. Saya berharap gerakannya ini kelak bisa lebih berkembang menembus batas sekaligus mampu membobol kebuntuan dalam program deradikalisasi dan pencegahan radikalisme.
Ceritanya, dia mendirikan sebuah komunitas baca dengan nama "Rumah Daulat Buku" (Rudalku) yang punya tagline: "Banyak Baca Jadi Terbuka, Banyak Bacaan Jadi Toleran". Rumah baca ini khusus diampu oleh eks narapidana teroris (napiter). Dengan militansi yang tinggi, dia berusaha mendorong eks napiter untuk mau mendirikan rumah buku, cukup di rumahnya. Tidak perlu buat tempat khusus yang hanya akan memakan biaya besar. Rumah bisa dijadikan tempat yang cocok untuk taman baca dan membangun kreasi serta ikhtiar yang bermanfaat secara nyata bagi penghuni dan masyarakat sekitarnya.
Saat ini sudah terbentuk beberapa rumah daulat buku di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara (Medan), dan Sumatera Selatan (Palembang). Jumlah ini masih akan terus berkembang berkat semangat, ketelatenan, dan kegigihannya mendekati serta mendorong eks napiter untuk mendirikan rumah baca tersebut.
Sepaket itu, dia juga mengadakan pengajian bulanan khusus bagi eks napiter secara berkala. Dalam pengajian ini dikumpulkan sekitar 10 eks napiter. Penceramahnya dari kalangan yang punya basis keilmuan keagamaan yang memadai. Dalam pengajian itu juga digunakan rujukan buku atau kitab untuk mendukung dan membuktikan kebenaran sikap moderat (wasathiyah).
Konsepnya sederhana. Eks napiter ini dulunya adalah orang- orang biasa yang menjalankan kehidupan keagamaannya secara normal. Bahkan tak jarang di antara mereka yang tadinya aktif di ormas keagamaan moderat dan kemudian "hijrah" ke jemaah radikal. Setelah mereka mengikuti pengajian dari para mentor yang keras, akhirnya mereka beralih wajah menjadi keras pula.
Pengajian yang mereka ikuti sifatnya kecil-kecilan, cukup di masjid atau juga di rumah. Bentuknya seperti lazim dipakai kalangan radikal adalah halaqoh, tarbiyah, atau usroh. Sebenarnya bukan semata "bentuk" indoktrinasinya, tetapi yang menarik adalah semangat dan ketelatenan dari mentornya untuk menanamkan pandangan-pandangan radikal keagamaannya. Dengan sikap mental seperti ini membuahkan hasil. Maka, tidak sedikit yang terbuai oleh doktrin keras mereka dan jadilah militan-militan yang tangguh yang siap berkorban demi cita-cita utopia.
Di sinilah model pengajian kelompok radikal ini dicoba copy paste. Lalu dibuatlah pengajian secara rutin dengan metode yang tidak jauh beda dengan yang dilakukan jemaah radikal. Tentu saja bedanya pengajian yang ini tujuannya untuk mengindoktrinasi moderasi keagamaan. Melalui pengajian moderasi dalam lingkup kecil ini, ternyata lebih tepat sasaran dan tepat metode.
Hasilnya cukup mengagetkan. Para eks napiter yang mengikuti pengajian tersebut merasa mendapat ilmu baru. Misalnya, mereka menjadi sadar ternyata tidak semudah itu menafsirkan ayat Al Quran dan hadis. Perlu metodologi dan rujukan ulama yang benar-benar tepercaya. Tidak seperti sebelumnya, mereka hanya mendapatkan informasi soal ayat yang disajikan secara "instan" seperti tentang jihad, tanpa ada penelaahan secara menyeluruh dengan berbasiskan metode penafsiran yang mendalam.
Pengajian ini satu paket dengan pendirian rumah buku, yang sesungguhnya menjadi landasan awal untuk moderasi bagi eks napiter dan juga pencegahan. Konsep literasi ini berdasar pada tesis bahwa radikalisme bisa menjangkiti seseorang karena kurangnya membaca. Sebaliknya, semakin seseorang banyak membaca, dia akan terbuka wawasan dan pengetahuannya sehingga tidak mudah terpengaruh paham radikal.
Agenda terpenting dalam pendirian rumah buku ini sejatinya hendak mendorong para eks napiter yang mendirikannya menjadi "agen perubahan" bagi masyarakat, minimal masyarakat sekitar rumah tinggalnya. Dengan rumah buku ini, mereka didorong untuk mampu menebarkan budaya baca dan menaburkan pikiran moderat kepada warga sekitar. Tujuan ini sekaligus bermanfaat di dua ranah, yaitu deradikalisasi dan pencegahan masyarakat dari bujuk rayu radikalisme.
Jihad baru
Upaya deradikalisasi selama ini belum merambah pada literasi untuk eks napiter. Gerakan literasi yang ada lebih banyak menyasar masyarakat umum dalam rangka pencegahan radikalisme, seperti pelatihan anti-hoaks atau mengelola media sosial yang sehat.
Komunitas pecinta buku dan taman bacaan memang sudah cukup bertumbuh di sejumlah daerah. Ini tentu fakta yang menggembirakan. Hanya saja, komunitas buku yang terbentuk hampir semuanya tidak menjamah para eks napiter. Artinya, para eks napiter belum diposisikan sebagai figur yang mampu mengelola taman baca. Mereka masih lebih banyak dijadikan sebagai "komoditas" yang ujungnya menjadikan mereka "anak manja" dan "matre", yang bila tidak ada bantuan materi mereka enggan untuk mengikuti program seperti deradikalisasi. Selain itu, mereka belum dipandang sebagai insan-insan yang bisa diubah haluannya dari "jihadis teror" ke "jihadis literasi" sebagai rintisan mewujudkan "jihad baru".
Kita perlu melahirkan lebih banyak "jihadis literasi" yang punya militansi tinggi, bekerja tanpa iming-iming, serta ditempa kegigihan dan ketelatenan. Radikalisme yang akarnya juga bersumber dari akibat kurang baca sudah seharusnya ditandingi dengan menggalakkan gerakan literasi untuk moderasi dan membentengi masyarakat dari pengaruh radikalisme. Kita yakin, literasi bisa mengikis radikalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar