Kekerasan di Sekolah
Guru yang miskin pengetahuan didaktik dan metode pendidikan, serta malas belajar psikologi perkembangan, lalu menghukum anak didik, itu sama saja dengan balas dendam atas ketidaktaatan anak terhadap perintah guru.
Guru yang demikian memandang anak didik seperti orang dewasa dalam ukuran kecil. Acuan yang dipakai adalah kebiasaan di rumah dan di lingkungannya, dijadikan ukuran menghukum anak didik. Maka, potongan kayu bisa dijadikan alat menyadarkan murid.
Itulah yang sering terjadi akhir-akhir ini. Kekerasan dalam rumah tangga membuat sebagian anak terjerumus dalam hidup negatif, seperti senang narkoba dan sejenisnya. Sebaliknya, kekerasan di sekolah akan memantapkan kesenangan anak melakukan tawuran, berlaku sadis terhadap teman, bahkan bisa mematikan masa depan anak.
Kita tidak bisa menoleransi kekerasan fisik sebagai metode menyadarkan anak didik. Kekerasan oleh guru di sekolah harus berlanjut dengan menyeret guru tersebut ke meja pengadilan dan dituntut dengan undang-undang perlindungan anak.
Seorang guru adalah seorang pejabat negara yang bertugas di kelasnya; perbuatan menghukum anak didik adalah kebijakan seorang guru di kelas atas interaksi yang terjadi selama proses belajar. Maka, hukumannya bukan di penjara, melainkan direhabilitasi dengan mengharuskan belajar psikologi perkembangan dan didaktik metodik.
Jika belum diatur dalam undang-undang, maka sempurnakanlah undang-undang guru dan cantumkanlah hal tersebut.
Firdaus Toboleu,
Ternate Utara, Maluku Utara
Tutup Jalan Umum demi Resepsi
Pada Minggu, 19 Agustus lalu, sekitar pukul 12.20, saat melewati Jalan Junjung Buih, Palangkaraya, saya kaget dan kecewa karena jalan raya (besar) tersebut ditutup total dengan alasan bahwa ada acara resepsi perkawinan warga setempat.
Jalan itu adalah jalan besar, bukan jalan atau gang kecil di perkampungan. Menurut petugas yang menjaga jalan di sana, penutupan jalan tersebut sudah mendapat izin dari pihak terkait.
Penutupan jalan itu sangat mengganggu warga umum dan merepotkan pengguna lalu lintas: harus memutar jauh.
Di Palangkaraya peristiwa semacam ini sering terjadi. Kami selaku penduduk Palangkaraya memohon pemangku kepentingan terkait dalam memberikan izin lebih mempertimbangkan kepentingan masyarakat lebih luas daripada sekadar kepentingan keluarga yang punya acara.
Akan lebih bijaksana jika resepsi perkawinan diselenggarakan di gedung saja. Pengguna jalan tidak terganggu.
Fransisco
Kecamatan Pahandut, Palangkaraya
Korban Gempa
Tulisan Daryono, "Sesar Naik Flores" (Kompas, 21/8/2018), menarik perhatian kita. Namun, ada pernyataan yang terasa bertentangan dalam tulisan.
Pada bagian akhir disebutkan, "Pelajaran dari peristiwa gempa Lombok menjadi dasar menata strategi mitigasi ke depan. Korban luka dan meninggal ternyata bukan disebabkan oleh gempa, melainkan akibat bangunan roboh yang menimpa penghuninya".
Pada bagian awal tulisan, ada pernyataan, "Rangkaian gempa kuat yang melanda Lombok telah merusak ribuan rumah dan menelan ratusan korban jiwa".
Di bagian belakang masih ada pernyataan, gempa Seririt (14 Juli 1976) "merusak 67.419 rumah dan menelan korban jiwa 559 orang" dan gempa Flores (12 Desember 1992) "menelan korban jiwa lebih dari 2.500 orang".
Mungkin maksudnya untuk mempermudah saja. Namun, dari sisi bahasa, bukankah sia-sia jadinya bila dikatakan "Korban luka dan meninggal bukan karena gempa"?
PAMUSUK ENESTE
Jl Mertilang, Bintaro Jaya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar