Hari Sabtu, satu minggu yang lalu, saya memutuskan untuk tinggal di rumah sepanjang hari. Kadang bosan juga kalau selalu keluar rumah. Dan, ternyata kebosanan itu bisa terjadi karena terlalu sering kumpul-kumpul. Nah, di tengah waktu leyeh-leyeh itu saya kepikiran tentang satu hal.

Mulut

Mulut saya ini diberi predikat mulut yang gak sekolahan. Maka, saya mulai mencoba berpikir apakah sebetulnya mulut gak sekolahan itu ada hubungannya dengan tingginya pendidikan atau sama sekali tidak berhubungan.

Saya menyelesaikan sekolah dengan baik meski tidak cemerlang. Orangtua lumayan mampu untuk menyekolahkan saya di sekolah, yang di zaman dahulu itu termasuk salah satu sekolah yang dianggap berkualitas sistem pendidikannya.

Saya tidak tahu, apakah untuk menyekolahkan ketiga anaknya, orangtua sampai berutang. Itu tak pernah diceritakan kepada kami anak-anaknya. Saya melakoni pendidikan standar seperti setiap anak Indonesia; SD, SMP, dan SMA. Selain pelajaran matematika yang saya tak sukai, maka pelajaran budi pekerti juga menjadi salah satu pelajaran yang saya dapatkan.

Setiap hari selama bertahun lamanya saya pergi ke sekolah. Dari pukul tujuh pagi hingga pukul 12 siang. Di zaman itu, pergi sekolah tak sampai sore hari. Nah, kalau saya pergi ke sekolah, itu berarti saya tak bisa meninggalkan mulut di rumah. Selama bertahun lamanya mulut itu ikut saya ke sekolah.

Makanya, saya agak heran kalau ada yang memberikan predikat bahwa saya ini adalah manusia yang mulutnya enggak sekolahan. Mungkin predikat itu karena mulut itu sejatinya memang diciptakan tak punya otak. Yang punya otak itu saya dan mulut hanya sebagai salah satu medium tempat otak bereaksi terhadap sebuah aksi yang datang.

Pelajaran budi pekerti tak hanya saya dapati di sekolah. Rumah sebagai sekolah tak resmi juga memberi saya pelajaran serupa. Yaaaa… dari ayah sebagai kepala rumah tangga dan ibu sebagai wakilnya yang kadang bisa menjadi kepala juga.

Di luar orangtua, tetangga dan kerabat keluarga juga turut dalam mengajari kami menjadi anak yang berbudi pekerti. Terutama pada waktu ayah hendak menikah untuk kedua kalinya, mereka memberikan pandangan agar kami menjadi anak yang tenggang rasa dan berempati untuk menyetujui pernikahan kedua itu terjadi.

Teori dan kenyataan

Tetapi, mungkin pelajaran di sekolah tak resmi ini sama seperti sekolah resmi. Pelajaran di kelas jauh berbeda dengan kenyataan di luar kelas. Teori dan kenyataan tampak seperti siang dan malam. Tak pernah bertemu.

Saya diajari untuk tidak boleh berbohong. Pembohong itu dibenci Tuhan, kata ibu. Sementara saat ayah berselingkuh, ia tak pernah memberi tahu. Ia melakukan dengan diam-diam dan berbohong kepada wakilnya dan anggota keluarganya.

Dalam pelajaran budi pekerti saya diajari bertahun lamanya, jangan pernah menyakiti orang, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Tetapi, dalam masa dewasa ini, mulut saya mendapat predikat setajam belati. Dianggap menyakitkan.

Mungkin karena mulut saya ikut hadir di sekolah, maka ia belajar sesuatu untuk menyakiti, saat saya sebagai murid didamprat dengan perkataan yang menjatuhkan mental karena tingkat kepandaian saya yang di bawah rata-rata oleh seorang kepala sekolah dari sebuah sekolah yang katanya berkualitas itu.

Pada saat yang bersamaan, kejadian itu juga membuat mulut saya belajar sesuatu. Bahwa kedudukan atau pendidikan setinggi apa pun yang dimiliki seseorang, perkataan kasar dan menjatuhkan tetap bisa dilakukan. Dan, bahwa mempermalukan orang lain di hadapan khalayak ramai itu sepertinya sah-sah saja.

Mungkin kalau sekarang Anda punya bos, teman, saudara, klien, atau melihat pejabat yang mulutnya seperti enggak sekolahan dan menjatuhkan, bisa jadi mulut mereka belajar sesuatu saat mereka mengejar ilmu di sebuah institusi bernama sekolah, yang ironisnya mengajari mereka budi pekerti itu.

Soal toleransi, soal empati, simpati, dan tenggang rasa semua saya dapati di sekolah. Ironisnya, saat kepala sekolah saya mengatai saya bodoh di depan semua murid, ia telah menunjukkan kalau ia tidak memiliki tenggang rasa dan empati.

Maka, kalau sekarang saya ini acap kali tak menunjukkan empati, kalau saya mampu menunjukkan simpati yang dibuat-buat, kalau perilaku saya tak mencerminkan sikap menghargai dan menghormati, kalau mulut saya bisa tanpa tedeng aling-aling membicarakan hal yang tidak pantas tanpa mampu melihat situasi dan perasaan orang, maka Anda tahu dari mana saya mendapati keahlian itu.