Apabila kita menyaksikan realitas pendidikan kita pada berbagai level di sejumlah daerah dewasa ini, maka mendiskusikannya  dalam konteks abad ke-21 atau era Revolusi Industri 4.0 rasanya terlalu mengawang.

Berbicara tentang internet of things, big data, kecerdasan buatan, teknologi robotika, cyber university, pendidik yang responsif, inovatif, dan adaptif. Sementara itu, kita tahu bahwa begitu banyak hal fundamental dari pendidikan kita yang memprihatinkan, di luar kewajaran, dan tentu saja tidak "terstandarkan".

Gedung-gedung sekolah/kampus yang rapuh di lorong sempit dengan fasilitas seadanya, para guru/dosen yang bersahaja tak bersemangat (akademis), dengan gaji/honor yang minim, sistem yang belum ajek dan berubah-ubah, serta para pemimpin dan birokrat pengelola pendidikan yang kurang peduli pada kemajuan, suka memolitisasi, dan terpaku pada "proyek", merupakan situasi riil pendidikan kita di tengah seliweran isu keren tentang masa depan.

Apakah informasi tentang kecenderungan masa depan tak penting dan diabaikan saja? Tidak juga begitu. Perkembangan budaya (global) adalah kenyataan tak terhindarkan dan prediksinya berkemungkinan besar akan terjadi karena ia tak lepas dari hukum kausalitas. Revolusi Industri 1.0 di abad ke-18, misalnya, merupakan kelanjutan dari revolusi ilmu pengetahuan yang terjadi pada abad ke-17, sementara revolusi ilmu pengetahuan itu sendiri di Eropa adalah perkembangan dari masa sebelumnya, yaitu renaisans dan aufklarung.

Oleh sebab itu, beragam informasi tentang abad ke-21 dan Revolusi Industri 4.0 perlu diperhatikan, dijadikan  cakrawala pemikiran, tetapi bukan alasan atau tujuan utama dalam membuat kebijakan yang malah dapat menjauhkan pendidikan nasional dari tujuannya.

Pendidikan nasional harus dijalankan secara kontekstual dan fungsional. Artinya, operasionalisasi pendidikan mesti didasarkan pada konstitusi, situasi, realitas, dan kebutuhan bangsa. Bukan pada pesona dan fantasi dunia (luar) global yang dianggap serba maju, tetapi jauh dari kenyataan kita.

Pendidikan kita harus berakar pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat pendukungnya yang secara sosial budaya serta lingkungan alamiahnya berbeda. Oleh sebab itu, nilai-nilai kewarganegaraan (good citizen), kekaryaan (good worker), dan nilai kemanusiaan (good human/manusia seutuhnya/insan kamil) yang hendak dihasilkan oleh pendidikan  dalam berbagai dimensinya juga berbeda. Dengan demikian, dunia pendidikan kita tak perlu latah meniru negara maju dalam merespons beragam perkembangan dunia kekinian.

Memajukan pendidikan nasional bukanlah sekadar persoalan bagaimana mendigitalisasi atau menggunakan beragam teknologi canggih sebagai perangkat pembelajaran. Bukan sekadar mengganti kapur dan papan tulis dengan remote control dan screen/slide. Lebih dari itu adalah bagaimana proses pembelajaran dapat "memodernisasi" pikiran sehingga para murid mampu berpikir komputasional (computational thinking) yang memungkinkan mereka nantinya dapat memecahkan berbagai masalah kehidupan yang rumit secara lebih rasional, tepat, dan efektif.

Oleh sebab itu, meskipun kita sangat terlambat menyadarinya, pembelajaran yang mengembangkan kemampuan berpikir/bernalar (tingkat tinggi), selain sangat penting, adalah tuntutan konstitusi kita.

Mencerdaskan dan berpikir tingkat tinggi

Dunia pendidikan kita dewasa ini seperti baru siuman, lalu meracau tentang "berpikir tingkat tinggi" (higher order thinking skills/hots) dari taksonomi Benjamin Bloom yang dipopulerkan negara-negara maju. Kemudian menyaksikan lemahnya kemampuan murid kita dalam hots seperti ditunjukkan oleh berbagai hasil penilaian (assessment) seperti PISA dan TIMSS.

Secara remang-remang mulai menyadari bahwa praktik pendidikan kita selama ini tidaklah mencerdaskan dalam arti sesungguhnya. Alhasil tampak pada kualitas intelektual, moral, dan praktikal yang kerap kali tak proporsional dan tidak fungsional dalam keseharian kita.

Adalah kenyataan ironis, suatu bangsa yang para pendirinya sejak awal mencantumkan  "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai salah satu tujuan negara, tetapi proses pendidikannya tidak menjadikan anak-anak bangsa lebih cemerlang pikirannya, lebih baik budinya, dan oleh karena itu juga tak lebih sejahtera hidupnya dari pendahulunya.

Itu terjadi karena bangsa ini dalam pembangunannya terlalu banyak melihat keluar (outward looking) dan tak membiasakan diri menghargai dan memulai dari apa yang dimilikinya sendiri sehingga amanat konstitusi, berbagai konsep, kekayaan budaya dan kekayaan alamiah tidak terelaborasi secara memadai. Barulah heboh jika  muncul dari dan diklaim oleh bangsa lain.

"Kecerdasan" yang dipikirkan oleh bapak bangsa tentunya bukan sekadar sofisme, seperti kebanyakan ucapan para pejabat sekarang ini, melainkan muncul dari pemahaman mendalam tentang filsafat manusia dan peran penting kecerdasan insani sebagai basis pengendalian kehidupan berbangsa dan bernegara.

Begitu pentingnya kecerdasan bagi kehidupan,  para pendiri bangsa bahkan tak memilih kalimat, misalnya "meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia" atau "membangun karakter" sebagai misi pembangunan manusia Indonesia di alam merdeka. Mereka kiranya paham bahwa pencerahan akal budi merupakan substansi bagi pembentukan sikap keagamaan, watak, kemajuan, dan marwah bangsa di kemudian hari.

Maka, pendidikan yang dikembangkan di negeri ini sejak dulu seyogianya adalah yang memuliakan akal sehat, mengembangkan nalar dalam konteks "ke-kita-an". Untuk itu, institusi pendidikan seharusnya bersifat inklusif yang memungkinkan suatu bangsa berkembang dengan tenaga, kemampuan, dan kecerdasan yang ada pada bangsa itu sendiri dan bukan karena suatu kekuatan dari luar (Ignas Kleden, Kompas, 15/5/ 2018).

Pembelajaran dialogis

Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang responsif terhadap keragaman karakteristik dan kebutuhan anak serta kebutuhan masyarakat/bangsa pendukungnya. Anak dalam eksistensinya adalah makhluk sarat potensi (homo potens) yang berkembang secara dinamis menurut kondisi lingkungan yang melingkupinya. Howard Gardner (1983) menyebutkan adanya kecerdasan majemuk (multiple Intelligences) yang satu atau beberapa di antaranya dimiliki anak. Maka, guru dan sekolah dalam pembelajarannya, selain secara general, dituntut memberikan perhatian pada dan memfasilitasi pengembangan potensi murid secara individual.

Pengembangan potensi kecerdasan dalam berbagai dimensinya harus didasarkan pada kemampuan berpikir atau bernalar. Untuk itu, pembelajaran yang dialogis perlu dihadirkan di kelas dan sekolah kita.  Undang-Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003  Pasal 1 Ayat (1) pun telah mendefinisikan pendidikan utamanya sebagai upaya mengondisikan suasana dan proses.

Pentingnya suasana dan proses pembelajaran yang bersifat dialogis karena para murid "diwongke" dengan diberikan ruang untuk mengartikulasikan pikiran dan perasaannya melalui kata-kata selain menumbuhkan harga serta kepercayaan diri yang diperlukan dalam berkomunikasi. Menurut beberapa teori klasik (Plato dan Aristoteles) dan modern (JB Watson dan Ludwig Wittgenstein) bahwa antara berpikir dan berbahasa memiliki saling keterkaitan yang saling menguatkan. Berdialog dan menata ungkapan dalam bahasa dapat berarti menajamkan dan mengonstruksi pikiran. "Bahasa didirikan berdasarkan pikiran," kata Wittgenstein.

Meskipun tampak sederhana, pembelajaran dialogis tidaklah mudah diterapkan oleh guru/dosen karena menuntut adanya rasa merdeka, sikap terbuka, seni mendengar, dan kesabaran yang tinggi. Sementara para pendidik kita masih seperti penguasa tunggal yang lebih suka didengar dan sensitif terhadap perilaku yang berbeda dari para murid.

Diperlukan tidak hanya kecakapan dalam memodifikasi didaktik-metodik dan teknik mengajar, tetapi lebih daripada itu dituntut adanya perubahan filosofi, growth mindset, dan faktor-faktor esoteris lainnya dari kepribadian yang men-drive kinerja guru dan dosen. Selain kompetensi pendidik—khususnya kompetensi kepribadian sebagai basis operasional pedagogi dan profesi—kunci pendidikan nasional agar lebih fungsional adalah kebijakan yang kontekstual dengan misi, situasi, dan kebutuhan bangsa/negara.