Tanggal 10-12 Agustus ini berlangsung Festival Lima Gunung ke-17 di Dusun Wonolelo, Desa Bandongan, Magelang, Jawa Tengah. Tahun lalu tema festival "Mari Goblok Bareng". Kali ini agaknya penyelenggara melihat keadaan belum berubah dari tahun (bahkan abad) sebelumnya. Tema tahun ini: "Masih Goblok Bareng".

Komunitas Lima Gunung (terdiri dari seniman dan petani dari gunung-gunung yang mengelilingi Magelang, yakni Merbabu, Merapi, Andong, Sumbing, dan Menoreh) menyelenggarakan festival secara mandiri, gotong royong, tidak bergantung kepada pemerintah dan kekuatan modal konglomerat. Mereka bergantung semata-mata pada kekuatan alam dan spirit kebudayaan. Provokator utamanya Sutanto dari Mendut.

"Jangan jadi seniman yang hanya bisa gondrong, nunggu diundang pentas, kalau tidak ada pementasan dheleg-dheleg, lemas, sedih, kesepian. Setiap hari harus tetap kerja keras," ucap Sutanto kepada Hari Atmoko, wartawan Antara. Di antara wartawan, Hari Atmoko paling rajin dan setia mencatat perjalanan Komunitas Lima Gunung. Selalu berada di antara orang-orang dusun, para seniman, petani, ngobrol, dan ikut runtang-runtung ke sana-kemari, ia adalah wartawan langka di era milenial.

Komunitas ini sifatnya sangat terbuka. Anggota dan simpatisannya ada di berbagai kota. Sastrawan, wartawan, penari, dosen, pengusaha, pensiunan, rohaniwan, play boy, dan siapa saja yang tidak mengalkulasi waktu dalam produktivitas industri, ikut meramaikan festival setiap tahun. Acara berupa pertunjukan, pameran, peluncuran buku, pidato kebudayaan, jagongan, dan lain-lain.

Panggung dan instalasi mereka selalu menggetarkan. Bahannya bambu, jerami, rumput, kelaras, serta bahan-bahan apa pun yang terdapat di desa. Dalam istilah arsitektur—bukan dalam istilah arsitek kota yang cuma hafal istilah "modern minimalis"—mereka membangun dengan sifat vernacular: apa adanya, fungsi dan material menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebutuhan, kreatif, memendam daya hidup rakyat setempat.

Intensitas sesrawungan menjaga kewarasan mereka. "Mari Goblok Bareng" dan "Masih Goblok Bareng" adalah hasil observasi atas keadaan sosial kita yang tambah hari tambah bersemangat merayakan kebodohan. Pertanian dahulu diganti industri manufaktur, industri manufaktur diganti industri jasa, selanjutnya industri jasa diganti industri informasi. Kalau rentetan sebelumnya menghasilkan citizen, industri informasi telah membawa masyarakat masuk dunia digital, menjadi netizen.

Bergantinya istilah dari citizen menjadi netizen bisa dilihat sebagai simbol ambruknya demokrasi. Citizen—dulu ada pelajaran civic alias kewarganegaraan—merupakan istilah yang di dalamnya mengandung hak-hak dan kesamaan warga negara. Hak-hak dan kesamaan tadi berada dalam ranah politik.

Dengan berubahnya citizen menjadi netizen, hak-hak tadi dipahami secara membabi buta sebagai kesamaan dalam semua hal. Pokoknya sama dalam segala ranah: politik, agama, intelektual, dan lain-lain termasuk isi otak. Pintar bodoh dianggap sami mawon. Kritikus kalah oleh riuh-rendah pinggir lapangan dan celoteh Twitter.

Otoritas-otoritas lama runtuh, kebenaran tinggal kenangan. Istilah yang populer sekarang: post truth. Tom Nichols, profesor dari Amerika, menulis buku The Death of Expertise. Kepakaran telah mati.

Di situ ia mengutip Ortega y Gasset, yang pada tahun 1930 telah memperingatkan bahaya kekuatan massa: "Themass crushes beneath it everything that is different, everything that is excellent, individual, qualified and select. Anybody who is not like everybody, who does not think like everybody, run the risk of being eliminated."

Massa menghancurkan apa saja yang dianggap berbeda, sesuatu yang sempurna, individu, berkualitas, dan terpilih. Siapa saja yang tidak seperti orang kebanyakan, tidak berpikir seperti orang kebanyakan, berisiko dilenyapkan.