KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT

Para pemimpin yang tergabung dalam perhimpunan negara-negara Asia Tenggara (Asean) bergandengan tangan bersama di Manila, Filipina, Sabtu (29/4/2017). Prosesi ini dilakukan usai penandatanganan Visi Asean 2025. Visi ini menitikberatkan pada layanan masyarakat agar kuat secara politik, terciptanya ekonomi inklusif, dan terbangunnya kepedulian sosial. 

Terletak di persimpangan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, kawasan Asia Tenggara merasakan pengaruh dari adu kepentingan antarkekuatan besar.

Organisasi Negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN berdiri pada 1967 melalui Deklarasi Bangkok ketika dunia mengalami Perang Dingin. Deklarasi Bangkok ditandatangani oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

Saat Deklarasi Bangkok disepakati, perebutan pengaruh berlangsung antara Amerika Serikat yang bersama sekutunya tergabung dalam Blok Barat dan Uni Soviet yang memimpin Blok Timur. Dampak Perang Dingin sungguh terasa di Asia Tenggara. Perang Vietnam yang melibatkan AS berlangsung bertahun-tahun dan menyebabkan jutaan orang meninggal dunia.

Kini Perang Dingin telah berakhir. Vietnam, Laos, dan Kamboja yang dulu terlibat dalam perang telah damai dan bergabung dengan ASEAN. Ditambah Brunei Darussalam serta Myanmar, 10 anggota ASEAN sepakat untuk menjaga kestabilan dan perdamaian. Hanya dengan cara itu, pertumbuhan berkelanjutan diyakini dapat berlangsung di Asia Tenggara.

Seiring perkembangan ekonomi, negara-negara di kawasan Asia kian makmur. Perdagangan lewat laut di kawasan Asia— melalui Laut China Selatan serta Samudra Hindia—menjadi kunci kemakmuran. China adalah salah satu negara yang merasakan manfaat sangat besar dari perdagangan lewat laut tersebut. China yang tumbuh sangat besar dengan kekuatan ekonomi raksasa telah menjadi aktor penting di Asia. Kekuatan militernya menggentarkan. Pengaruh ekonominya merasuk hingga ke pelosok negara-negara Asia Tenggara, yang berwujud antara lain berupa mainan anak-anak hingga bus-bus transportasi umum.

Klaim Beijing atas Laut China Selatan juga berdampak mendalam atas negara-negara Asia Tenggara. Pembangunan infrastruktur pendukung operasi militer yang dibangun Beijing di gugus pulau sengketa mengundang kritik dari AS, pemilik armada militer terbesar di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

Kondisi tersebut menjadi konteks saat pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) berlangsung, kemarin, di Singapura. Menlu Amerika Serikat, China, India, Australia, dan Jepang juga diundang dalam kegiatan ini.

Para Menlu ASEAN membahas antara lain gagasan Indo-Pasifik (area dari Samudra Pasifik hingga Samudra Hindia) sebagai wilayah yang harus terbuka sekaligus aman. Mereka juga membicarakan isu tata perilaku dengan China agar persoalan di Laut China Selatan tak berujung pada konflik bersenjata. Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dalam pembukaan AMM mengingatkan anggota ASEAN bahwa tekanan negara-negara besar yang berebut pengaruh sedang terjadi di Asia Tenggara.