Hingga kini luas area persawahan terkena kekeringan kurang dari 15 persen total luas panen, tetapi dampaknya terhadap produksi beras tak dapat diabaikan.
Kementerian Pertanian menyebutkan, area persawahan yang terkena kekeringan sejak awal tahun hingga 24 Agustus seluas 134.790 hektar dari total luas tanaman padi yang diklaim mencapai 9,15 juta hektar.
Kekeringan tahun ini menjadi perhatian mengingat ada perkiraan Indonesia akan mengalami gejala iklim El Nino. Dinamika iklim tersebut diperkirakan terjadi mulai September 2018 hingga April 2019. Di Indonesia, kejadian iklim ini menyebabkan berkurangnya curah hujan meskipun dampaknya diperkirakan tidak akan separah El Nino pada 2015.
Sejumlah daerah, termasuk sentra padi, sudah merasakan pengaruh musim kemarau ini. Kurangnya curah hujan mendorong mereka mencari sumber-sumber air, antara lain melalui sumur pompa.
Bagi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa dan beriklim tropis basah, datangnya musim kemarau silih berganti dengan musim hujan adalah hal biasa.
Musim kemarau menjadi tidak biasa dampaknya ketika terjadi perubahan iklim. Perubahan iklim akibat pembakaran gas karbon menyebabkan efek rumah kaca sehingga meningkatkan suhu muka Bumi. Hal tersebut memicu perubahan iklim mikro dan global, termasuk pola curah hujan.
Musim kemarau, ada El Nino atau tidak, akan menjadi masalah ketika pengelolaan air belum sistematis dan belum berjalan baik. Pengelolaan air harus dilakukan dari hulu hingga hilir sebagai satu kesatuan, tidak dapat sepenggal-sepenggal.
Harus kita akui pengelolaan air kita, terutama di Jawa, belum berjalan baik. Kawasan hulu sungai sebagai sumber tangkapan air terancam kelestariannya, sementara daerah aliran sungai bercampur baur pemanfaatannya dengan permukiman dan pertanian. Akibatnya sangat terasa. Saat tiba musim kemarau tinggi, muka air sungai surut cepat. Sementara ketika tiba musim hujan, sungai ditakuti karena menjadi ancaman banjir.
Pangan, terutama beras, bahkan setelah 73 tahun Indonesia merdeka, masih menjadi komoditas bersifat politik. Pemerintah dari waktu ke waktu menjaga ketersediaannya dengan segala daya, termasuk membangun waduk dan embung untuk memastikan ketersediaan air serta pompanisasi saat kemarau.
Namun, waduk dan embung hanyalah hilir dari sistem pengelolaan air. Kita belum bersungguh-sungguh menangani bagian hulu, yaitu ketersediaan hutan yang cukup sebagai daerah tangkapan air dan daerah aliran sungai.
Dengan perubahan iklim diyakini sedang terjadi, sementara kita harus berdaulat pangan, kita perlu menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengelola air. Kita memulai dengan mengumpulkan big data cuaca melalui satelit cuaca milik sendiri serta memperbanyak dan melengkapi stasiun cuaca.
Penggunaan iptek di banyak negara dapat memprediksi akurat pola cuaca dan iklim serta berperan penting dalam perencanaan produksi pangan dan mencegah bencana.
Kompas, 28 Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar