Dalam berbagai rilis lembaga survei mengenai pilihan masyarakat terhadap calon presiden dan juga calon wakil presiden senantiasa berkisar 20-30 persen.
Hal itu tentu peluang politik signifikan bagi kedua pasangan untuk meraup suara kelompok tersebut guna memastikan kemenangan mereka. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah suara kelompok ini bisa menjadi sangat militan, tetapi saat bersamaan juga bisa jadi sangat apatis, bergantung pada asupan informasi yang didapatkan.
Kelompok ini merupakan cerminan dari masyarakat kelas menengah Indonesia yang notabene melek politik, tetapi belum jelas arah politiknya. Sekalipun dikatakan bahwa mereka adalah kelompok partisan non-partai karena lebih mengandalkan pada sosok figur yang didukung. Namun, apabila ada perbedaan kontras antara figur dan pilihan hati bisa jadi terjadi kemungkinan antara tetap memilih figur tersebut, berpindah suara, ataupun mungkin saja menjadi golongan putih (golput). Dari ketiga kemungkinan tersebut, menjadi golput adalah pilihan terakhir manakala kandidat tidak berhasil meyakinkan pemilihnya.
Peta politik kelas menengah Indonesia sebenarnya dilihat dalam tiga bentuk besar: milenial, religius, urban. Ketiganya saling berkorelasi—juga berkontestasi—satu sama lain dalam mengisi populasi kelas menengah Indonesia.
Jika ditinjau dari faktor materi dan intelektualitas, jelas mereka adalah kalangan yang menikmati semua fasilitas dan akses dari pertumbuhan ekonomi negara, yang secara otomatis melahirkan adanya kalangan terdidik. Namun, ditinjau secara moralitas dan emosional, posisi kelas menengah Indonesia berada dalam pilihan antara partisan, netral, dan oposisi, yang semua itu bergantung pada jumlah informasi yang mereka dapatkan.
Adanya identifikasi diri sebagai "cebong" ataupun "kampret" mungkin bisa dikatakan sebagai puncak gunung es dari kemampuan literasi digital kelas menengah Indonesia. Mereka condong menerima informasi yang disesuaikan dengan latar belakang sosial ekonomi. Pertimbangan tersebut juga menjurus pada konteks frekuensi akses internet, yakni intensitas berinternet akan berdampak terhadap penerimaan informasi yang beragam.
Namun, faktanya, kelas menengah Indonesia justru mudah mengalami kebingungan ketika dihadapkan pada beragam informasi tersebut. Pada akhirnya mereka menjadi rentan untuk senantiasa disusupi berita-berita picisan dan palsu, yang secara berangsur-angsur akan "menjadi" kebenaran.
Saat ini dengan mudah labelisasi figur disematkan pada status media sosial seseorang manakala menanggapi suatu hal. Hal semacam itu sungguh sangat tak elok karena percakapan di media sosial akan menjadi panas. Namun, bagi kalangan politisi, situasi ini tentu akan mereka manfaatkan untuk menjaring suara sebanyak-banyaknya. Sebab, sekarang pola kampanye politik lebih mengandalkan algoritma media sosial daripada kampanye terbuka.
"Cerdas", tapi irasional
Secara umum, orientasi politik kelas menengah Indonesia ini terpecah antara makro (seputar kondisi ekonomi politik negara secara umum) dan mikro (realitas hidup yang mereka jalani). Sering kali mereka membenturkan dua hal ini sebagai basis informasi individual maupun kolektif sehingga kadang kala mereka menjadi cerdas secara insidental, tetapi irasional secara mental.
Hal itu terjadi karena penerimaan informasi yang tidak seimbang sehingga kemudian ditambah bumbu religius dan bumbu identitas sebagai tambahan informasi yang tak perlu. Situasi seperti ini jelas menjadi pekerjaan besar bagi petahana untuk bisa menjelaskan secara detail mengenai kondisi negara secara makro dan dampaknya pada kehidupan sehari-hari melalui penjelasan teknis sederhana.
Namun, bagi pihak kompetitornya, situasi ini menjadi berkah karena mereka bisa menyuplai informasi-informasi yang dirasa penting—meski tak sesuai data dan fakta—untuk menyulut emosi dan psikologis kelas menengah Indonesia.
Oleh karena itu, konteks literasi kritis menjadi butir penting bagi kita dalam menelaah informasi. Strategi SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) memang masih berlaku, tetapi yang perlu diwaspadai adalah soal rekayasa data dan fakta yang lebih krusial. Sebab, ia bisa jadi polemik berkepanjangan; entah sebagai pembenaran atau penolakan terhadap figur tertentu, baik dalam pemilu maupun non-pemilu.
Komposisi capres dan cawapres pada Pemilu Presiden 2019 bisa dikatakan unik karena bersinggungan dengan komposisi kelas menengah Indonesia yang telah terbentuk sebelumnya. Kalangan milenial diduetkan dengan kalangan nasionalis dan kalangan religius dikaitkan dengan sosok populis ini tentunya akan mendramatisasi perdebatan seputar penolakan dan penerimaan figur tersebut.
Tentu kita paham, adanya fenomena "Relawan Jokowi", "Teman Ahok", dan juga "PA 212" itu adalah wujud ekspresi kelas menengah urban yang ingin jadi partisan, di mana mereka saling bersaing satu sama lain. Oleh karena itu, menimbang adanya komposisi capres dan cawapres ini, tentu akan membutuhkan negosiasi cukup panjang antar-berbagai segmen kelas menengah ini agar bisa dalam satu suara. Ada kemungkinan bahwa ada relasi mesra antar-pendukung sesaat karena komposisi kandidat tersebut, tetapi juga bisa ada relasi sengit antar-pendukung.
Sebagai pemilih, jangan sampai kita terombang-ambingkan oleh maraknya informasi dan tidak membuka ruang komunikasi dengan kalangan pemilih yang berbeda latar belakang sosial ekonominya. Semakin memanasnya suhu politik perlu diimbangi dengan kemampuan nalar yang cukup. Tentu saja kalau kita ingin menjadi pemilih cerdas dengan pertimbangan hati nurani dan bukan karena faktor emosi semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar