Tanggal 15 Agustus 2018, sebanyak 1.914 anggota komisioner Badan Pengawas Pemilu dari 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia dilantik di Jakarta.
Pelantikan ini merupakan tahapan akhir dari proses seleksi dan penetapan anggota Bawaslu kabupaten/kota, yang sebelumnya bersifat ad hoc menjadi lembaga permanen lima tahun. UU Pemilihan Umum (UU No 7/2017) memang telah mengamanatkan tentang itu.
Namun, pelantikan itu melahirkan "prahara". Sebagian besar yang dilantik adalah komisioner petahana yang terpilih dari UU lama (UU No 15/2011). Sumatera Utara melewatkan lebih dari 80 persen komisioner petahana. Aceh bahkan meloloskan 100 persen! Penambahan hanya terjadi untuk posisi komisioner yang tidak lagi mendaftar atau kabupaten yang mensyaratkan lima komisioner sehingga hanya menambah dua orang baru untuk melengkapi.
Diskriminasi seleksi
Mengapa ini terjadi? Hal itu tak lepas dari mekanisme seleksi pada Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) No 10/2018. Esensinya sudah mengandung nilai-nilai ketidaksetaraan dan diskriminatif. Calon peserta baru dan petahana memiliki titik berangkat seleksi yang tidak sederajat.
Para petahana langsung melaju hingga garis akhir seleksi, yaitu uji kelayakan dan kepatutan oleh Bawaslu provinsi, tanpa terjatuh pada setiap tikungan. UU Pemilu terbaru tidak mengatur proses "seleksi diskriminatif" itu, tetapi "norma baru" itu terdapat di dalam Perbawaslu.
Seleksi itu akhirnya memberikan privilese kepada para petahana, seperti tidak perlu mengikuti tes tertulis dan wawancara. Seleksi kesehatan dan psikologi memang diikuti oleh petahana, tetapi tidak memengaruhi posisi mereka pada proses seleksi.
Memang tidak semua proses seleksi berwajah buruk. Pasal pembobotan daftar riwayat hidup (curriculum vitae) bagi calon peserta adalah hal baik untuk meminggirkan orang yang hanya memiliki motivasi sebagai pencari kerja, tetapi tidak punya riwayat kepemiluan, baik sebagai pengamat, penyelenggara, maupun pemantau. Motivasi ekonomi harus diperkecil oleh idealisme menegakkan pemilu yang demokratis. Itu hanya mungkin jika peserta telah memiliki riwayat pengalaman dan pengetahuan kepemiluan sebelumnya.
Namun, model ini melahirkan ambiguitas. Di tengah proses seleksi, Bawaslu ikut mengubah panduan seleksi sehingga aspek kepastian hukum dipertanyakan.
Sikap ini ikut mencitrakan Bawaslu sebagai lembaga kurang profesional, adil, tertib, efektif, dan efisien dalam bekerja. Termasuk meluluskan para petahana yang memiliki catatan negatif dan berkinerja buruk, baik yang disampaikan publik maupun tim kesekretariatan. Seleksi seharusnya menjadi instrumen proporsional; yang baik diambil atau dipertahankan, sedangkan yang buruk dipinggirkan atau diganti.
Partisipasi publik kurang jadi pertimbangan. Komisioner Bawaslu RI kelihatan sulit memberikan kesempatan bagi peserta baru yang belum bercacat; malah mempertahankan "orang lama" dengan alasan yang "ambivert". Bawaslu pasti kesulitan menyeleksi ribuan daftar calon komisioner dari 500-an kabupaten/kota dengan waktu sedikit dibandingkan dengan memercayai keputusan tim seleksi dan komisioner Bawaslu tingkat provinsi yang dekat dengan peserta dan merekam semua masukan dan catatan penilaian.
"Wajah Janus"
Sikap non-progresif ini akhirnya menjadi "baju kebesaran" bagi lembaga yang telah berumur satu dasawarsa pada April 2108 ini. Dibentuk pertama kali berdasarkan UU No 22/2007 dengan peran pengawasan yang minimal, kini Bawaslu telah menjadi lembaga yang memiliki kewenangan penindakan yang komplet: dari memeriksa, memediasi, mengajudikasi, hingga memutus penyelesaian proses sengketa pemilu (Pasal 95 UU No 7/2017). Kematangan fungsi dan wewenang Bawaslu sudah melampaui umurnya jika dengan dibandingkan Komisi Pemilihan Umum.
Namun, fungsi optimus prime Bawaslu ini bisa "berwajah Janus". Di satu sisi semakin berwibawa dengan kewenangan memutuskan pelanggaran pemilu secara mandiri, tetapi di sisi lain bisa menjadi hakim yang otoriter lagi tiran ketika gagal menyerap nilai, norma, dan etika demokrasi elektoral.
Pada kasus Peraturan KPU (PKPU) No 20/2018 yang melarang caleg bekas narapidana koruptor, teroris, dan paedofilia untuk menjadi peserta pemilu, Bawaslu bersikap konservatif dengan menepikan putusan KPU tersebut. Bawaslu melihat PKPU itu sangat antagonistik, seperti juga untuk hampir semua PKPU. Di beberapa daerah, seperti Aceh, Sulawesi Utara, dan Tana Toraja, Bawaslu memenangkan politikus koruptor untuk bisa menjadi peserta pemilu. UU Pemilu memungkinkan Bawaslu menjadi "hakim", tetapi bukan untuk menjadi "Mahkamah Agung" dengan mengabaikan PKPU tanpa proses pengujian ke lembaga peradilan tertinggi (Pasal 76).
Sebaliknya, pada kasus mahar politik "Rp 500 miliar kali dua" yang dituduhkan Andi Arief kepada Sandiaga Uno, Bawaslu cenderung menjadi penguin yang bergerak lamban dan pasif. Ada rasa jeri ketika menangani "bukti-bukti pelanggaran pemilu" yang berhubungan dengan orang kuat.
Sikap ini sungguh disesalkan. Tuduhan itu bukan sepincuk gosip di balai dusun atau lapau nasi minang, melainkan telah menjadi isu publik. UU mengamanatkan Bawaslu untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran pemilu, berkoordinasi dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dan mendorong partisipasi publik demi mencegah pelanggaran (Pasal 93 Ayat (i) dan Pasal 94). Jika dilakukan pembiaran, pelaku pelanggaran bisa menjadi predator demokrasi. Besarnya harapan publik pada peran pengawasan pemilu yang paripurna hendaknya menjadi idealisme dan cara pandang Bawaslu dalam bekerja.
Demokrasi kesejahteraan akan hadir jika demokrasi elektoralnya berkualitas. Demokrasi elektoral berkualitas jika para penyelenggaranya juga berkualitas dan berintegritas. Jangan biarkan demokrasi elektoral mengalami sakit dan stagnasi seperti pada satu dekade terakhir. Peran penyelenggara yang belum optimal memperbaiki kualitas kepemiluan menjadi salah satu ceruk stagnasi demokrasi (Kompas, 16 Agustus 2018).
Perbaikan harus segera, dimulai dengan reformasi birokrasi sekretaris jenderal yang tidak berubah selama tiga periode. Kebekuan ini bisa menyebabkan involusi politik dan akar korupsi bertumbuh.
Ingat, pengawasan pemilu yang baik dan bermartabat adalah syarat hadirnya momen politik elektoral yang wangi dan indah sehingga memekarkan bunga-bunga demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar