ISTIMEWA

Sutradara film Livi Zheng berbicara di Kongres Pancasila, Kamis (24/8/2018). Acara ini berlangsung selama dua hari di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Selain Livi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Mahfud MD juga menjadi pembicara Kongres Pancasila ini.

Baru-baru ini, segenap masyarakat di sejumlah daerah meluapkan emosi nasionalismenya dalam perayaan Bulan Pancasila. Aneka macam kegiatan dihelat untuk membangkitkan semangat kebangsaan dan menggelorakan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.

Selama tiga bulan (Juni-Agustus), Pancasila dijadikan sebagai bulan uji eksperimentasi diri (riyadlah) untuk memperkokoh pemahaman Pancasila, menumbuhkan kecerdasan kewargaan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan moto "Kita Pancasila", berbagai elemen masyarakat diajak melafalkan sebuah pesan dan kesan yang sederhana tentang Pancasila, sekaligus digiring untuk mengerti tentang sebuah maksud dan tujuan berkehidupan bersama Pancasila.

Dalam kaitan ini, apa yang sudah dilakukan segenap masyarakat yang terlibat secara partisipatoris dalam perayaan Bulan Pancasila sejatinya dijadikan momentum refleksi ihwal urgensi berpancasila. Hal ini penting dilakukan agar Pancasila senantiasa jadi ideologi yang hidup, yang menapasi ruang gerak kita.

Fungsi juru bicara

Sebagai tindak lanjut dari itu semua, langkah awal yang perlu kita lakukan adalah kesanggupan diri menjadi juru bicara Pancasila yang senantiasa mengingatkan diri kita sendiri, dan berbagai pihak lain, untuk menyadari pentingnya menjadikan Pancasila sebagai cara pandang dan ciri berpikir dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, setidaknya Pancasila tak hanya menjadi trending topic di saat perayaan Bulan Pancasila, sebagaimana semarak dalam tiga bulan tersebut, tetapi selalu menggema dan termanifestasi di berbagai kurun waktu dan masa.

Dalam hal ini, juru bicara yang dimaksud bukan dalam artian formal terkait tugas seseorang yang diberikan pihak tertentu dalam menyampaikan berbagai informasi yang menjadi tugas dan kewenangan birokrasinya. Juru bicara di sini adalah kesadaran personal dalam menyampaikan berbagai ide dan gagasan tentang kepancasilaan di berbagai tempat dan waktu, tanpa terikat oleh otoritas posisi maupun profesi.

Juru bicara Pancasila di sini berfungsi sebagai ruang interaksi dialektis dalam menyampaikan pesan-pesan kebangsaan melalui komunikasi yang cerdas. Dengan begitu, informasi yang disampaikan dapat berdampak positif pada penambahan pengetahuan dan pengertian tentang kepancasilaan yang patut dimanifestasikan. Untuk memosisikan diri sebagai juru bicara pancasila, setiap orang perlu menggunakan cara dan pendekatan yang konstruktif agar tidak terjadi kesenjangan antara satu sama lain.

Merujuk pada pemikiran Ian G Barbour dalam buku Juru Bicara Tuhan, yang mencoba memetakan empat mazhab tentang hubungan sains dan agama yang berada dalam lingkup konflik, independensi, dialog, dan integrasi, juru bicara Pancasila perlu memperhatikan empat aspek itu sebagai kerangka epistemologis dan metodologis. Dari empat aspek tersebut, juru bicara Pancasila perlu mewaspadai pendekatan bercorak konflik dan independensi, dan lebih meneguhkan pendekatan bercorak dialog dan integrasi dalam menyampaikan spirit kepancasilaan. Hal ini penting dilakukan agar materi kepancasilaan yang dikomunikasikan tidak menimbulkan bias pemahaman dari pihak lain, tetapi mewujudkan kearifan dan perluasan pemahaman yang komprehensif.

Sebab, disadari atau tidak, selama ini nilai-nilai kepancasilaan selalu mengalami gegar dan kegaduhan di ruang publik bukan karena banyak pihak tidak mau menerima keberadaan Pancasila, tetapi lebih karena para penyampai nilai-nilai kepancasilaan terlalu berlebihan (over) dan tidak memperhatikan kode etik komunikasi yang dapat dimengerti pihak lain. Dampaknya, kegaduhan (pro dan kontra) tentang Pancasila berhenti pada pergulatan simbolisme semata, tidak menyentuh pada substansi bagaimana Pancasila diakui dan dilakoni sebagai ideologi yang hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menyikapi penyampaian kepancasilaan

Mengacu pada pikiran Barbour di atas, patut diketahui bahwa pola penyampaian spirit kepancasilaan yang menggunakan pendekatan konflik justru menimbulkan permusuhan dari pihak yang selama ini dituduh anti-Pancasila. Munculnya sekelompok penganut ultra-nasionalisme yang membangun cara pandang "menghakimi" pihak yang ditengarai tak menjalankan spirit kepancasilaan sesuai yang dipahaminya akan menimbulkan resistensi berkepanjangan.

Demikian pula penyampaian dengan menggunakan pendekatan independensi, yang memisahkan nilai kepancasilaan dengan bangunan ajaran lain, seperti dogma agama maupun norma sosial, akan menimbulkan egoisme doktrinal dan absolutisme kebenaran. Semestinya harus diakui bahwa spirit kepancasilaan lahir karena persinggungan banyak norma dan ajaran yang dilebur para pendiri bangsa menjadi dasar negara. Ketika kaum cerdik cendekiawan terlibat dalam perundingan Pancasila, masing-masing saling memberikan pemikiran dan pandangan rumusan Pancasila berdasarkan sumber pengetahuan agama maupun norma sosialnya.

Oleh karena itu, mengkritisi "kesesatan verbalisasi" tentang spirit kepancasilaan yang selama ini berkembang tanpa arah sudah semestinya kita yang bersedia jadi juru bicara Pancasila harus mengubah cara dan pendekatan penyampaian yang efektif dan strategis agar pihak lain bisa menerima gagasan dan pesan yang disampaikan. Dalam kaitan ini, menyambung kembali pikiran Ian G Barbour di atas, dua aspek yang positif perlu digunakan sebagai cara komunikasi yang lebih cerdas.

Melalui konsep dialog, kita perlu meyakinkan kepada semua pihak bahwa Pancasila ideologi ramah lingkungan. Di satu sisi merefleksikan tentang sejarah kehidupan berbangsa masa lalu yang mesti kita rajut sebagai memori kolektif agar kita menjadi bangsa yang tak lupa jasa para pahlawan. Di sisi lain, Pancasila jadi rujukan masa depan dalam membangun segala cita dan asa yang diimpikan. Tanpa henti kita sampaikan kepada semua pihak, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat bahwa Pancasila adalah fondasi utama yang dapat mewujudkan kehidupan yang damai, aman, dan sejahtera. Sebab, melalui Pancasila, masing-masing diharuskan saling merendahkan egoisme diri demi kemaslahatan bersama (summum bonum).

Selain itu, melalui aspek integrasi, kita berupaya menegaskan bahwa hubungan Pancasila dengan berbagai dogma agama maupun norma sosial saling melengkapi. Bahkan, dalam konteks historis, Pancasila merupakan peleburan berbagai nilai agama dan norma sosial. Keduanya berada dalam satu tarikan napas yang saling beririsan sehingga tercipta filosofi kehidupan berbangsa yang sesuai dengan karakter keindonesiaan. Dengan demikian, ketika Pancasila dijadikan sebagai dasar negara Indonesia, sesungguhnya ia tak menafikan berbagai nilai ajaran yang ada di setiap agama maupun norma sosial.

Demikian pula upaya pengintegrasian spirit kepancasilaan dengan berbagai profesi yang dilakoni. Sebagaimana ditunjukkan para atlet Asian Games 2018 yang bertanding dengan penuh sportivitas, tak lupa meneguhkan spirit kepancasilaan tanpa disekat oleh identitas agama maupun budaya. Semua lebur dalam posisi lintas batas yang saling mengamini Pancasila sebagai trajektori kebangsaan dan menjaga rumah bersama bernama Indonesia.