Dunia pendidikan kita masih mengandung masalah yang fundamental, yaitu terafiliasinya dengan budaya asing yang tidak selaras dengan budaya bangsa Indonesia.
Alhasil, sebagian perilaku anak-anak kita jauh dari panggung harapan sebagaimana tersurat dalam cita-cita Pembukaan UUD 1945, dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa. Fenomena kenakalan remaja sampai pelajar yang anti-ideologi bangsa, Pancasila, sudah merasuk di sekolah-sekolah sampai perguruan tinggi kita.
Administrasi pendidikan
Awal pangkal dari semua ini dimulai dari pengembangan kurikulum—dari Kurikulum 2004 hingga Kurikulum 2013—yang belum didasarkan pada penghidupan dan budaya bangsa Indonesia. Kurikulum masih berkutat pada administrasi pendidikan yang semakin tidak sederhana, yang sangat menyibukkan para guru. Pengembangan kurikulum masih didasarkan pada penghidupan dan budaya asing sehingga kepribadian Indonesia tidak lagi melekat pada anak didik.
Budi pekerti luhur seperti tata krama, unggah-ungguh, toleransi, gotong royong, solidaritas sosial, semangat kebangsaan, etika dan estetika semakin tergerus dan tergantikan dengan egoisme, individualisme, cuek pada lingkungan, kriminalisasi pada guru, serta tidak hormat pada yang lebih tua menjadi perilaku yang semakin membiasa.
Pengembangan kurikulum kita didasarkan pada model Kurikulum Berbasis Kompetensi yang mencakup: ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga ranah ini penerapannya condong pada pengetahuan, bukan ilmu (sains). Ketiga ranah ini ternyata diadopsi dari teori Bloom, yang terkenal dengan taksonomi Bloom. Benyamin Samuel Bloom lahir di Pennsylvania, AS, tahun 1913, dan meninggal tahun 1959. Ia adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Taksonomi Bloom dicetuskan oleh Bloom dan kawan-kawan pada 1956.
Teori Bloom tentu dilandasi pada fakta penghidupan dan budaya masyarakat Amerika, yang tentu berbeda dengan cara hidup dan kebiasaan atau budaya bangsa Indonesia. Dasar dan pengembangan kurikulum kita seharusnya diselaraskan dengan penghidupan dan budaya bangsa Indonesia agar menghasilkan kepribadian Indonesia, sebagaimana cita-cita yang tertera di Pembukaan UUD 1945.
Tentu kita tidak boleh anti- asing, tetapi ideologi asing harus kita filter dan disesuaikan dengan kepribadian bangsa. Jika ideologi asing kita paksakan diterapkan begitu saja, bangsa kita akan terjajah olehnya. Dan, ironisnya, itulah yang terjadi sekarang. Oleh karena itu, rasanya tidak terlalu berlebihan jika penulis sebutkan bahwa pendidikan nasional tinggal kulitnya saja, sedangkan isinya adalah kolonial.
Dalam hal ini Ki Hajar Dewantara (KHD), sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia, telah berfatwa: "…. Pengajaran nasional itulah pengajaran yang selaras dengan penghidupan bangsa (Maatschappelijk) dan kehidupan bangsa (cultureel). Kalau pengajaran bagi anak-anak kita tidak berdasarkan kenasionalan, sudah barang tentu anak-anak kita tak akan mengetahui keperluan kita lahir ataupun batin. Lagi pula, tak mungkin anak-anak itu mempunyai rasa cinta bangsa dan (malah) makin lama makin terpisah dari bangsanya sehingga kemudian barangkali menjadi lawan kita."
Menurut penelitian, lebih dari 30 persen anak-anak bangsa ini sudah terasuki paham ekstremisme-radikalisme, baik tingkat SMA maupun perguruan tinggi. Indikasi ini jelas bahwa anak-anak kita tidak mempunyai rasa cinta bangsa, sehingga mereka terpisah dari bangsanya dan menjadi lawan kita sebagaimana pernyataan KHD di atas.
Kompetensi yang ditawarkan KHD adalah mencakup: ranah cipta, rasa, dan karsa. Mengembangkan daya cipta berarti mengembangkan cara berpikir ilmiah secara kritis, kreatif, dan mandiri.
Berpikir ilmiah secara kritis mengandung makna bahwa anak didik memiliki tanggung jawab berdasarkan kebenaran dan tidak ikut-ikutan (anutgrubyuk) pada khalayak. Ia sanggup bertanggung jawab atas pendiriannya akan sebuah kebenaran yang ia yakini. Ia juga tidak takut tekanan dari mana pun asalnya tekanan itu.
Sementara secara kreatif dimaksudkan bahwa agar apa yang menjadi sikap dan perbuatan anak didik tidak hanya bersifat reaktif terhadap tantangan dan rangsangan dari pendidik, tetapi juga aktif berkemauan untuk mendalami dan mengembangkan daya cipta, rasa, dan karsanya.
Adapun berpikir secara mandiri maknanya bahwa anak didik dapat membebaskan diri dari rasa terpaksa dan dipaksa dalam kehidupannya. Dengan demikian, anak didik akan tumbuh sikap dan jiwa "makarya"; yaitu sikap dan watak untuk menciptakan lapangan kerja sendiri. Hal ini bukan berarti mereka tidak boleh menjadi buruh atau pegawai di sebuah instansi, melainkan watak atau jiwa buruh itu yang bertentangan dengan ajaran kemandirian itu sendiri.
Saintifik vs "Tri Nga"
Pendekatan dalam pembelajaran yang diamanatkan dalam Kurikulum 2013 terdiri atas lima pengalaman belajar: mengamati, menanya, eksperimen, mengolah informasi, dan mengkomunikasikan. Ini terlalu prosedural dan cenderung membelenggu kreativitas anak.
Pendekatan yang ditawarkan KHD cukup sederhana, yaitu "Tri Nga" (ngerti, ngrasa, dan nglakoni). Tuntutan akhir anak didik adalah tahap nglakoni (melakukan atau mempraktikkan), tidak omong doang. Sementara tuntutan akhir pendekatan saintifik cukup dengan mengomunikasikan.
Kesimpulannya, pendidikan nasional harus selaras dengan cara hidup dan budaya bangsa sendiri, yang sesuai dengan cita-cita Pembukaan UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar