Bangkit dari keterpurukan pada SEA Games 2017, pencapaian pada Asian Games 2018 sungguh lompatan signifikan.
Berita Kompas pada 30 Agustus 2017 silam membuat kita mengelus dada. Dikatakan bahwa saat itu Indonesia dalam kondisi darurat olahraga. Baru pada level SEA Games saja, kita terpuruk di urutan kelima dengan hanya memperoleh 36 emas, 63 perak, dan 90 perunggu. Jauh di bawah Malaysia (145 emas), Thailand (72 emas), Vietnam (58 emas), dan Singapura (57 emas).
Dalam berita kala itu dibeberkan bahwa kondisi darurat terjadi akibat berbagai salah urus secara teknis. Menurut Fritz Simanjuntak, keterpurukan prestasi atlet-atlet Indonesia dalam SEA Games 2017 itu akibat pemerintah tidak pernah fokus dan maunya instan. Sarana-prasarana, uang saku, dan kesehatan atlet kurang diperhatikan.
Saat itu pemerintah dinilai lamban dalam membekali peralatan olahraga. Atlet panahan, misalnya, baru menerima busur recurve dua bulan sebelum pertandingan dimulai. Para atlet sepeda berlatih dengan sepeda lama karena sepeda baru yang dipersiapkan masih tersandera urusan bea dan cukai. Menurut Guru Besar Olahraga UNY Joko Pekik Irianto, hal itu menunjukkan situasi ketidaksiapan.
Energi kebangsaan
Menuju gelanggang Asian Games 2018, seperti telah dikritisi oleh sejumlah media, persiapan kita sebenarnya juga tidak maksimal. Pembubaran Satlak Prima oleh Kemenpora dirasakan telah mengurangi kesiapan Indonesia. Padahal lembaga ini bertugas mendata dan merumuskan pola pelatihan atlet-atlet nasional. Hingga kurang tujuh bulan menjelang Asian Games 2018, target perolehan medali untuk mencapai posisi 10 besar belum ditetapkan. Sementara beberapa uji coba penyelenggaraan kompetisi cabang olahraga juga belum digelar.
Jika sekarang terjadi—di luar ekspektasi kita—pencapaian hebat Indonesia di Asian Games 2018, patut diduga telah didorong oleh sebuah energi yang luar biasa. Semangat kebangsaan (nasionalisme) yang digenjot sekuat tenaga oleh pemerintah dan berbagai elemen bangsa ini patut diyakini sebagai energi pendorong itu. Tragedi demi tragedi—dari terorisme, konflik SARA, hingga bencana alam—yang menerpa kita silih berganti justru memicu kebangkitan nasionalisme Indonesia.
Api nasionalisme yang tersulut dari berbagai kondisi darurat kebangsaan dan kebinekaan di negeri ini menemukan momentumnya pada perhelatan olahraga terakbar di Benua Asia ini. Asian Games 2018 menjadi sebuah "ritual" dalam hal mana bangsa ini menumpahkan seluruh emosi kebangsaannya dalam wujud pengejaran prestasi olahraga.
Secara antropologis, olahraga merupakan sebuah "agama" yang beririsan dengan nasionalisme, yang menurut Anthony D Smith (2002) juga merupakan "agama politik". Stadion menjadi sebuah tempat suci. Pertandingan olahraga dihayati sebagai sebuah devosi dan bahkan perjuangan kemartiran demi meraih pahala berupa medali. Sementara para suporter, jiwa dan perilaku mereka seperti umat atau jemaah yang begitu diliputi emosi keagamaan. Saat kemenangan yang ditandai pengibaran bendera negara pemenang adalah puncak kenikmatan dalam ritual itu.
Dalam konteks ini, seremoni pembukaan Asian Games 2018 merupakan bagian dari ritual tersebut. Bahkan Presiden Joko Widodo sendiri terlibat dalam ritual itu, beraksi sedemikian rupa untuk menciptakan ritual seremoni berkekuatan "hipnoterapis" bagi para pejuang olahraga kita.
Ilmu jiwa olahraga
Prestasi luar biasa kita pada Asian Games 2018 meneguhkan pentingnya peran psikologi olahraga bagi para atlet. Peran ilmu jiwa sangat besar untuk membina aspek mental para atlet. Sebab, kunci prestasi olahraga adalah ketangguhan jiwa seperti diungkapkan petenis andal Chris Evert, "My weapons were concentration, competitive spirit, confidence, fitness and poise under pressure. I won because I could compete better. And my greatest strength was my toughness"(Gunarsa, 2008).
Menurut James E Loehr (1994), ketangguhan mental dalam olahraga prestasi adalah kondisi kejiwaan yang bisa dipelajari dan dikembangkan. Kondisi jiwa ini merupakan jenis keterampilan psikologis yang memungkinkan seorang atlet mengembangkan prestasinya. Ketangguhan itu sendiri adalah pengendali dari kondisi penampilan yang ideal atau ideal performance state (IPS). Cirinya berupa keadaan percaya diri, santai, dan tenang.
Sebagai seorang psikolog olahraga, Loehr sendiri mengatakan bahwa 50 persen dari permainan yang bagus adalah akibat faktor mental dan kejiwaan atlet. Karena itu, seorang atlet bukan hanya harus giat berlatih teknis untuk bidang olahraganya, melainkan juga perlu mengikuti latihan keterampilan mental.
Menurut catatan Gunarsa, kontribusi psikologi olahraga telah mendongkrak prestasi China dan Jepang. Kedua negara ini memang menonjol dalam Olimpiade, merajai berbagai cabang olahraga individual dan beregu.
Di China, sejak 1956-1966, berbagai buku psikologi olahraga asing diterjemahkan. Maka pada dekade 1979-1989, psikologi olahraga berkembang pesat di sana. Pada November 1979 diresmikan berdirinya Physical Education and Sport Psychology Commission. Pada Desember 1980, didirikan National Society of Sport Psychologyyang berafiliasi dengan Congress of China Society of Sport Science.
Sementara di Jepang, perkembangan psikologi olahraga ditandai dengan munculnya buku The Psychology of Physical Education (1952) karya Mitsuo Matsui. Dua tokoh lain, Iwao Matsuda dan Atsushi Fujita, kemudian memasukkan psikologi olahraga dalam kurikulum pelajaran olahraga di Jepang.
Di Indonesia, psikolog Singgih D Gunarsa dan Sudirgo Wibowo memberi pelatihan psikologis untuk para pebulu tangkis kita sejak 1967. Belakangan, negara-negara tetangga kita (Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam) jauh lebih menggiatkan psikologi olahraga mereka. Sejak 1980, misalnya, di Singapura sering diadakan pertemuan internasional untuk pengembangan psikologi olahraga.
Psikologi olahraga yang khas Indonesia adalah ilmu jiwa olahraga yang berbasis nasionalisme. Salah satu karakteristiknya adalah pengolahan motivasi intrinsik untuk meraih prestasi. Faktor pendorongnya bukan "bonus", ketenaran, dan kekayaan. Bahkan, berprestasi tinggi juga bukan sekadar untuk aktualisasi diri. Cinta Tanah Air menjadi energi tak terbatas bagi seorang atlet Indonesia untuk mengalami revolusi mental juara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar