Sudah dipastikan dua kubu koalisi—Jokowi vs Prabowo—akan berhadap-hadapan pada Pilpres 2019. Koalisi politik itu diharapkan dapat menjadi inisiator sekaligus agregator politik dari kedua kubu yang beda kepentingan.
Semua pihak harus menyadari koalisi parpol adalah sebuah keharusan. Kedua kubu harus diberi ruang yang sama dalam demokrasi kita, sebab koalisi partai adalah buah reformasi dan dijamin oleh UUD 1945. Pola seperti saat ini akan terus berulang sebab skema presidensial dalam format pemilu kita mewajibkan partai dan/atau gabungan partai berkoalisi membentuk pemerintahan. Dari hasil Pemilu 2014 dapat dipastikan hampir tak ada satu pun partai dapat mengusung calon presiden/wakil presiden sendirian.
Koalisi menjadi jalan politik bagi bangsa ini untuk melakukan penggantian kepemimpinan nasional. Solid atau tidaknya koalisi akan berdampak besar bagi kehidupan bangsa dan negara. Karena itu, isu daya tahan koalisi yang berhubungan dengan derajat soliditas koalisi dan/atau "buyar"-nya sebuah koalisi akan turut menyumbang stabilitas politik dan demokrasi Indonesia.
Problematik "kultur" berkoalisi
Kalau dilihat dari pola koalisi kedua kubu, baik Jokowi maupun Prabowo, keduanya hampir mirip. Kedua kubu meramu dua sisi ideologi partai yang hampir mirip, nasionalis-religius. Pada kubu Jokowi, dari tujuh partai pendukung, dua berideologi "religius-Islam", diwakili PPP dan PKB. Meski PKB telah menyatakan sebagai partai terbuka dan berasaskan Pancasila, secara simbolis masih dapat dikategorikan sebagai partai berideologi "religius-Islam". Pada kubu Prabowo juga mencampur hal yang sama, nasionalis-religius. Di sana ada PKS, PAN, Demokrat, dan Gerindra sebagai pengusung.
Ramuan ideologis ini memang tak menjadi alasan kuat dalam membentuk koalisi. Kedua kubu lebih condong mempraktikkan koalisi politik yang disandarkan pada model koalisi minimal untuk menang (minimal winning coalition/MWC). Bedanya, satu petahana, satunya oposisi.
Tipe koalisi jenis ini tujuannya adalah memperoleh kekuasaan sebanyak-banyak (office-seeking). Tipe koalisi ini diwakili kubu petahana, yang menjadi tempat berhimpun tujuh partai. Motifnya hampir mirip, melanjutkan pemerintahan pada periode kedua. Kebutuhan untuk tetap berkuasa bukanlah tanpa tantangan. Sementara pada kubu oposisi, bukan hanya untuk office-seeking, tetapi motif politiknya adalah mengganti presiden petahana.
Umumnya model koalisi MWC ini akan mengalami beberapa masalah bawaan. Pertama, dalam proses pemilu mereka akan dihadapkan pada masalah kontribusi suara atau dukungan politik. Apakah mesin partai akan bekerja dalam kompetisi pemilu serentak 2019 yang wataknya tidak saling mendukung. Di satu sisi, partai harus mencari dukungan agar pemilih memilih capres yang diusungnya, tetapi di sisi lain watak proporsional terbuka mengharuskan partai dan kader-kadernya harus berkompetisi secara bebas di lapangan.
Pertarungan tak hanya terjadi antarpartai yang berbeda koalisi, tetapi juga dengan calon-calon dari partai satu koalisi. Bahkan, para politisi bisa saling menjegal koleganya sendiri yang satu partai, apalagi dengan calon dari partai koalisinya. Pertandingan inter-koalisi dan antar-koalisi menjadi dampak politis dalam koalisi, siapa yang menerima efek dari capres yang diusungnya, apakah partai pengusung ataukah merata ke semua partai yang berkoalisi. Dampak lainnya adalah siapa yang memberikan kontribusi kemenangan, apakah partai, kandidat partai, atau calon presiden/wapresnya.
Problematik itu biasanya akan menyeret pada perdebatan internal koalisi, siapa yang paling efektif memenangkan capres yang diusung. Mengapa hal seperti itu bisa terjadi karena berdasarkan pengalaman sejumlah negara lain yang tipe koalisinya hampir mirip—presidensial-multipartai, adanya fenomena ketidaktunggalan motif dan tujuan berkoalisi. Terdapat variasi tujuan mengapa satu partai membangun sebuah koalisi dan mengapa partai yang sama juga berada pada koalisi yang sama.
Problem kedua akan terjadi pada saat pembentukan formasi kabinet karena terlalu banyaknya kepentingan yang akan memengaruhi presiden terpilih dalam menyusun kabinetnya. Bisa jadi, kabinet yang akan dibangun tidak lagi mencerminkan kabinet kerja (zakenkabinet) karena terlalu kentalnya kepentingan partai.
Ketiga, presiden akan dihadapkan pada pola pembentukan kabinet yang dibayangi oleh sifat "keseimbangan semu". Keseimbangan semu itu terjadi saat partai yang berkoalisi menagih "iming-iming kekuasaan" atau janji presiden.
Keempat, adanya potensi gangguan relasi presiden terpilih dengan partai koalisi, apabila partai pengusung presiden justru mengalami penurunan suara pada pemilu, dan formasi kabinet yang dibagi dianggap tidak imbang atau adil. Hasil pemilu yang tidak menciptakan pemenang pemilu mayoritas minimal (di atas 25 persen) bisa jadi akan merepotkan presiden terpilih. Ini konsekuensi logis akibat office-seeking, koalisi lebih ditopang oleh struktur kekuatan partai atau perolehan kursi di legislatif untuk mengamankan presiden terpilih, ketimbang platform visi-misi.
Dalam situasi semacam itu, ketahanan koalisi dipengaruhi formasi atau struktur koalisi yang dibangun. Sifat struktural koalisi yang berciri ad hoc—tidak sistematis— menjadi ancaman timbulnya fragmentasi politik parpol yang berkoalisi. Apalagi situasi itu akan dihadapkan pada sedikit atau banyaknya parpol yang harus diurus, ideologis atau tidak (satu kepentingan atau tidak), sikap berkoalisi, dan komitmen setiap pihak yang berkoalisi. Persoalan lain yang juga sering terjadi ialah persoalan asumsi bahwa elite partai adalah satu kesatuan yang tunggal yang merefleksikan seluruh struktur partai di bawahnya.
Dalam praktiknya memang terkadang berbeda. Oleh karena itu, daya tahan koalisi atau keutuhan koalisi ditentukan pula oleh proses koalisi, apakah proses koalisi mencerminkan kesatuan sikap politik partai sehingga dipatuhi oleh semua kader dan anggota. Ketidakjelasan terhadap kesatuan partai ini akan menimbulkan perbedaan dukungan, sebagian elite partai bisa mendukung kubu petahana, dan sebagian elite partai bisa mendukung kubu oposisi. Fenomena perbedaan pandangan dalam elite partai—atau tidak ada kesatuan elite partai dalam berkoalisi—bukan hanya khas kasus Indonesia, melainkan juga terjadi pada beberapa negara lain yang diakibatkan formula koalisi yang tidak dilandasi oleh ideologi dan platform bersama.
Katalisator koalisi
Schofield dan Sened (2006) melihat bahwa daya tahan koalisi dalam pembentukan pemerintahan ditentukan oleh faktor partai yang jadi inti koalisi atau pemain utama koalisi (Giannetti dan Benoit, 2009: 12). Pengaruh ketua umum partai pengusung presiden jadi salah satu aspek penting agar koalisi yang dibangun solid dan bisa bertahan. Demikian pula kedudukan ketua-ketua umum partai koalisi untuk saling berbagi dan berkomunikasi.
Dalam konteks itu, kubu petahana memiliki insentif katalisator yang lebih berlapis. Di satu sisi koalisi dijaga oleh capres petahana yang sekaligus masih menjadi presiden yang memerintah. Di sisi lain, ketua umum PDI Perjuangan menjadi kunci pengambilan keputusan dalam situasi sulit, yang juga ditopang oleh sebagian politisi yang menduduki jabatan/kekuasaan. Dalam suasana yang hampir mirip, kubu oposisi atau Prabowo, insentif katalisatornya memang belum terlalu tampak karena partai tidak memerintah, tetapi ada Sandiaga Uno, tim sukses, serta sejumlah tokoh lain yang merapat dengan spirit yang hampir sama.
Menghadapi suasana yang hampir mirip itu, kedua kubu sebenarnya menyadari ada potensi kompetisi sebagai konsekuensi logis sifat koalisi yang berhadap-hadapan secara inter-koalisi dan antar-koalisi. Ini adalah dampak dari skema sistem pemilu proporsional di satu sisi yang dikombinasikan dengan sistem multipartai. Akibatnya, persaingan atau kompetisi tak mudah, apalagi persoalan efek ekor jas tak menyebar ke seluruh partai pengusung, tetapi cenderung "mengerucut" pada partai yang mengusung capres. Dari sisi jumlah partai yang berkoalisi, koalisi yang dibangun oleh Prabowo secara matematis dan teori koalisi jauh lebih kecil dan lebih memungkinkan untuk bisa diatur, tetapi ancaman ketahanannya jauh lebih besar dibandingkan kubu Jokowi. Faktornya bukan karena faktor ideologis, melainkan lebih faktor kepentingan dan komitmen atau sikap partai yang mendukungnya.
Berbagai hal itu dapat saja memicu "kerenggangan dalam berkoalisi". Oleh karena itu, daya tahan koalisi berelasi dengan sejumlah isu, mulai dari isu kompetisi internal, perbedaan kepentingan, tawar-menawar politik, hingga persoalan untung-rugi. Dari pengalaman koalisi lima tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, daya tahan koalisi juga akan dibuktikan setelah pemilu, apakah partai-partai pendukung Jokowi atau Prabowo memperoleh dukungan suara yang signifikan sehingga perbedaan kekuatan politik kedua kubu akan memengaruhi format perwakilan kita di parlemen. Apakah legislatif kita fragmentatif ataukah terkonsolidasi, dalam arti presiden yang terpilih memperoleh dukungan maksimal di legislatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar