KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Tien Suharni (47), guru kelas empat SD Negeri Sukatani 4 Depok, Jawa Barat, mendampingi anak-anak yang diberinya tugas menggambar pada Kamis (26/4/2018).

Sejak Karl Mannheim mendeskripsikan karakter generasi X, Y, dan Z, kesadaran akan perubahan signifikan antargenerasi makin mendapatkan perhatian.

Lalu, peran apa yang diharapkan dari guru sebagai pengajar dan pendidik? Generasi Z alias milenial, seperti digagas dalam The Problem of Generation (1953), perlu diketahui oleh guru. Guru pada era milenial perlu menyadari, generasi Z sangat "melekat" dengan komputer dan internet. Sebagian besar waktunya dilewatkan dengan memainkan jemari di atas "layar sentuh".

Marc Prensky, seorang penulis dan pemerhati pendidikan asal AS, pernah berujar, for our twenty-first century kids, technology is their birthright. Artinya, keterikatan itu tidak mesti dilihat secara negatif. Justru di sana terpatri kecemerlangan yang perlu disibak dan perlu diarahkan.

Kenyataan ini mestinya menjadi acuan bagi para guru. Artinya, guru pada era milenial harus melek teknologi. Alih-alih menyalahkan teknologi, guru sebaiknya mampu menerjemahkan kemajuan teknologi secara tepat dan proporsional bagi proses pembelajaran.

Dalam kenyataan, teknologi kerap jadi beban bagi tidak sedikit guru. Mereka masih meneruskan tradisi dari dulu dengan mempertahankan monolog. Kelas dikuasai guru. Siswa diperlakukan bak papan kosong (tabula rasa), tempat di mana semua ilmu pengetahuan ditulis.

Dalam sebuah survei yang diadakan oleh Komisi Bidang Pendidikan Uni Eropa, khususnya tentang peran teknologi, komunikasi, dan informasi (ICT) dalam pendidikan, ditemukan korelasi antara penguasaan teknologi dan rasa percaya diri guru. Guru yang cukup percaya diri dalam penggunaan ICT cenderung membawa pengaruh positif bagi proses pembelajaran siswa secara menyeluruh. Mereka dilihat sebagai guru yang menyenangkan.

Tidak hanya itu. Kedekatan pada teknologi dengan kekayaan audiovisual memungkinkan hadirnya identifikasi peran yang berbeda-beda dalam diri siswa. Mereka mengidentikkan diri dengan peran tertentu dengan kecerdasan yang sangat majemuk. Toko kartun, animasi, fantasi, sampai fiksi ilmiah, sekadar menyebut beberapa contoh, menghadirkan aneka kemungkinan identifikasi siswa. Dari sana hadir aneka peran dan minat yang beraneka ragam.

Guru era milenial diharapkan mampu mengakomodasi kecerdasan yang majemuk. Ia hadir memberi inspirasi agar siswa dapat mengembangkan potensinya. Tugas yang diberikan kepada siswa tidak "dipukul rata", tetapi diberikan sesuai minat siswa. Di sana siswa dapat mempelajari apa yang disukai, tetapi juga sekaligus jadi bekal awal pemupukan minat sejak dini.

Pendidikan karakter

Kegemaran pada teknologi oleh generasi Z kerap memunculkan kecemasan tentang pembinaan karakter. Kecemasan itu baik adanya. Tetapi guru mestinya melihat tantangan ini sekaligus sebagai peluang.

Kaum peduli pendidikan, di dalamnya guru, orangtua, dan masyarakat, berusaha masuk memengaruhi siswa melalui karya-karya berkualitas, seperti karya fiksi pendidikan. Dan, yang tidak kalah menarik dalam pendidikan karakter pada generasi milenial adalah penguatan pemikiran kritis. Dialog yang dikembangkan selalu terdapat adu argumentasi. Tahapan masalah dan konflik kerap dipenuhi adu argumentasi yang secara perlahan memperoleh pencerahan pada tahapan penyelesaian.

Itu berarti, karya fiksi pendidikan mengambil peran menakjubkan dengan menanamkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Itu juga berarti sejak awal siswa sudah dibiasakan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan pada gilirannya diharapkan dapat muncul kreativitas sebagai alur tertinggi yang bisa diharapkan.

Mengutip Bloom Benjamin dan David R Krathwohl dalam Taxonomy of Educational Objectives (1956), proses yang runtut yang masuk juga dalam proses pendidikan akan jadi kontribusi besar dalam pendidikan karakter. Siswa tidak sekadar diajarkan untuk bertindak, tetapi mereka masuk dalam konflik dan berusaha menentukan jalan keluar berdasarkan fakta yang terjadi.

Sudah pasti, penyelesaian akan sangat variatif. Tidak ada pemaksaan. Setiap orang menyadari, pola penyelesaian akan sangat berbeda. Model penanam karakter seperti ini sangat sesuai dengan kebutuhan generasi milenial. Artinya, guru di era milenial sukses menginkulkasi nilai yang diterima sebagai inspirasi dan bukan sebagai pemaksaan.

Guru era milenial tidak berhenti di situ. Pemikiran kritis harus berujung pada pemaknaan dan penemuan karya kreatif. Sebab, generasi milenial akan berusaha menemukan terobosan baru dengan karya yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman.

Pada sisi ini, pengembangan kreativitas mestinya jadi dorongan bagi guru dalam berinovasi. Guru era milenial yang gemar literasi akan menemukan ide-ide kuat untuk membantu siswa menemukan karya orisinal dan sesuai zaman. Mereka tidak mengandalkan pelatihan yang menjadikannya sekadar peniru metode usang, tetapi mampu menghasilkan karya kreatif.