Baik putusan MA maupun MK telah memantik ketidakpuasan publik, secara terbuka ataupun tertutup, di antaranya komponen mahasiswa di Jambi telah menggelar unjuk rasa menolak putusan MA tersebut.

Apa yang salah? Baik putusan MA maupun putusan MK secara konstitusional dan yuridis-normatif tidak ada yang salah. Kedua putusan tersebut telah diambil oleh para hakim yang berjuluk mulia yang memiliki wewenang untuk itu.

Pendapat yang mengatakan putusan MA berpotensi cacat formil karena melanggar ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK karena UU No 7/2017 tentang Pemilu sedang diuji di MK tentu saja keliru. Sebab, pendapat itu  tidak didasarkan pada pemahaman yang cerdas, baik, serta tepat  terhadap makna frasa "…undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi…".

Yang dirujuk adalah Pasal 55 UU No 24/2003. Lengkapnya berbunyi "Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi".

Meski demikian, munculnya ketidakpuasan publik yang bersifat sistemik dan masif tentu mengindikasikan putusan MA dan MK tersebut mengandung cacat atau kesalahan meski benar secara yuridis formil. Kesalahan putusan MA dan MK memang tidak terjadi pada level normatif atau yuridis formil, tetapi keliru pada level filsafat yang secara akademik memang bersifat opsional dan spekulatif.

Ilmuwan hukum klasik, Gustav Radbruch, secara filsafati sejatinya telah menguraikan bahwa norma hukum, termasuk norma putusan pengadilan, memiliki tiga dimensi: kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Pada dimensi kepastian hukum yang bertumpu pada norma konkret, putusan MA dan MK memang sahih dan benar. Namun, putusan MA dan MK itu sangat mungkin bermasalah pada dimensi keadilan dan kemanfaatan.

Pada dimensi keadilan, putusan MA dan MK tersebut dapat dianggap telah gagal memberi kanalisasi, apresiasi, dan adopsi terhadap kehendak publik yang berada pada aras arus utama hendak mengucilkan para koruptor dari posisi penyelenggara negara. Kehendak publik demikian seharusnya dapat dipahami oleh hakim agung dan hakim MK, selanjutnya diadopsi dalam putusan. Kemampuan hakim mengapresiasi dan mengadopsi kehendak publik demikian merupakan mekanisme prosedural menciptakan keadilan.

Oleh karena itu, kegagalan hakim agung dan hakim MK  memahami dan mengadopsi kehendak publik tersebut dapat dikatakan sebagai kegagalan hakim agung dan hakim MK menciptakan dan memberi keadilan kepada masyarakat yang menjadi esensi proses uji materi. Dengan demikian, hakim MA dan MK telah gagal mewujudkan nilai keadilan yang berkembang di publik, sebagaimana perintah Pasal 5 Ayat (1) UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Lebih jauh lagi, hakim MA dan MK juga gagal memahami gagasan dan spirit pengadilan pengujian undang-undang yang tercetus dan bermula  dalam perkara Madison Vs Marbury tahun 1789, yang memberikan wewenang kepada hakim untuk menyingkirkan norma konstitusi demi mengkanalisasi dan mengadopsi nilai keadilan. Gagasan dan spirit pengadilan uji materi sepertinya memang belum mampu dicerna dan dipahami secara tepat dan sempurna oleh para hakim kita.

Putusan MA dan MK yang melanggengkan wajah koruptor sebagai penyelenggara negara  juga tidak memberi manfaat maksimal kepada publik dan negara. Sebab, publik sudah tidak lagi bersikap apresiatif dan hormat kepada para koruptor penyelenggara yang dapat menyebabkan mereka  tidak mampu mewujudkan kinerja yang optimal.

Seyogianya MA dan MK mampu melaksanakan wewenangnya secara baik dan bermanfaat, seraya menjadi pilar yang ikut memperbaiki negara ini sesuai dengan wewenang yang dimilikinya untuk menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana titah Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945.

Bahrul Ilmi Yakup Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi, Advokat; Dosen Pascasarjana Universitas Jayabaya


Kompas, 26 September 2018