Ungkapan dalam kutipan di atas dirasakan sangat kental dalam permasalahan bekas koruptor yang berkompetisi dalam pemilihan legislatif, di mana terdapat diskursus antara Undang-Undang Pemilu Umum (UU Pemilu), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), KPU yang membatalkan beberapa calon legislator yang merupakan bekas terpidana korupsi, serta keputusan Bawaslu dalam membatalkan putusan KPU itu, sehingga memperbolehkan bekas terpidana kasus korupsi berkompetisi pada Pemilu 2019.
Sementara, Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa larangan terhadap bekas terpidana korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.
Pada satu sisi, PKPU ini dibentuk sebagai salah satu cara mengurangi korupsi pada tataran pejabat publik, terutama anggota legislatif. Namun, di sisi lain, PKPU ini menghasilkan pertanyaan dari segi hukum pidana di mana pencabutan hak politik melalui UU, sementara UU Pemilu tidak membatasi hal yang dibatasi PKPU. Pengaturan ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana seharusnya pengaturan pemilihan (election) dalam menyikapi status bekas terpidana korupsi yang telah menjalani pidananya?
Persyaratan sebagai calon anggota legislatif pada dasarnya diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPU No 20 Tahun 2018. Sama dengan pilkada, UU Pemilu memberikan persyaratan "tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana."
Dalam konsep yang dianut pasal tersebut bahkan seorang bekas terpidana bisa tetap menjadi calon anggota legislatif asalkan dalam proses pencalonannya telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada masyarakat mengenai statusnya tersebut.
Mengapa hanya "terpidana"? Bagaimana dengan tersangka ataupun terdakwa? Persoalan ini dijawab dengan konsep asas praduga tak bersalah, di mana seseorang tidak dapat dikatakan bersalah sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Karena itu, hanya bagi yang pernah memperoleh putusan yang dapat dipidana. Persoalan lahir ketika PKPU membuat aturan tambahan yang tidak ada dalam UU Pemilu, yakni bagi terpidana bandar narkotika, korupsi, dan kejahatan seksual terhadap anak tidak diperbolehkan sebagai bakal caleg.
Bandar narkotika dan kejahatan seksual terhadap anak dapat menjadi bahan diskusi tersendiri, tetapi para caleg banyak yang lebih mempersoalkan "korupsi". Dalam persoalan ini secara umum status terpidana punya batasan dalam mencalonkan diri sebagai elected officials.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14-17/PUU-V/2007 mengenai persyaratan sebagai calon kepala daerah, dinyatakan bahwa sebagai elected officials, maka status terpidana walaupun sudah menjalani pidananya tidak dapat mencalonkan diri sampai lima tahun setelah yang bersangkutan menjalani pidananya.
Salah satu pertimbangan dalam putusan tersebut adalah "pemilihan kepala daerah tersebut tidaklah sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul segala risiko pilihannya."Hal ini terkandung makna bahwa elected officials merupakan jabatan yang langsung bertanggung jawab terhadap rakyat yang memilih sehingga dalam proses pencalonannya saja, statusnya dalam proses pidana harus diperlihatkan secara tegas dan ada larangan dalam kondisi tertentu. Namun, dalam putusan MK tersebut, MK tidak menyatakan bahwa bekas terpidana tidak seumur hidup kehilangan hak politiknya.
Selain itu, dalam hukum pidana, pencabutan hak politik hanya diperbolehkan dalam putusan pengadilan. Hal ini didukung ketentuan dalam Pasal 10 huruf (b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat pencabutan hak tertentu sebagai pidana tambahan.
Salah satu bentuk pidana tambahan dalam KUHP adalah pencabutan hak politik, baik untuk menggunakan hak pilih maupun hak dipilih sebagai seorang elected official. Hal ini diperkuat oleh UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang juga memuat pencabutan hak tertentu sebagai pidana tambahan. Irman Gusman dan Lutfi Hasan Ishaaq dapat menjadi contoh beberapa anggota legislatif yang dicabut hak politiknya. Namun, berdasarkan ketentuan pencabutan hak politik tersebut adalah maksimal lima tahun setelah terpidana menjalani pidananya. Permasalahan dalam Peraturan KPU adalah pencabutan itu berlangsung seumur hidup.
Teori rehabilitasi
Dalam putusan MK yang telah disebutkan sebelumnya, pencabutan hak politik dianggap sebagai konsep reparatoir-condemnatoir di mana terpidana diberikan waktu untuk ter-rehabilitasi dan siap kembali ke masyarakat. Konsep ini juga didukung rehabilitation theory, yakni pidana yang dijatuhkan maka sebagai obat bagi terpidana. Oleh karena itu, konsep pelabelan seorang bekas terpidana harus sudah dianggap sebagai warga negara yang sama.
Konsep-konsep ini menjadikan Peraturan KPU memiliki kekurangan hukum karena peraturan ini banyak menderogasi UU di atasnya.
Namun, dengan tingginya angka korupsi yang dilakukan oleh anggota Dewan, pencabutan hak politik seumur hidup ini merupakan keniscayaan. Juru bicara KPK pada awal tahun menyatakan bahwa terdapat 144 anggota DPR/DPRD yang diproses oleh KPK. Tentu masih banyak lagi yang diproses kejaksaan dan kepolisian. Ini menunjukkan penyakit yang sudah sangat mengganggu proses demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, pencabutan hak politik seumur hidup bagi bekas terpidana korupsi adalah keniscayaan. Hal ini didasarkan pada deterrence effect yang harus diciptakan.
Dengan adanya pencabutan hak politik seumur hidup ini, anggota legislatif serta pejabat publik akan lebih berhati-hati dan terhindar dari korupsi. Pencabutan hak politik seumur hidup ini juga dapat berlaku pada calon kepala daerah. Korupsi berkaitan erat dengan jabatan publik, karena itu pengaturan mengenai syarat jabatan publik harus memandang rekam jejak korupsinya.
Akan tetapi, pengaturan pembatasan hak sebagaimana Pasal 28J Ayat 2 UUD 1945 harus berdasarkan UU. Menjadi pertanyaan besar dalam UU Pemilu yang sama pembatasan bekas terpidana hanya ada dalam calon presiden dan calon wakil presiden, bukan pada calon anggota legislatif. Solusi paling pamungkas dalam permasalahan saat ini adalah Presiden sudah seharusnya menerbitkan perppu berkaitan dengan syarat anggota DPR untuk diterapkan dalam Pemilu 2019. Kondisi permintaan publik untuk terhindar dari calon bekas terpidana korupsi cukup tinggi dan waktu pemilu yang sudah cukup dekat menciptakan unsur kegentingan yang memaksa sebagaimana syarat penerbitan perppu. Pencabutan hak politik seumur hidup ini juga didasarkan pada adagium, Quid leges sine moribus, apalah artinya hukum tanpa moralitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar