Seusai perhelatan Asian Games 2018, kita perlu meminimalisasi politik yang sudah masuk tahap "keras" akibat perbedaan cara pandang dan kepentingan.
Politik kekerasan adalah sebuah ideologi atau mindset, cara berpikir rezim dan orang dalam sebuah aktivitas politik. Di era reformasi sesungguhnya tipe politik kekerasan sisa-sisa masa Orde Baru itu telah disepakati oleh bangsa ini untuk ditolak.
Apa yang sebenarnya kita tolak ialah tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan "rezim" untuk memperoleh, mendukung, dan mempertahankan kekuasaannya. Itulah kekerasan politik yang pernah kita koreksi 20 tahun yang silam.
Akar "politik kekerasan"
Baik politik kekerasan yang bersumber dari ideologi yang tercipta dengan tujuan untuk menciptakan kepatuhan masyarakat maupun kekerasan politik yang bersumber dari perbedaan sikap, pada hakikatnya dua-duanya setali tiga uang. Tidak ada bedanya, sama-sama kekerasan, dan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Loyalitas, kepatuhan, dan ekspresi politik dalam demokrasi sesungguhnya tidak boleh dibayang-bayangi oleh ancaman, apalagi kekerasan. Cukup sudah di masa lalu, era Orde Baru dan era politik pertarungan bebas Orde Lama, kita terpecah-pecah oleh pengotakan kepentingan politik praktis yang diramu dengan politik kekerasan dan/atau kekerasan politik.
Reproduksi kekerasan dalam bentuk apa pun akan merusak sendi-sendi demokrasi kita. Tanpa kebebasan, demokrasi akan berubah menjadi tirani. Oleh karena itu, rasanya cukup sudah kekerasan kepada kelompok aktivis dan intelektual yang kritis yang menyuarakan kebebasan berpendapat di republik yang kita cintai ini terjadi di masa lalu, jangan lagi tercipta di masa kini.
Mengapa harus dihentikan? Karena kekerasan yang telah inheren, melekat dalam struktur politik kita, bukan hanya menodai capaian demokrasi kita. Lebih dari itu, daya rusaknya butuh waktu yang lama untuk melupakannya. Apalagi untuk memperbaikinya. Apakah kita tidak pernah belajar dari sejarah kelam bangsa ini yang larut dalam kekerasan politik di era 1965, 1997—peristiwa "kudatuli", dan 1998—kerusuhan Mei.
Bukankah dampak peristiwa itu masih terasa hingga kini. Rasanya belum pulih kesatuan dan persatuan bangsa ini tumbuh dalam keberagamaan yang saling menghormati dan memberi tempat.
Oleh karena itu, bangsa ini perlu menyadari bahwa kekerasan dalam perspektif inheren, sebagai akibat dari budaya, tradisi, dan dorongan-dorongan internal dan eksternal yang memengaruhi para pelaku, akan memunculkan wataknya yang berulang-ulang. Ini menjadi persoalan kita bersama. Sebab, harus diakui bahwa tradisi politik kita sebenarnya lebih "santun" dan lebih bisa menerima, dan bukan tradisi vis-À-vis, berhadap-hadapan seperti tradisi politik di beberapa belahan negara seperti India, Suriah, Pakistan—yang politiknya kental dengan "kekerasan—bahkan kekerasan senjata". Empat kali pemilu di era reformasi dan ratusan pilkada pun telah sukses kita lalui dengan damai tanpa diwarnai oleh kekerasan yang berarti.
Studi yang dilakukan oleh Hartogs dan Artzt (Grundy dan Weinstein: 1974, 2-3) menyebut bahwa ada tiga model kekerasan yang sering terjadi. Pertama, tipe kekerasan yang terorganisasi (organized violence), yang menunjukkan suatu pola (pattern) dan suatu kesengajaan (deliberate). Kedua, kekerasan spontanitas yang dipengaruhi oleh eksploitasi situasi politik internal dan eksternal. Kekerasan ini berbentuk reaktif, compensatory atau gratuitous. Reaksi merupakan akibat langsung dari kondisi-kondisi frustrasi, sementara compensational merupakan bentuk frustrasi lanjutan yang mengakibatkan kekerasan. Tipe ketiga adalah tipe penyimpangan (pathological violence) yang diakibatkan oleh kondisi fisik maupun mental yang sakit.
Kekerasan tipe pertama lebih mengarah pada kekerasan politik, di mana tindakan itu ada yang mengendalikan atau memobilisasi. Kekerasan politik dapat dipastikan melibatkan aktor dan berbagai pihak dari kedua belah pihak yang terlibat dengan skenario dan tujuannya masing-masing.
Kedewasaan politik
Ketiga tipe kekerasan itu idealnya diminimalisasi dalam praktik politik elektoral kita. Pilihan politik kita terhadap demokrasi harusnya dijadikan sebagai katalisator dalam memahami dinamika politik. Demokrasi sebagai sebuah proses elektoral dalam bingkai pergantian kepemimpinan bangsa adalah sebuah jalan damai.
Dalam konteks itu, hakikat pemilihan umum (pemilu) tidak bisa ditafsir sebagai semata-mata jalan untuk mencapai kemenangan dan kekuasaan. Pemilu harus dimaknai sebagai pendidikan bersama tentang politik, yang di dalamnya dihiasi oleh nilai yang mencerminkan keadaban bangsa ini.
Itulah yang hilang, karena hiruk-pikuk politik lebih bernuansa hitam-putih, menang-kalah. Politik menjadi trik, dengan segala hiruk-pikuknya yang bukan saja menyebalkan, tetapi melukai hati nurani.
Kalau kita kembali pada kerangka konstitusi kita, UUD 1945 yang telah diamendemen, politik elektoral kita ada dalam bingkai sistem demokrasi yang menjamin agar kekerasan tidak terjadi. Perbedaan politik adalah keniscayaan, yang tidak niscaya ketika perbedaan dilawan dengan cara-cara pengerahan massa, dan cara-cara main kekuatan. Demokrasi juga meniscayakan adanya perbedaan politik, karena kontestasi politik pada dasarnya adalah pertarungan perbedaan.
Kita menyayangkan dalam perhelatan politik elektoral menjelang Pemilu 2019 tidak ada pertarungan ide dan gagasan. Padahal, pemilu bukan semata-mata proses tahapan, tetapi jauh lebih substansial ialah bagaimana kedua belah pihak menawarkan gagasan untuk membangun bangsa dan negara ini ke depan. Suasana "perang gagasan" dan narasi kedua kubu terasa hilang sehingga tanding ulang Jokowi-Prabowo justru kehilangan ruang argumentasinya.
Demokrasi elektoral seyogianya mempertarungkan pula perdebatan yang argumentatif sebagai pembeda dengan sistem yang anarkistis. Demokrasi elektoral semacam itu juga mengharuskan kedewasaan politik dari dua kubu, khususnya dari kubu petahana.
Sikap capres/wapres
Politik yang saling mengancam akan melahirkan stabilitas demokrasi Indonesia yang rapuh. Oleh karena itu, setiap perhelatan pemilu, Komisi Pemilihan Umum selalu membuat perjanjian kalah-menang dan pemilu yang damai. Faktor calon, baik dari kubu Jokowi maupun Prabowo, sangat menentukan, apakah embrio "politik kekerasan" ini akan berlanjut dan membesar atau dapat ditransformasi menjadi sebuah perdebatan gagasan politik yang memiliki makna.
Paling tidak, kedua kubu harus introspeksi diri dan menahan diri. Sebab, sebuah gerakan politik—political movement—akan mengikuti naluri Hagobian, di mana setiap kerumunan akan berpotensi menimbulkan kericuhan dan kegaduhan politik. Politik balas-membalas akan menjadi semacam siklus.
Untuk menghindari hal itu, selain sikap dan posisi kedua calon dapat menjembatani perbedaan kedua kubu, peran dan fungsi negara menjadi kata kunci yang lebih penting. Agar persekusi dan kekerasan tidak terjadi, instrumen negara yang diberi wewenang—dalam hal ini kepolisian dan "BIN" misalnya—dapat bertindak independen dan netral. Dalam prinsipnya, aparat negara bertindak "melindungi" kelompok yang dipersekusi, kelompok yang menjadi korban, sehingga kewibawaan negara hadir untuk menciptakan kedamaian politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar