Setelah menangkap 11 pelajar, Senin (3/9/2018), polisi menangkap lagi 18 pelajar yang diduga terlibat tindak penganiayaan. Dua hari sebelumnya, Sabtu (1/9/2018) dini hari, seorang pelajar berinisial AH (16) tewas dibacok oleh sekelompok pelajar lain di Grogol Utara, Jakarta Selatan.

Kasus itu menambah panjang kasus kejahatan yang diidentifikasi sebagai tawuran antarpelajar. Peristiwa penganiayaan dan pembunuhan yang melibatkan pelajar telah membuktikan adanya "tawuran berkelanjutan" tanpa memedulikan perbaikan sistem pendidikan di Indonesia.

Pertanyaannya, ketika sistem pendidikan terus-menerus diperbarui dan diperbaiki, mengapa tawuran terjadi dari waktu ke waktu? Tepatnya, di manakah kesalahan orangtua, pendidik, masyarakat, dan pemerintah?

Kasus versus standar

Masalah-masalah yang dihadapi di lapangan tidak mudah. Baik orangtua korban maupun pelaku merasa sudah mendidik anaknya dengan baik. Pihak sekolah pasti sudah menerapkan sistem pendidikan dan pengajaran sebagaimana standar yang telah disepakati pihak-pihak terkait. Jika melihat kronologinya, peristiwa terjadi di luar jam sekolah. Sabtu dini hari, AH bersama rekannya, RS, menaiki sepeda motor dari arah Blok M. Ketika melewati jalan layang Permata Hijau, mereka bertemu sekelompok penyerang yang menendang motor sehingga terjatuh. Setelah itu pelaku membacok AH, sedangkan RS berhasil menyelamatkan diri. Nyawa AH tidak tertolong setelah dilarikan ke rumah sakit.

Kendati demikian, kasus itu menunjukkan bahwa perilaku remaja merupakan subyek pendidikan yang tidak bisa dilepaskan dari laporan statistik dalam portofolio kemajuan/kemunduran pendidikan di Indonesia. Hal itu berada dalam proyek besar bangsa ini untuk mempersiapkan manusia-manusia unggul melalui pendidikan. Dengan begitu, argumentasi "masih banyak siswa lain yang berprestasi di tingkat dunia dibandingkan segelintir siswa yang tawuran di Jakarta" tidaklah tepat.

Sebagai gambaran sederhana, untuk mewujudkan proyek tersebut, legislatif telah menetapkan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Secara politis, rakyat telah memberi amanat kepada pemerintah untuk melaksanakan pendidikan yang berkualitas. Hasil pembacaan itu dapat dijadikan sebagai titik pijak untuk merunut apa yang sesungguhnya terjadi dalam agenda pendidikan kita. Sekurang-kurangnya, penelusuran terhadap pelaksanaan amanat itu dapat dilakukan melalui tiga langkah.

Pertama, amanat dalam UU itu secara konkret telah dilaksanakan melalui sistem pelaksanaan pendidikan. Secara yuridis-formal, sekurang-kurangnya pemerintah telah menghasilkan Kurikulum Nasional sebagai tindak lanjut dari Kurikulum 2013. Argumentasi yang dikemukakan pemerintah, hal itu merupakan "perbaikan" dari kurikulum yang telah diterapkan sebelumnya.

Kedua, pelbagai elemen yang telah ditafsirkan di dalam kurikulum tersebut kemudian dibakukan oleh sebuah badan standardisasi. Pendeknya, badan standardisasi bekerja membuat rumusan-rumusan yang bisa diterjemahkan secara praktis oleh para pelaksana dalam dunia pendidikan secara nasional. Dengan begitu, pelaksanaan pendidikan diharapkan akan bekerja secara cepat dan mudah.

Ketiga, elemen standar itu mencakup kompetensi lulusan, pengetahuan, proses pendidikan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan pendidikan, dan penilaian pendidikan. Untuk dasar pelaksanaan dalam institusi pendidikan dasar dan menengah, tiap standar elemen itu telah disahkan dalam sistem perundang-undangan.

Standar moral pendidikan  

Apabila melihat alur tersebut, secara umum tampak pelaksanaan amanat itu baik-baik saja. Akan tetapi, secara mencolok mata kita bisa menemukan hal-hal yang luput dari alur tersebut. Jika dimulai dari unsur yang paling konkret hingga yang paling abstrak dalam praktik pendidikan di Indonesia, ada tiga hal mendasar yang perlu perhatian.

Pertama, perumusan standar di atas ternyata mengukur unsur-unsur keberlangsungan pendidikan secara materialis-positivistik. Dengan kata lain, sebuah peristiwa, data, atau gejala-gejala di sekolahan dapat dikatakan bagian dari standar pendidikan bagi pemerintah jika telah memenuhi rumusan rubrik yang telah ditulis oleh pemerintah. Hal itu dinyatakan sudah memenuhi standar karena kolom-kolom telah terisi. Awalnya, standar tersebut tentulah dimaksudkan sebagai dasar perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan sehingga ada jaminan kualitas dari pendidikan tersebut secara empiris.

Kedua, karena standar tersebut menyesuaikan kolom-kolom ceklis dan angka, standar yang telah ditetapkan pemerintah adalah alat ukur yang jauh dari amanat UU. Salah satu bukti, standar kompetensi lulusan diukur melalui hasil ujian nasional (UN). Sementara UN itu sendiri berisi olah kognitif untuk mendapatkan skor dalam kelulusan. Aspek-aspek moral, semangat, dan sikap tidak bisa diujikan karena dianggap terlalu subyektif.

Ketiga, secara ideologis, fakta bahwa amanat pendidikan berkualitas bukan sekadar kelulusan mata pelajaran. Standar pendidikan bukanlah pengisian kolom. Karena itu, pemerintah akan kesulitan menjawab bagaimana melakukan penilaian terhadap gugus semangat, tata nilai, norma, hingga sikap mental para pelaksana pendidikan.

Argumentasi tersebut dapat diringkas: pelaksanaan amanat tersebut tidak mencakupi segala hal yang berorientasi pada pembentukan otonomi moral bagi setiap pelaksana pendidikan. Jika harus menggunakan istilah "standar", pemerintah perlu menjelaskan standar moral dalam pendidikan, standar tanggung jawab pelaksana pendidikan, standar perilaku peserta didik, dan standar toleransi dan semangat bersaudara.

Panji-panji moralitas pendidikan sebagai titik awal pelaksanaan pendidikan tidak dipahami sebagai semangat yang menjiwai seluruh proses. Kebajikan masa lalu, seperti "pelita dalam kegelapan", "pahlawan tanpa tanda jasa", "digugu dan ditiru", berubah menjadi kebijakan tentang tunjangan, sertifikasi, dan kenaikan angka kredit.

Karena itu, tak terlambat bagi pemerintah untuk menata ulang  revitalisasi semangat dalam pelaksanaan pendidikan. Pembacaan amanat pendidikan yang rumpang akan menjadikan pendidikan berhenti sebagai proyek besar, tetapi mengecilkan dasar-dasar ideologis sebagai titik pijak.