Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga acuan, 7-day (Reverse) Repo Rate, menjadi 5,5 persen pada 15 Agustus 2018.

Meski tidak spesifik dinyatakan, penggunaan suatu instrumen kebijakan yang berimplikasi luas, dalam hal ini suku bunga, menunjukkan ada suatu target yang ingin dicapai. Target mungkin saja spesifik atau suatu rentang nilai. Target kebijakan BI ini mengindikasikan upaya menghindari depresiasi rupiah lebih jauh. Terdapat nominal anchor yang dapat diamati pasar, yaitu nilai tukar.

Umumnya kenaikan suku bunga sebagai perangkat kebijakan moneter digunakan untuk mengendalikan inflasi dan/atau menciptakan paritas suku bunga riil dengan negara lain. Pada satu sisi, saat ini inflasi berada dalam kendali, bahkan di bawah 4 persen per tahun. Pada sisi lain, investor portofolio yang peduli atas perbedaan suku bunga riil semestinya sudah tidak berpengaruh seperti pada saat awal nilai tukar terdepresiasi. Karena itu, kenaikan suku bunga dengan target menjaga atau menahan nilai tukar menjadi pertanyaan.

Kenaikan suku bunga akan mengetatkan ekonomi sehingga dapat mengganggu batas bawah target inflasi. Implikasinya, mengakibatkan ekonomi menjadi stagnan. Dalam bahasa yang berbeda, tindakan disinflasi yang terus-menerus dapat mengantar pada fluktuasi output yang tidak diinginkan, atau tingkat pengangguran yang dapat meningkat.

Target kebijakan makroekonomi

Kebijakan makroekonomi memiliki dua target besar, yaitu pertumbuhan output (dikenal juga dengan pertumbuhan ekonomi) dan pengendalian inflasi. Perkembangan referensi kemudian memunculkan varian pada kedua target ini.

Pada awalnya, secara empiris, kedua target ini tidak tercapai sekaligus. Pencapaian salah satu target justru mengakibatkan pelemahan pada target lain. Dikenal dengan istilah trade-off.  Namun, sejalan waktu, kedua target tersebut dimungkinkan tercapai bersamaan membaik atau malah memburuk.

Dalam jangka pendek, untuk pengendalian inflasi, instrumen suku bunga berperan strategis. Untuk pertumbuhan output, instrumen kebijakan moneter berkembang cukup banyak dalam kerangka mekanisme transmisi. Namun, target pertumbuhan output bukan fokus tulisan ini. Dalam jangka panjang, kedua target dipengaruhi oleh kebijakan yang bersifat struktural, seperti pembangunan infrastruktur, pengembangan institusional (penciptaan rule of the game), dan penguatan kompetensi SDM (dengan penekanan pada pendidikan dan penguasaan teknologi).

Bersandar pada kebijakan moneter, target BI sebagai otoritas moneter adalah pencapaian kestabilan nilai rupiah. Target ini mengandung dua aspek, yaitu terhadap barang dan jasa (indikator inflasi) serta terhadap valuta asing (indikator nilai tukar). Persoalan muncul pada saat penentuan prioritas target kebijakan moneter. Telah menjadi pemahaman makroekonomi bahwa inflasi yang lebih rendah terhadap inflasi negara rival akan memengaruhi penguatan nilai tukar dalam jangka panjang.

Namun, belum tentu terjadi sebaliknya, yaitu target nilai tukar akan menghasilkan pencapaian target inflasi. Misalnya, tindakan bank sentral melemahkan nilai tukar rupiah untuk memperoleh keseimbangan eksternal (ekspor-impor) malah dapat menstimulus kenaikan harga karena impor yang inelastis.

Target kebijakan moneter yang ditetapkan bank sentral di sejumlah negara adalah pencapaian satu target. Target inflasi atau sebenarnya lebih tepat disebut sebagai target disinflasi (inflasi yang lebih rendah daripada tahun sebelumnya) sering kali menjadi suatu komitmen. Tidak saja mengantar inflasi dan ekspektasi inflasi yang lebih rendah, bahkan dapat dipertahankan ketika ekonomi kembali pada siklus ekspansif. Keunggulan target inflasi terletak pada kemampuannya untuk fokus pada persoalan domestik, terukur, dan mudah diobservasi publik.

Target inflasi digunakan banyak negara terutama karena memengaruhi berbagai aspek makroekonomi, seperti inflasi yang tinggi antara lain menurunkan daya beli masyarakat, kenaikan biaya transaksi, dan alokasi sumber daya yang tak efisien. Meski demikian, target inflasi juga memiliki kelemahan, seperti jika terdapat ketidakdisiplinan birokrasi, suatu negara yang defisit anggaran secara terus-menerus dapat mengakibatkan pembiayaan melalui pencetakan uang.

Sebaliknya, target nilai tukar digunakan jika keunggulan target ini lebih besar dibandingkan dengan kelemahan dari target inflasi di atas. Penentuan nilai tukar diimplementasikan dengan mengaitkan inflasi domestik dan inflasi dari negara yang menjadi acuan inflasi. Penurunan inflasi pada negara acuan akan memaksa penurunan inflasi pada negara domestik. Jika tidak, nilai tukar domestik akan melemah.  Komitmen mencegah gagalnya target nilai tukar merupakan basis untuk mempertahankan kepercayaan pasar atas target nilai tukar.

Hanya saja, konsekuensi target nilai tukar adalah kebijakan moneter menjadi tak efektif. Kenaikan suku bunga pada negara acuan, seperti kenaikan suku bunga acuan The Fed,  mesti disertai kenaikan suku bunga domestik. Terjadi kebijakan moneter kontraktif tanpa adanya relevansi dengan kondisi ekonomi domestik. Ketergantungan pada kebijakan negara lain ialah kendala terbesar penerapan target nilai tukar sehingga kebijakan moneter menjadi tak efektif. Bahkan, dependensi seperti ini dapat mengundang serangan spekulatif.

Terkait fluktuasi dan pelemahan nilai tukar, tentu saja kebijakan moneter bukan solusi tunggal. Salah satu akar masalah beberapa tahun terakhir terletak pada sektor riil: defisit transaksi berjalan. Tren fluktuatif sejak 2004 dan defisit sejak 2012, kondisi transaksi berjalan masih dihibur oleh neraca perdagangan yang surplus. Namun, saat ini neraca perdagangan pun berfluktuasi.

Pertanyaannya, terkait perkembangan ekspor dan impor barang/jasa ini, apakah yang menjadi target kementerian terkait, seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian? Indikator apa yang menjadi rujukan? Jika tak tercapai target itu, solusi apakah yang disiapkan? Yang mungkin terdengar adalah pengembangan produk unggulan dan perluasan pasar tujuan ekspor. Namun, belum jelas program yang konkret untuk membantu dunia usaha.  Kenyataannya, transaksi berjalan masih defisit.

Pemetaan kebutuhan dollar AS

Lima belas tahun lalu, pertengahan 2003, nilai tukar sedang menguat pada rentang Rp 8.100-Rp 8.200 per dollar AS, tetapi inflasi masih sangat fluktuatif pada rentang 4-11 persen. Dalam kondisi saat itu yang cenderung implisit dalam penentuan target kebijakan, terdapat kesan upaya menjaga rentang nilai tukar tertentu.

Namun, pada saat ini semestinya tidak ada masalah mengenai target kebijakan karena target inflasi sudah menjadi komitmen kebijakan moneter. Bahkan, menjaga nilai tukar tertentu dapat mengganggu target inflasi. Dilema kebijakan ini perlu disorot. Mungkin saja menjaga nilai tukar baik untuk jangka pendek, seperti menciptakan psikologis pasar, tetapi dapat mengganggu untuk jangka panjang. Dikenal dengan masalah time-inconsistency.

Dari pengalaman krisis finansial global, referensi menunjukkan kestabilan harga (inflasi yang terkendali) dan output tak menjamin kestabilan pasar finansial. Performa fundamental makroekonomi tak otomatis mendukung kinerja pasar valas, atau pasar finansial secara luas. Preferensi pelaku pasar finansial memegang rupiah dipengaruhi banyak hal, seperti ekspektasi nilai tukar, return dan risiko aset domestik dan asing saat ini dan akan datang.

Merujuk pengalaman tersebut, gejolak pasar valuta asing tidak dapat dihindari meskipun makroekonomi dalam keadaan baik. Karena itu, kembali lagi respons kebijakan menjadi dilematis. Dalam kondisi saat ini untuk menghindari implikasi negatif pergerakan nilai tukar, pemetaan kebutuhan dollar AS diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab depresiasi rupiah. Apakah disebabkan oleh: (1) daya tarik investasi portofolio, atau (2) kebutuhan impor/pembayaran kewajiban? Kenaikan suku bunga diperlukan untuk penyebab yang pertama. Adapun untuk penyebab kedua diperlukan komunikasi untuk meyakinkan dunia usaha sehingga menghindari kepanikan. Seperti disinggung di atas, yang relevan saat ini berasal dari penyebab yang kedua.

Karena itu, kenaikan suku bunga acuan menjadi 5,5 persen oleh BI mengundang pertanyaan. Bukankah target inflasi sudah berada dalam koridor, dan pertumbuhan ekonomi berada pada rentang 5,1-5,2 persen? Upaya ini dapat terganggu dengan upaya menenangkan gejolak depresiasi rupiah melalui kenaikan suku bunga. Padahal, kebijakan moneter untuk merespons pergerakan nilai tukar hanya dimungkinkan jika bertujuan untuk pencapaian target kebijakan makroekonomi.