Sungguh banyak pembelajaran yang dapat diperoleh dari Asian Games 2018 yang baru berlalu. Orang ramai berbicara mengenai pembukaan yang spektakuler dan prestasi gemilang dari tim Indonesia yang jauh melampaui target. Sesungguhnya, dari Asian Games 2018 ini, kita juga banyak belajar mengenai kebaikan dan rasa syukur.

Siapakah orang yang bersedia sukarela berbuat kebaikan? Yang sukarela, bahkan bahagia berbuat baik, tampaknya adalah mereka yang menghayati rasa syukur. Siapakah orang yang bersyukur? Yang bersyukur adalah ia yang mampu melihat hal-hal baik dan berterima kasih untuk hal tersebut.

Hati kita tersentuh oleh pernyataan-pernyataan mereka yang bersedia bergabung menjadi sukarelawan di Asian Games 2018. "Saya ingin terlibat dalam peristiwa sangat bersejarah ini. Tapi saya bisa menyumbang apa ya? Saya ikut saja Kontingen Kebaikan Clear Up Gelora Bung Karno." "Saya ingin berkontribusi secara sederhana dengan biaya murah ikut tim kebersihan". Wahyu, Sinta, Hanifa, dan banyak lainnya dengan gembira menenteng kantong plastik putih bertuliskan "Kontingen Kebaikan" dan memungut sampah tanpa sungkan dan malu. Yang lain menjadi sopir truk sampah dan bus toilet.

Diberitakan pula, penonton dari Jepang yang memunguti sampah yang ditinggalkan penonton lain.

Yang baik adalah yang bersyukur

Pada awalnya, psikologi mendefinisikan gratitude atau rasa syukur secara sempit. Dilihat dari bagaimana orang menghargai atau berterima kasih atas pertolongan orang lain. Wood, Froh, dan Geraghty (2010) mengingatkan bahwa definisi demikian tidak memadai. Tak jarang kita bersyukur untuk alasan-alasan yang tak terpikirkan para peneliti yang "sok obyektif". Misalnya, bersyukur karena dapat bangun pagi setiap hari, atau dapat makan siang bersama sahabat. Bahkan, sebagian orang melihat kegagalan atau cobaan yang dialami juga dengan rasa syukur.

Oleh karena itu, bersyukur kemudian dilihat sebagai bagian dari orientasi hidup. Berbeda, tetapi terkait dan dapat memengaruhi penghayatan-penghayatan positif lain, misalnya optimisme, harapan, dan rasa percaya.
"Article in press"

Pendekatan terhadap bersyukur sebagai orientasi hidup menelaah bersyukur dari beberapa komponen. Ada perasaan bersyukur ("sungguh aku bersyukur untuk banyak hal dalam hidupku"); penghargaan atas bantuan dari orang lain ("aku berterima kasih untuk kehadiran teman-temanku"); serta rasa syukur atas apa yang dimiliki ("aku bersyukur dipercaya mengasuh anak-anak ini").

Ada pula perasaan terpesona (awe) (sungguh indah pemandangan ini), kemampuan untuk menikmati "saat ini" ("saya berhenti sejenak untuk mencium harum bunga di taman"), serta kesadaran bahwa "hidup itu singkat" sehingga harus dijalani sebaik mungkin.

Bersyukur juga dilihat dari perilaku, dapat dalam ritual harian, misalnya berdoa mengucap syukur, atau berbicara sopan dan mengucapkan terima kasih. Individu yang bersyukur melakukan pembandingan sosial secara positif ("saya tidak mau mengeluh terus karena orang lain banyak yang punya masalah lebih berat").

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa rasa syukur berhubungan dengan karakteristik-karakteristik positif. Yang bersyukur lebih terbuka dan jujur mengenai perasaan, ide, dan nilai-nilai pribadinya. Yang bersyukur lebih jarang marah, lebih rendah tingkat depresinya, lebih hangat secara emosi, lebih mau aktif, peduli, dan bersedia menolong.

Bersyukur berkaitan dengan kesediaan memaafkan, dengan sendirinya individu memperoleh penerimaan dan dukungan lebih besar dari lingkungan. Sikap bersyukur juga meningkatkan kesalingan perilaku yang bersifat positif dengan orang lain.

Sikap bersyukur

Orang yang tidak menghayati rasa syukur akan sulit menyadari bahwa orang lain telah menolongnya. Bila pun ia tahu orang lain menolongnya, belum tentu ia akan melakukan hal sama atau membalas kebaikan itu. Sebaliknya, orang yang sungguh punya niat baik dengan banyak menolong ketika terus direspons tanpa ucapan atau sikap terima kasih, mungkin juga akan enggan membantu di masa selanjutnya.

Dengan keterkaitan sikap bersyukur dengan berbagai situasi diri positif, peneliti psikologi mulai bertanya, barangkali rasa syukur itu memiliki fungsi adaptif dengan tujuan evolusioner untuk kebertahanan hidup manusia? Apabila demikian, rasa syukur merupakan hal normal dan alamiah sehingga yang sulit menghayati rasa syukur perlu diteliti lebih lanjut mengapa demikian?

Hambatan apa yang dialami mereka yang tak mampu bersyukur? Bagaimana membantu mereka agar dapat menghidupi rasa syukur?

Sejauh ini, intervensi psikologis yang dikembangkan untuk menghadirkan sikap bersyukur dilakukan dengan sederhana. Kita dapat membiasakan diri membuat daftar hal yang kita syukuri, sesederhana apa pun itu. Kita juga dibiasakan mengekspresikan perilaku yang menunjukkan rasa syukur. Misalnya, berbicara dan meminta tolong dengan sopan, selalu mengucapkan terima kasih, atau mengunjungi kelompok yang kurang beruntung.

Adakah orang yang banyak berjasa dalam hidup kita tetapi kita belum berterima kasih secara cukup kepadanya? Sudahkah kita membalas perbuatan baik orang lain? Apakah lingkungan dan media sosial yang kita baca membantu kita lebih mampu bersyukur dan berbuat baik? Atau sebaliknya, sibuk mengkritik, mencari-cari dan selalu saja menemukan kelemahan pihak lain, bahkan merekayasa cerita bohong dan kita tertular energi dan emosi negatifnya?