KOMPAS/PRIYOMBODO

Mural sosok tokoh proklamator Republik Indonesia, Soekarno, menghiasi tembok di kampung gaga, Larangan Selatan, Kota Tangerang, Banten, Sabtu (9/9/2017). Sosok mantan presiden RI pertama ini masih dikenang dan dicintai oleh rakyat. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya mural-mural Soekarno yang mudah kita jumpai di berbagai media dan tempat.

Di halaman sebuah rumah tua di kota Namlea, Pulau Buru, Maluku, terdapat tugu berbentuk tinju, mengacung ke udara yang panas, seolah mengucap dengan tegas, "Merdeka atau Mati!" Di bawah kepalan tangan itu, terdapat kalimat yang tak kalah menggugah, "Indonesia tanpa Buru bukanlah Indonesia". Itulah pesan Bung Karno, Presiden pertama RI saat berkunjung ke "Bumi Kayu Putih" pada tahun 1957.

Segera terasa gelora seorang besar yang seluruh hidupnya memperjuangkan Tanah Air. Terlebih pesan itu diterakan di halaman Gedung Juang, tempat rakyat Buru dipimpin Adam Pattisahusiwa mengambil alih kekuasaan Belanda, 8 April 1946. Kemerdekaan sempurna diraih, dan Buru, pulau ketiga terbesar di kawasan Jazirah Al-Mulk itu (setelah Seram dan Halmahera, atau hampir dua kali Pulau Bali), berpeluk damai dengan NKRI.

Tentu geliat perjuangan itu sangat berat. Namun, rakyat Buru memiliki pemimpin perjuangan yang tangguh seperti Abdurahman Wannebo yang merobek dan menurunkan bendera Belanda, Amido bin Talib, Hamid Goja, dan Adam Pattisahusiwa sendiri. Para pejuang tersebut belum diangkat menjadi pahlawan nasional meskipun Mendikbud Muhadjir Effendy saat berkunjung ke Buru (2016) mengajak para pihak di Buru agar segera mengajukan dokumen dan persyaratan lain. Terlepas dari proses ke arah itu, ini cukup ironis: wilayah seluas Buru belum satu pun memiliki pahlawan nasional.

Literatur "travelogue"

Hal menarik lainnya di Buru adalah banyaknya literatur yang ditulis mengenai pulau ini, atau ditulis di pulau ini. Pada masa dunia Barat diharu biru oleh semangat menjelajah dunia, tersebutlah Antonio Pigafetta, travelogue asal Italia. Tahun 1521, ia berlayar ke Maluku (termasuk ke Pulau Buru) menumpang kapal Victoria milik Spanyol di bawah komando Ferdinand Magellans. Pigafetta atau Pigapheta lalu menerbitkan catatannya dalam buku Primo Viaggio Intorna al Globo Terraque (1524) yang disinyalir membuka jalur rahasia ke pulau rempah-rempah.

Alfred Russel Wallace, naturalis Inggris yang mencipta garis imajiner Wallace Line (ia membagi Nusantara berdasarkan tipe flora dan faunanya), merasa sangat bahagia saat akhirnya sampai di Cajeli (Kayeli), pelabuhan penting waktu itu. Ia mengatakan sudah lama ingin ke Boroe (Buru) sebagaimana ditulis dalam bukunya, The Malay Archipelago (1869), dan diterjemahkan menjadi Kepulauan Nusantara (Kobam, 2009). Dari Kayeli, ia masuk ke pedalaman Buru, tepatnya ke Waeapo, ditemani langsung Raja Kayeli untuk berburu serangga dan kupu-kupu.

Kisah mendalam tentang penyulingan minyak kayu putih bisa didapat dari novel Beb Vuyk, seorang Indo-Belanda, Het Laatste Huis van de Wereld (1938) dan diterjemahkan dengan indah oleh Gadis Rasjid, Sebuah Rumah Nun di Sana (Pustaka Jaya, 1975). Di sana kita akan bertemu rumah awal kebangsaan yang memuat dengan detail tentang kehidupan masyarakat Buru tempo doeloe, suasana soa (kampung), sosok hinolong (kamitua), dan para pekerja penyulingan di kilang Batuboi yang berasal dari beragam suku bangsa. Bukan hanya penduduk asli seperti suku Alfuru, tetapi hampir semua suku bangsa sekawasan, seperti Kei, Ambon, Ternate, Buton, Kaladupa, dan Binongko.

Dalam urusan buku, Pemerintah Kabupaten Buru tak mau ketinggalan. Setidaknya tiga buku sudah mereka terbitkan: Buru Pulau Raja yang Indah (2008), Kabupaten Buru dalam Pesona dan Potensi (2005) serta Buru di Mata Para Penjelajah (2010). Dalam buku tersebut, antara lain kita bersua cuplikan literatur dari era travelogue klasik, catatan masa kolonial, dan tulisan terkini, seperti catatan Janet E Steel dari George Washington University yang pernah berkunjung ke Buru.

Kita berharap novel Beb Vuyk yang lain tentang Buru, Hel Hout van Bara (Kayu dari Bara) dapat diterjemahkan dan diterbitkan jika perlu sekalian menerbitkan ulang Sebuah Rumah Nun di Sana, termasuk sebuah dokumen Belanda tentang Buru, Het Eiland Boroe Zijne Exploittatie Hifoersche Instenllingen (1558). Bahkan, saya bayangkan, ada program jelajah literasi yang bernilai

Tapol

Dalam sejarah mutakhir, Pulau Buru dikenal sebagai kanal politik 65 ketika lebih dari 12.000 tahanan politik dikirim ke Waeapo, dataran rendah di wilayah Petuanan Kayeli. Mereka ditempatkan dalam unit-unit dan barak. Sepanjang tahun 1969-1979, para tapol diperintahkan babat alas, membuka lembah Waeapo menjadi sawah. Itulah lahan satu-satunya yang bisa ditanami padi di Buru, bahkan hingga hari ini. Kedatangan para transmigran dari Jawa, pasca pembebasan tapol, menjamin kelangsungan produksi padi dan pengembangan sawah yang dirintis para tapol sehingga Waeapo sukses menjadi lumbung padi Maluku, bahkan Indonesia Timur.

Namun, selain lahan bercocok tanam dalam pengertian harfiah, Buru juga lahan subur bagi lahirnya literatur Tanah Air. Pertama-tama tentu kita akan mengingat Pramoedya Ananta Toer, dengan tetralogi Pulau Buru-nya, termasuk roman Arus Balik yang juga ia garap di Mako, Waeapo, di samping dua jilid Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Karya Pram yang lain, Perawan Remajadalam Cengkeraman Militer (2001), menjadi semacam liputan yang unik tentang nasib bekas (jugunianfu yang didatangkan Jepang dari Jawa ke Buru. Unik karena bahan-bahannya dikumpulkan kawan-kawan sesama tapol yang corvee (tugas) ke lapangan, selain Pramoedya sendiri menggali informasinya dari Ibu Raja Kayeli, Nafsiah Wael.

Akan tetapi, kita harus berlaku adil sejak dalam pikiran apabila membicarakan Buru dengan kepengarangan Tanah Air. Di sini bukan hanya Pram, melainkan ada banyak pengarang lain, baik yang dikenal maupun kurang dikenal. Sebutlah Rivai Apin, Mars Noermono, Oie Hiem Hwie, Hersi Stiawan, Joesoef Isak, dan Amarzan Loebis. Mereka juga membawa "oleh-oleh" karya berupa buku atau catatan setelah pembebasan.

Dengan peta semacam itu, dapat dikatakan Buru bukan hanya bagian penting dalam peta literasi kita—yang kini menjadi gerakan bersama pencerdasan bangsa—melainkan juga penting dalam gerak sejarah kita. Untuk literasi bisa diandaikan, jika Sumatera Barat atau Sumatera Utara mewarnai jagat literasi sastra era klasik (Balai Pustaka dan
Pujangga Baru), maka dalam literatur kolonial, travelogue, dan tapol 65, Buru merupakan kantong istimewa yang tak boleh diluputkan! Sementara dalam sejarah, Buru hadir dan meng"-ada".

Apa yang memungkinkan semua itu terjadi?

Jika kita cermat melihat narasi keterlibatan Buru hampir dalam semua peristiwa penting Tanah Air, maka niscaya narasi itu sendiri jawabannya. Sekaligus menunjukkan bahwa tidak ada daerah atau kawasan di Nusantara yang bebas dari medan perjuangan. Sejak di bawah kuasa kolonial, berkecambahnya bibit nasionalisme, hingga perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, semua daerah terlibat dan bergerak. Perjuangan bukan dominasi sebuah wilayah atau satu pihak.

Bukankah Digul dan Tanah Merah di pelosok Papua, Minahasa, dan Gorontalo di jazirah utara Celebes, Ende, dan Banda di gugusan Sunda Kecil yang terpencil, serta pelosok lainnya di Tanah Air, telah menjadi kesatuan yang merasakan denyut satu sama lain? Dalam sajak Satu (1979), "Presiden Penyair" kita, Sutardji Calzoum Bachri, dengan agung menulis, "daging kita satu arwah kita satu/walau masing jauh/yang tertusuk padamu/ Berdarah padaku".

Begitu halnya Pulau Buru. Kita bisa memadatkan riwayatnya dengan teknik Iwan Simatupang membuka Merahnya Merah (1968):

"Pada awal kolonial, ia didatangi Portugis, lalu VOC, dan sebuah benteng berdiri di Kayeli, daerah petuanan yang dipecah Belanda jadi delapan. Perang dunia pun pecah, dan ia dicengkeram fasisme Jepang. Setelah Hiroshima dan Nagasaki jatuh, ia menjadi basis teritori pertahanan Sekutu di Pasifik, hingga tiba masa revolusi ketika ia memaksa Belanda takluk. Setelah merdeka, gerakan RMS masuk, tetapi ia cepat dibebaskan TNI. Setelah peristiwa September 1965 pecah di Ibu Kota, ia menjadi tempat membantarkan tahanan politik, lalu menerima program transmigrasi…."

Lewat akumulasi peristiwa yang berhubungan langsung dengan simpul sejarah Tanah Air inilah, kita dapat memaknai pesan Soekarno di atas: "Indonesia tanpa Buru, bukanlah Indonesia".

Raudal Tanjung Banua,
Koordinator Komunitas Rumahlebah Yogyakarta,