KOMPAS/ALIF ICHWAN

Konferensi pers membahas penegakkan hukum di lingkungan Aparatur Negara berlangsung di gedung KPK, Jakarta, Selasa (4/9/18). Sebelumnya telah berlangsung rapat tertutup yang dihadiri petinggi dari Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB). Konperensi pers dihadiri oleh (dari kiri ke kanan) Kepala BKN, Bima Haria Wibisana, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, Ketua KPK, Agus Rahardjo, dan Sekretaris Kementerian PANRB Dwi Wahyu Atmaji.

Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 2.357 aparatur sipil negara yang pernah menjadi narapidana korupsi. Mereka saat ini masih berstatus sebagai ASN.

Jika membaca Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS), seharusnya ASN yang berstatus bekas narapidana (napi) korupsi diberhentikan tidak dengan hormat. Namun, realitasnya, 2.357 ASN eks napi korupsi itu masih menikmati gaji dan fasilitas negara sebagai aparatur negara, bahkan sebagian masih menjabat di pemerintahan.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berniat menegur kepala daerah yang masih mempekerjakan ASN yang berstatus bekas napi korupsi itu (Kompas, 5/9/2018). Namun, sesungguhnya tetap mempekerjakan ASN yang seharusnya diberhentikan tak hanya perbuatan malaadministrasi, tetapi juga merugikan keuangan negara.

Jika mengacu pada upah minimum provinsi terendah di negeri ini tahun 2018, di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Rp 1,5 juta per bulan, kerugian keuangan negara dari menggaji ASN yang seharusnya diberhentikan itu tidak kurang dari Rp 3,535 miliar per bulan. Kerugian negara ini bisa lebih besar lagi karena tak sedikit ASN bekas koruptor itu memiliki gaji di atas Rp 1,5 juta, dan lebih dari sebulan tetap berstatus ASN di daerahnya, setelah dipidana serta putusannya sudah berkekuatan hukum tetap.

Kasus ASN bekas napi yang masih bekerja, bahkan menjabat, sebenarnya bukan hal baru. Hampir enam tahun lalu, harian ini melaporkan 153 PNS bekas terpidana, khususnya kasus korupsi, tetap bekerja, bahkan dipromosikan menjadi pejabat eselon II di provinsi atau kabupaten/kota (Kompas, 6/11/2012). Pemerintah pun menanggapi berita itu dengan membatalkan promosi terhadap PNS eks terpidana. Namun, ternyata hingga 2018 sebagian dari mereka masih bekerja. Jumlahnya pun membengkak.

Pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah semestinya tak perlu menanti adanya peraturan teknis untuk memberhentikan ASN berstatus eks napi korupsi itu. Aturan sudah jelas, ASN yang berstatus eks napi korupsi atau tindak pidana lain sesuai UU ASN diberhentikan tidak dengan hormat. Namun, memecat mereka sesungguhnya juga sebuah langkah untuk menyelamatkan ASN itu dari hukuman mati.

Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan, dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, hukuman mati dapat dijatuhkan. Penjelasan Ayat (2) menyebutkan, "keadaan tertentu" sebagai pemberatan bagi pelaku korupsi apabila tindak pidana itu dilakukan saat negara dalam keadaan bahaya, waktu terjadi bencana alam nasional, pengulangan korupsi, atau waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Bencana alam kerap terjadi di negeri ini. Negara kini boleh dikata mengalami krisis keuangan karena pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Kalau ASN eks napi korupsi masih bertugas, dan menjabat, mereka masih mungkin mengulangi korupsi. Jika itu terjadi, mereka pun bisa dihukum mati.

Oleh karena itu, sebaiknya ASN eks napi korupsi itu selekasnya diberhentikan. Atau, mereka "tahu diri" dan mundur dari ASN.

Kompas, 7 September 2018