Masalah ini mengemuka dalam beberapa forum diskusi yang dilakukan seminggu terakhir. Seperti pada forum diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) di TV One, yang membahas keterbatasan anggaran penanggulangan bencana sebagai penyebab masih lemahnya kesiapsiagaan dan sistem deteksi dini terhadap ancaman bencana gempa dan tsunami di Sulteng. Termasuk masih kurangnya dana siap pakai yang idealnya tiga kali lipat dari yang dialokasikan pemerintah saat ini.
Pertanyaannya, apakah benar alokasi anggaran yang bersumber dari APBN masih jauh dari alokasi ideal yang diperlukan baik untuk pengurangan risiko bencana maupun merespons kejadian bencana untuk keperluan penanganan pascabencana, mulai dari tahap tanggap darurat, dilanjutkan tahap transisi, hingga tahap pemulihan melalui rehabilitasi dan rekonstruksi?
Berapa idealnya kebutuhan pendanaan penanggulangan bencana? Sistem penanggulangan bencana perlu dilihat dalam tiga subsistem yang terdiri dari pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana (prabencana), penanganan kedaruratan setelah terjadinya bencana (emergency relief), serta pemulihan pascabencana melalui rehabilitasi dan rekonstruksi. Setiap subsistem memiliki kebutuhan yang berbeda- beda tergantung dari jenis ancaman dan besaran dan dampak bencana yang terjadi.
Oleh karena itu, kebutuhan pendanaan untuk setiap subsistem perlu dihitung secara terpisah. Namun, yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa ada perbedaan yang mendasar antara kebutuhan pendanaan dalam rangka pencegahan dan kesiapsiagaan dengan kebutuhan untuk penanganan pascabencana, baik untuk penanganan kedaruratan maupun pemulihan pascabencana selanjutnya.
Untuk pengurangan risiko bencana, kebutuhan pembiayaannya lebih difokuskan pada investasi pengurangan risiko bencana yang harus didasarkan pada rencana investasi pengurangan risiko bencana yang berorientasi pada peningkatan ketahanan terhadap ancaman dan kerentanan bencana. Sementara untuk kebutuhan pendanaan pascabencana, baik untuk kedaruratan maupun pemulihan, lebih diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan mendesak untuk tahap tanggap darurat dan untuk pemulihan berbagai bidang yang terkena dampak bencana, mulai dari perumahan, infrastruktur, fasilitas sosial, fasilitas, dan kegiatan ekonomi, termasuk pemulihan lintas sektor.
Kebutuhan pendanaan penanggulangan bencana perlu dibagi ke dalam dua fokus utama, yaitu fokus pada investasi pengurangan risiko bencana dan fokus pada pengeluaran pembiayaan untuk kedaruratan dan pemulihan pascabencana, meskipun untuk pemulihan pascabencana diperlukan juga investasi pengurangan risiko bencana dalam proses pemulihan, untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik dan aman serta berkesinambungan (build back better and safer in the long-run).
Komitmen pemerintah
Sejauh mana komitmen pemerintah dalam pembiayaan penanggulangan bencana? Sebenarnya pemerintah sudah cukup berkomitmen dalam pembiayaan penanggulangan bencana ini. Dari kerangka regulasi, secara khusus telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, yang telah mengatur dan memperhatikan pentingnya pendanaan untuk penanggulangan bencana. Berdasarkan evaluasi terhadap pembiayaan penanggulangan bencana pada satu dekade terakhir, sebenarnya telah dibuktikan bahwa pemerintah sudah cukup serius dan berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan penanggulangan bencana, khususnya dari APBN.
Seperti ditunjukkan dengan diakuinya komitmen Pemerintah Indonesia oleh Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN- ISDR) pada 2011, di mana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dianugerahi sebagai Global Champion for Disaster Risk Reduction, yang merupakan apresiasi kepada Pemerintah Indonesia dalam berinvestasi untuk pengurangan risiko bencana.
Capaian yang diakui pada lingkup global ini sebenarnya bermula dari keberhasilan pemerintah dalam penanganan pemulihan pascabencana gempa dan tsunami Aceh dan Nias melalui peranan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang tak hanya memulihkan kondisi wilayah dan masyarakat Aceh dan Nias selama 2005-2009, tetapi sekaligus meningkatkan ketahanan wilayah dan masyarakat terhadap bencana lewat investasi pengurangan risiko bencana dalam proses pemulihan yang dilakukan.
Prestasi lain adalah telah dimasukkannya pengurangan risiko bencana dalam prioritas pembangunan nasional pada Rencana Kerja Pemerintah tahun 2007- 2010, yang implikasinya pada komitmen pembiayaan yang bersumber dari APBN.
Selain itu, dengan disusunnya rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana (RAN- PRB) tahun 2006-2009 dan 2010-2012, yang merupakan rencana investasi pengurangan risiko bencana di tingkat nasional, yang tidak hanya menunjukkan komitmen dukungan pembiayaan dari sumber APBN, tetapi juga dukungan dari pelaku kepentingan lainnya, baik dari mitra pemerintah (development partners) maupun kontribusi dari dunia usaha dan masyarakat. Selama 2007-2010, komitmen pembiayaan untuk investasi pengurangan risiko bencana meningkat cukup signifikan, ditunjukkan dengan alokasi pembiayaan dari 0,3 persen hingga 0,7 persen dari total anggaran pembangunan pemerintah selama 2007 sampai dengan 2010.
Untuk pendanaan pascabencana, khususnya untuk keperluan penanganan kedaruratan, sudah dialokasikan dana siap pakai (DSP) melalui APBN setiap tahun, yang sudah cukup memadai dalam mempersiapkan kebutuhan pendanaan penanganan bencana di daerah yang memerlukan dukungan APBN. Adapun untuk pendanaan pemulihan pascabencana juga telah dialokasikan dana hibah rehabilitasi dan rekonstruksi melalui BNPB, yang disesuaikan dengan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi yang disusun pemerintah daerah terdampak.
Bagaimana justifikasi perlunya penambahan anggaran untuk penanggulangan bencana?
Dengan mempertimbangkan bahwa sebenarnya sudah cukup komitmen pemerintah dalam mendukung pembiayaan penanggulangan bencana, tetapi dihadapkan pada cukup kompleks dan tingginya kebutuhan pembiayaan, khususnya untuk investasi pengurangan risiko bencana, maka yang masih perlu diperhatikan untuk ditambahkan alokasi pendanaannya adalah untuk meningkatkan ketahanan terhadap bencana melalui investasi yang memadai untuk pengurangan risiko bencana.
Kejadian bencana gempa Donggala dan tsunami Palu di Sulteng menunjukkan bahwa kesiapsiagaan terhadap bencana masih jauh dari memadai. Hal ini terutama jika menilik salah satu penyebab ketidaksiapan sistem deteksi dini gempa dan khususnya tsunami di wilayah Sulteng, yang memang belum tersedia peralatannya. Padahal, wilayah yang berada pada patahan Palu- Koro itu sudah terbukti sangat rawan gempa dan tsunami—pernah terjadi 18 kali selama kurun waktu satu abad terakhir.
Oleh karena itu, salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah mulai menyusun lagi rencana aksi untuk pengurangan risiko bencana, yang sekaligus memuat kebutuhan pembiayaan atau investasi untuk penguatan sistem deteksi dini—baik untuk ancaman bencana secara spesifik maupun yang bersifat multihazard. Itu tak hanya untuk penambahan peralatan, seperti buoy, untuk mendukung sistem peringatan dini tsunami, tetapi juga sekaligus peningkatan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana lewat pendekatan kultural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar