DIDIE SW

Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas.

Belum lagi kita lupa kasus Cambridge Analytica, dunia dikagetkan dengan kasus yang dialami media sosial Google+ awal pekan ini. Sistem mereka terserang oleh "hama" yang sangat mungkin bisa mencuri data pengguna. Meski sudah diketahui beberapa waktu yang lalu, Alphabet, induk Google+, tidak segera mengumumkan kejadian ini karena khawatir otoritas akan melakukan pemeriksaan dan kasus ini bakal merusak reputasi mereka.

Adalah The Wall Street Journal yang Senin lalu memuat berita tentang kasus Google+ ini. Mereka menyebutkan, ada perangkat lunak yang mengganggu di media sosial itu sehingga pihak luar bisa mengakses data pengguna antara 2015 dan Maret 2018.

Temuan ini merupakan hasil investigasi internal dan dilaporkan dalam sebuah dokumen yang rinci. Mereka tidak segera mengumumkan temuan ini kepada publik karena akan mendorong otoritas segera melakukan tindakan seperti dalam kasus Cambridge Analytica.

REUTERS/BAZ RATNER/FILE PHOTO

Logo Google seperti terlihat dalam kantor mereka di Tel Aviv, Israel, pada 26 Januari 2011.

Setelah tersiar kabar itu, Alphabet langsung merespons dan mengumumkan kalau mereka melakukan tindakan peningkatan keamanan privasi data dan menghentikan sementara fungsi-fungsi yang bisa dijalankan oleh pengguna. Kasus ini boleh dibilang sebagai kasus kegagalan Google terbesar dalam pengembangan bisnis mereka.

Google+ sendiri mengalami masalah, yaitu jumlah pengguna yang sangat kecil dibandingkan media sosial lainnya. Jumlah pengguna juga tak beranjak naik secara signifikan. Ketika Path menutup operasinya, beberapa kalangan juga ragu dengan masa depan Google+.

Dalam kasus Google+, sikap mereka yang menyembunyikan kasus tersebut dengan alasan tidak ingin otoritas terlibat serta menjaga reputasi perusahaan malah dikritik beberapa kalangan meski mereka beralasan tidak ada penyalahgunaan data dalam kasus itu.

Kasus seperti ini bukanlah kasus pertama kali. Beberapa waktu lalu, Facebook juga terkena masalah terkait dengan skandal Cambridge Analytica yang memungkinkan pihak luar mengakses data milik 87 juta akun. Bulan lalu Facebook juga tertimpa masalah karena ditemukan kasus serangan terhadap jaringan mereka sehingga diduga sebanyak 50 juta akun terpapar risiko pencurian data. Kasus-kasus lain pernah dialami, baik oleh perusahaan media sosial maupun oleh perusahaan lain, seperti keuangan.

AFP/DANIEL LEAL-OLIVAS

Laptop yang menunjukkan logo Facebook diletakkan di depan tanda penunjuk kantor Cambridge Analytica di luar gedung kantor perusahaan tersebut di London, Inggris, 21 Maret 2018.

Semua kasus ini menjadi peringatan para pengelola industri digital untuk meningkatkan keamanan data dan tata kelola industri dengan lebih baik. Tata kelola di sini adalah terkait dengan respons perusahaan apabila ditemukan ancaman keamanan data dan komunikasi mereka kepada publik. Dalam kasus Google+, sikap mereka yang menyembunyikan kasus tersebut dengan alasan tidak ingin otoritas terlibat serta menjaga reputasi perusahaan malah dikritik beberapa kalangan meski mereka beralasan tidak ada penyalahgunaan data dalam kasus itu.

Kalangan ahli hukum dan keamanan data mengatakan, tindakan Google+ dengan tidak mengumumkan kasus itu merupakan langkah keliru. Mereka memperkirakan Google+ terkena konsekuensi yang lebih serius karena dengan menutupi kasus ini, sebenarnya mereka sudah punya intensi untuk menyatakan bahwa kasus itu tidak ada. Kini mereka akan segera menghadapi pemeriksaan mendalam dari otoritas.

Tentu saja Pemerintah Amerika Serikat sangat mungkin menerapkan regulasi keamanan data seperti di Eropa, yaitu General Data Protection Regulation (GDPR) yang sangat ketat. Padahal, regulasi semacam ini tidak diinginkan kalangan industri digital. Kalangan industri digital telah mengalami dampak mendalam setelah GDPR diterapkan. Beberapa pengelola media sosial mengakui jumlah pengguna di kawasan itu menurun.

Di dalam sebuah artikel di Business Insider seorang ahli keamanan data mengatakan, kasus ini bakal menjadikan publik memiliki alasan agar perusahaan teknologi makin transparan dan menuntut pemerintah untuk mengatur mereka sehingga keamanan data membaik. Publik akan langsung menohok pada jantung masalah-masalah seperti ini, yaitu soal kepercayaan terhadap perusahaan digital. Perusahaan yang bisa dipercaya akan langgeng, sementara perusahaan yang tidak dipercaya bakal ditinggal konsumennya.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pengguna gawai menginstal aplikasi untuk melakukan berbagai macam aplikasi permohonan secara online di Jakarta, Selasa (16/6/2015). Jaminan privasi dan keamanan data dalam beragam aktivitas yang berbasis digital masih lemah. Saat ini belum ada aturan yang memastikan data yang diberikan kepada industri berbasis digital tidak dimanfaatkan untuk kepentingan lain atau disalahgunakan.

Di dalam negeri, kasus-kasus pembobolan data dan kecurangan pernah terjadi. Kasus Google+ dan Facebook perlu menjadi pelajaran bagi mereka untuk meningkatkan tata kelola menghadapi krisis digital.

Ketika terjadi krisis, apa yang harus dilakukan? Pertanyaan ini perlu dijawab sehingga mereka tahu langkah yang harus diambil dan tidak membiarkan kasus ini dengan asumsi publik tidak perlu mengetahuinya. Kasus ini juga bakal meningkatkan kritik publik terhadap perusahaan digital agar makin transparan.

Pemerintah sebaiknya juga memantau tata kelola mereka sehingga regulator bisa melakukan langkah secepatnya dan proporsional ketika terjadi kasus tata kelola yang tidak benar. Perusahaan digital yang sehat berada di dalam ekosistem yang sehat.