Panggung politik nasional kian diwarnai banyak letupan. Aksi reaksi pertarungan politik jelang Pemilu Presiden 2019 memanas kan suhu politik.

Semua lapisan, baik elite maupun warga biasa, harus tetap menjaga nalar dan suasana kondusif. Komitmen kampanye damai bukan semata pernyataan retoris seremonial, melainkan harus terejawantah dalam sikap, ucapan, dan tindakan kedua pasangan capres dan cawapres, tim pemenangan, barisan sukarelawan, dan simpatisan. Sulitkah mewujudkan hal ini? Jelas! Namun, perlu komitmen semua pihak agar pemilu kali ini naik kelas, bukan turun kelas.

Fase krusial

Dalam praktik demokrasi elektoral, kampanye merupakan fase krusial, baik bagi kandidat maupun khalayak luas. Kampanye sebagai rangkaian aktivitas persuasif diselenggarakan secara sengaja, sadar, bertahap, dan berkelanjutan dalam periode waktu tertentu. Pada Pemilu 2019, misalnya, masa kampanye berlangsung 23 September 2018 hingga 13 April 2019.

Bagi para capres/cawapres, inilah fase penting menaikkan elektabilitas, akseptabilitas, dan popularitas mereka di khalayak pemilih. Meminjam perspektif pemasaran politik, waktunya menguatkan brandingpositioning, dan segmenting kandidat supaya bisa meraup suara sebanyak-banyaknya di tengah situasi kompetitif. Gary A Mauser memberikan catatan khusus dalam bukunya, Political Marketing: An Approach to Campaign Strategy (1983), bahwa pemasaran politik merupakan upaya memengaruhi perilaku massa dalam situasi kompetitif. Oleh karena itu, kecenderungan pemasaran politik berupaya memersuasi khalayak dalam keserempakan pesan dan mengakumulasi dukungan menjadi keuntungan suara pada hari pencoblosan.

Realitasnya, masa kampanye kerap menghadirkan paradoks yang tidak seluruhnya positif bagi proses konsolidasi demokrasi. Misalnya produksi, reproduksi, distribusi, dan konsumsi narasi kebohongan yang kian membuncah di era post-truthOxford Dictionaries (2016) mendefinisikan post-truth sebagai situasi dengan keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta obyektif.

Contoh terdekat yang menggambarkan fenomena ini adalah hoaks yang dibuat Ratna Sarumpaet tentang penganiayaan dirinya di Bandung. Saat narasi bohongnya disampaikan di keluarga, urusannya personal dan internal keluarga saja. Namun, ketika ia menyampaikan narasi kebohongan itu kepada sejumlah politisi, terlebih kepada pasangan capres/cawapres yang sedang berkompetisi dan direspons cepat melalui dukungan yang dinyatakan terbuka kepada publik lewat konferensi pers, kebohongan itu memasuki pertarungan opini publik yang berdampak luas.

Aksi reaksinya berimplikasi panjang dan berdampak politis. Di domain hukum, Ratna dan orang-orang yang dianggap turut menyebarkan hoaks dilaporkan ke kepolisian dan ke Bawaslu. Sementara di domain politik, kasus Ratna ini menjadi "bahan bakar" manajemen isu dan konflik yang merugikan pasangan Prabowo-Sandiaga Uno karena harus berjibaku menepis efek bumerang kasus ini. Mau tidak mau, kubu Prabowo direpotkan dengan urusan mengontrol kerusakan (damage control) dari peristiwa ini. Jika tak tertangani, hal ini berpotensi menggerus elektabilitasnya, terutama di kelompok pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) dan pemilih yang masih mungkin berubah (swing voters). Masih ada waktu cukup bagi tim Prabowo-Sandi untuk memperbaiki manajemen komunikasinya.

Sesungguhnya, fenomena narasi kebohongan seperti dilakukan Ratna ini bisa jadi puncak gunung es dari berlimpahnya hoaks dan ujaran kebencian yang muncul di kanal-kanal komunikasi warga. Hal krusial bagi khalayak luas pada musim kampanye tentunya kesiapan mental dan keajekan nalar dalam menyikapi pesan kampanye yang berbaur dengan propaganda, dan publisitas politik yang bersenyawa dengan kampanye hitam. Situasi kampanye kerap menggambarkan secara sempurna fenomena dialektika relasional.

Dalam perspektif komunikasi, dialektika relasional dikenalkan oleh Leslie Baxter dalam bukunya, A Dialectical Perspective of Communication Strategies in Relationship Development (1988). Inti dari dialektika relasional adalah simpul kontradiksi dalam hubungan antarpribadi. Pola komunikasi dicirikan oleh ketegangan-ketegangan atau konflik antarindividu. Konflik muncul ketika seseorang mencoba memaksakan keinginannya kepada yang lain. Gagasan dialektika relasional Leslie Baxter ini terpengaruh oleh Mikhail Mikhailovich Bakhtin (1895-1975), filsuf dan pemikir kebudayaan Rusia yang menggambarkan hidup ibarat monolog terbuka dan manusia mengalami benturan yang disebabkan keinginan dan kebutuhannya dalam komunikasi relasional mereka.

Fenomena dialektika relasional ini hampir tiap hari bisa kita temukan dan kita rasakan di perbincangan media sosial, grup Whatsapp, obrolan warung kopi, hingga ragam gelar wicara media massa. Setiap kubu mencari pembenaran, bukan kebenaran. Banyak pihak yang akhirnya terjerembab ke dalam agresivitas verbal, bukan argumentasi. Memakai pendekatan Dominic Ifanta dalam tulisannya, Argumentativeness and Verbal Agressiveness (1996), argumentasi dibangun lewat logika berpikir, alasan, dan pertimbangan akal sehat. Sementara agresivitas verbal dibangun dan dikelola melalui serangan yang menghantam ide, gagasan, sekaligus kehormatan orang lain.

Di kanal-kanal komunikasi warga, orang saling serang, saling melecehkan pihak lawan tanpa mengindahkan etika, bahkan hukum. Memberi label seenaknya, bahkan agresif menuduh pihak lain dengan ragam propaganda yang menghalalkan segala cara. Substansi yang diperdebatkan terutama di wilayah program dan orientasi pemecahan masalah sering kali terabaikan dan tak menjadi prioritas.

Kampanye menyerang

Sesungguhnya, kampanye menyerang kepada pihak lain itu hal yang lumrah adanya. Kampanye menyerang ini bisa dikategorikan menjadi negatif dan hitam. Kampanye negatif, menyerang pihak lawan dengan data dan fakta, sementara kampanye hitam menghalalkan segala cara, termasuk menebar fitnah, hoaks, ujaran kebencian, dan tindakan destruktif lainnya. Pemilihan presiden kali ini mengulang 2014, yakni tanding ulang Prabowo vs Jokowi, sehingga dipastikan setiap kubu memiliki basis pemilih loyal (strong voters) dan polarisasi dukungan warga tak mungkin terhindari.

Selain setiap kubu akan mempertahankan basis pemilihnya, sudah pasti juga ada strategi penetrasi ke basis pemilih lawan untuk menggoyahkan kepercayaan mereka pada kandidat yang didukungnya. Pada saat bersamaan, persuasi juga dilancarkan kepada mereka yang berada di zona nonkomitmen, atau pemilih yang masih cair, dan menunggu perkembangan menjelang hari-H pemilihan.

Ada empat modus yang biasanya muncul dan menciptakan ketegangan atau konflik dalam dialektika relasional kubu-kubu yang bertarung pada musim kampanye.

Pertama, distorsi informasi. Banyak informasi berseliweran dan masuk ke ragam media sosial, grup Whatsapp, bahkan media massa yang dirancang untuk menimbulkan kesalahpahaman. Ketegangan akibat distorsi informasi dipakai untuk membangun citra positif pelaku dan menjatuhkan citra pasangan lawan. Kedua, pembunuhan karakter. Biasanya menggunakan teknik-teknik standar propaganda untuk mendelegitimasi lawan, misalnya menggunakan teknik name calling, yakni memberi label buruk, atau card stacking melalui pernyataan yang memiliki efek domino kepada khalayak luas tanpa verifikasi kebenarannya. Modus pembunuhan karakter ini biasanya memuncak terutama menjelang akhir masa kampanye.

Ketiga, dramatisasi cerita palsu. Modus ini dilakukan dengan mengonstruksi narasi bohong melalui pemanfaatan sentimen psikologis yang terbentuk di khalayak akibat polarisasi dukungan yang tajam. Keempat, eksploitasi isu berdaya ledak tinggi seperti SARA dengan memanfaatkan sentimen sosiologis melalui mobilisasi sosial dan politik identitas. Dalam praktiknya, hoaks dan ujaran kebencian sering digunakan karena pelakunya dipandu oleh keinginan, bukan kebutuhan dalam komunikasi relasional mereka

Semua pihak harus berkomitmen dalam mewujudkan kampanye berkualitas. Caranya, harus memperbaiki peran informasi (information roles) di antara para capres/cawapres dan jaringan tim pemenangan di bawahnya. Komitmen kampanye sebagai pertarungan gagasan harus diimplementasikan sehingga masyarakat awam di daerah sekalipun dapat merasakan manfaatnya. Isi pesan kampanye wajib berorientasi pemecahan masalah, bukan menambah masalah. Jangan sampai isi pesan kampanye lebih didominasi kebencian, saling menebar isu dan fitnah, saling mengunci melalui adu lapor kasus hukum yang bersifat abu-abu dan tak pernah berniat menuntaskannya.

Media massa memiliki peran penting dalam situasi saat ini. Konstruksi realitas simbolik yang dibangun media turut mewarnai kualitas kampanye. Oleh karena itu, media massa harus memiliki tanggung jawab politik untuk menjaga kualitas, imparsialitas, dan profesionalitas di tengah berlimpahnya informasi hoaks di media sosial. Kampanye bukan sekadar mantra lewat kata-kata, bukan pula ajang pertunjukan perilaku barbar yang menegasikan etika dan hukum. Dialektika relasional kampanye sejatinya harus dipandu oleh nalar dan komitmen mengabdi!