KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO

HS100 merupakan perangkat pintar yang dihadirkan TP-Link untuk kebutuhan rumah pintar dengan kemudahan mengatur rumah dari jarak jauh, Jumat (26/5). TP-Link berniat agresif menggarap pasar ini di Indonesia.

Akibat ketergesaan di hari-hari sibuk, kita kerap abai pada hal-hal remeh. Sebutlah seperti mengunci pintu atau mencabut colokan listrik di dapur.

Namun, kealpaan-kealpaan kecil yang bisa berakibat besar itu kini bukan perkara yang mencemaskan. Dalam perjalanan, kita hanya perlu menyentuh sebuah tombol digital di telepon pintar yang terkoneksi dengan sistem lock dan unlock di gagang pintu. Satu sentuhan saja, pintu akan terkunci otomatis. Begitu juga dengan peranti lunak pengontrol arus listrik di rumah. Dengan sekali sentuhan pada gawai yang terhubung dengan rupa-rupa perkakas elektronik, sistem akan beralih dari on menjadi off. Sepanjang jaringan internet menyala, semuanya akan terkendali secara niscaya.

Apabila persediaan telur, daging, atau bumbu dapur di kulkas menipis, kulkas itu tak perlu menunggu diperiksa terlebih dahulu karena peranti lunak yang terpasang di dalamnya akan mengirim notifikasi ke gawai Anda, lengkap dengan data jumlah persediaan bahan makanan dan karena itu Anda harus segera berbelanja. Atau jika perangkat lunak di kulkas itu terintegrasi dengan peranti lunak e-dagang yang menjual bahan pokok, ia akan langsung mengirim notifikasi ke minimarket digital itu untuk segera mengirimkan penawaran. Tanpa memeriksa kulkas, tanpa rencana berbelanja, akibat komunikasi machineto machine (M2M) di sekitar Anda, di balik pagar sudah berdiri seorang kurir dengan kantong penuh persediaan makanan yang akan kembali mengisi laci-laci di kulkas Anda.

Internet untuk segala

Mesin-mesin itu saling terhubung, saling berbagi data, berkat jaringan internet. Sepanjang ketersediaan jaringan internet terpastikan, benda-benda itu akan terus berinteraksi, berkarib-kerabat guna melayani kebutuhan para penggunanya. Inilah yang disebut dengan internet of things (IoT) atau dalam bahasa awamnya internet untuk segalanya.

Dalam pemahaman sederhana, IoT adalah teknologi yang memungkinkan benda-benda di sekitar kita terhubung dengan internet sehingga dapat menjalankan fungsi-fungsi otomatisnya. Teknologi informatika (TI) yang berkembang sedemikian rupa telah menciptakan keterhubungan antara produk-produk berkomponen mekanik dan produk-produk berkomponen elektronik. Berkat revolusi digital, keterhubungan itu membentuk sistem yang kompleks dengan penggabungan perangkat keras, perangkat lunak, sensor, penyimpanan data, dan konektivitas.

Dalam catatan Michael Porter, sebagaimana dikutip Makers Institute (2017), IoT adalah fase ketiga (1990-sekarang) dari revolusi TI ketika TI telah jadi bagian tak terpisahkan dari produk. Sensor, prosesor, perangkat lunak, dan konektivitas bersekutu dalam produk. Setiap produk terhubung dengan cloud. Data yang ditangkap oleh sensor dikumpulkan dan dianalisis, lalu ditambah dengan peranti lunak yang dapat meningkatkan kemampuan dan kinerja produk tersebut. Pada fase sebelumnya atau gelombang kedua (1980-1990), TI hanya berkontribusi pada cara perusahaan terhubung dengan pelanggan, kanal, pemasok, dan terintegrasi tanpa kendala oleh kondisi geografis. Ia dapat meningkatkan produktivitas, tetapi belum berpengaruh banyak terhadap "kepintaran" produk itu sendiri.

Kecerdasan dan konektivitas adalah dua kata kunci untuk memahami IoT. Kecerdasan didukung sensor, penyimpanan data, sistem operasi, dan user interface, misalnya engine control unit, antilock braking system, atau sistem wiper otomatis dengan sensor hujan. Sementara konektivitas didukung protokol sistem koneksi nirkabel yang menghubungkan satu produk dengan produk lain atau satu produk dengan pabrik. Konektivitas juga dapat menghubungkan satu produk dengan banyak produk, seperti mobil Tesla yang terhubung ke sistem pabrikan yang dapat memantau kinerja mobil dan menyediakan layanan remote service.

Kecerdasan yang dimaksud bukan kecerdasan manusia yang bersumber dari akal, melainkan kecerdasan buatan atau lazim disebut kecerdasan buatan (AI). "Dapatkah komputer berpikir?" begitu tanya mula-mula Alan Turing (1912-1954), matematikawan dan ahli komputer, dalam Computing Machineri and Intelligence (1950), saat mendiskusikan persyaratan cerdas bagi sebuah mesin.

Di pengujung 1955, Newel dan Simon mengembangkan The Logic Theorist yang kelak dikenal sebagai program AI pertama di dunia. Program itu memetakan masalah dengan alegori pohon, lalu pemecahannya dilakukan dengan memilih cabang-cabang pohon yang akan menghasilkan kesimpulan paling benar. Setahun kemudian, ilmuan komputer dari MIT, John McCarthy (1927-2011), menggelar The Dartmouth Summer Reasearch Project on Artificial Intelligent, sebuah konferensi yang mempertemukan para ahli AI. Di forum itu, John McCarthy mengusulkan definisi AI sebagai cabang ilmu komputer yang fokus pada pengembangan komputer untuk memiliki kemampuan dan berperilaku seperti manusia.

Mesin pembelajaran

Untuk menjadi "manusia", komputer mesti dibekali pengetahuan dan dilatih bernalar. Proses belajar yang ditempuh guna meraih kecerdasan itu disebut machine learning (pembelajaran mesin). Dalam proses belajar yang tak henti-henti itu, komputer akhirnya memiliki kemampuan memetakan pola, kategorisasi, persepsi, mengalihkan bahasa lisan ke bahasa teks, bahkan kemampuan pengambilan keputusan yang nyaris akurat. Sepanjang ia diberi asupan data, algoritma di tubuhnya tak akan letih membaca tren, memetakannya secara periodik, merekam gejala-gejala baru, membandingkannya dengan gejala-gejala lama, lalu membuat keputusan.

Sistem yang bekerja untuk mobil kendali otomatis terbukti mampu mengenali rambu-rambu lalu lintas, memetakan situasi lalu lalang kendaraan, membaca peta cuaca, hingga macam-macam rintangan sepanjang perjalanan berkat data yang direkam sensor. Lambat laun benda-benda tak bernyawa, seperti GPS, sistem pengukur detak jantung pada arloji pintar, pemantau kadar kolesterol, serta dan rupa-rupa aplikasi pemesanan tiket, hotel dan kredit perbankan, yang bekerja 24 jam di perangkat iOs atau Android, makin cerdas akibat data yang tak henti-henti kita masukkan ke dalam sistemnya.

"Secangih-canggihnya mesin, tak akan melampaui kecerdasan manusia." Begitu dulu kita meragukan kemampuan setiap benda canggih. Rupanya mesin-mesin itu terus belajar. Sepanjang kita masih menyuapinya dengan data, pengetahuannya terus bertambah. Konektivitasnya dengan mesin-mesin lain yang berkaitan dengan data kita semakin tak berjarak hingga kecerdasannya berpotensi melampaui kecerdasan manusia. Dalam ilustrasi Yuval Noah Harari (2018), jika ratusan tahun silam Homo sapiens—dengan algoritma biokimianya—mampu menguasai hewan dan menaklukkan alam liar, demikian pula data dan algoritma cerdasnya mengendalikan manusia abad ke-21.

Kapan harus berbelanja kebutuhan dapur, kenapa harus membeli mobil baru, di mana destinasi wisata paling top guna merayakan tahun baru, hingga siapa kandidat presiden yang mesti didukung adalah pilihanpilihan yang keputusannya tak lagi ditentukan oleh kita sebagai manusia. Sebab, hampir semua keputusan dalam hidup manusia mutakhir ada dalam kuasa mesin dengan algoritma cerdasnya. Lalu, apakah sudah waktunya kita mengucapkan selamat istirahat pada pikiran, kesadaran, dan kebudayaan manusia? Kita tunggu saja jawaban Google.