STEFANUS ATO UNTUK KOMPAS

Suasana saat pelaksanaan Malam Anugerah Lembaga Sensor Film Indonesia di studi Kompas TV, Jakarta, Jumat (19/10/2018).

Tumbuh kembangnya film Indonesia dalam satu dasawarsa ini dari segi kualitas juga kuantitas (lebih dari 100-an judul film bioskop per tahun) tidak diikuti dengan perkembangan kritik film. Segelintir saja kritikus film dan jumlah kritik film, tidak sepadan dengan kemunculan film-film baru.

Film Indonesia akhir-akhir ini seolah telah meninggalkan kritik film yang seharusnya bisa berdampingan dan saling berkontribusi dalam pemajuan film Indonesia. Film Indonesia dibiarkan bergerak sendiri tanpa didampingi kritik film yang berkualitas. Padahal, kritik film adalah bagian dari ekosistem perfilman.

Banyak tulisan tentang film yang beredar di media massa cetak dan daring. Namun, bisakah tulisan itu dikatakan sebagai kritik film? Dan, apa perbedaan antara review (ulasan) film dan kritik film. Pemahaman akan dua hal itu acap kali bercampur dan membingungkan satu sama lain.

Ulasan film adalah tinjauan film secara umum untuk memberi rekomendasi kepada calon penonton. Ulasan film bicara baik dan buruk sebuah film dan bersifat dokumentatif, mengiringi rilis sebuah film ke publik. Ulasan film biasanya mengenai cerita dan logikanya juga premis sebuah film. Kalaupun menyentuh aspek teknis film, hal-hal umum saja yang dibahas. Siapa pun bisa melakukan ulasan film.

Sementara kritik film menganalisis, menginterpretasi, serta mengevaluasi kekuatan dan kekurangan dari film sebagai formal system, baik secara form (bentuk-naratif) maupun secara style (medium-aspek teknis), dan bagaimana kedua aspek itu bekerja dalam membentuk makna (David Bordwell, Film Art).

Kritik film dilakukan orang yang mempunyai pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang medium film dan tentu diperlukan teori untuk membedah dan menganalisis sebuah film.

Sementara itu, ada lagi yang namanya kajian film. Ia lebih mendalam dan lebih spesifik dari kritik film. Bisa dikatakan kajian film adalah perpanjangan dari kritik film. Kritik film adalah "anak" dari kajian film.

Namun, ada sedikit perbedaan di antara keduanya. Kajian film tidak bicara soal kelemahan sebuah film, ia hanya bicara makna apa yang ingin disampaikan dari sebuah film. Film sebagai teks sehingga kode-kode tanda pada teks itu diungkap, dibaca, dan dianalisis secara mendalam dengan menggunakan teori-teori tertentu (misal: psikoanalisis, feminisme, dan postmodernisme) untuk mendapatkan lapisan-lapisan arti.

Istilah kritik film dan kajian film tak perlu dibedakan dengan mencari definisinya sendiri seperti yang ditulis Seno Gumira Ajidarma di harian ini ("Kritik Esensialis dan Kajian Konstruktivis", Kompas, 16 September 2017).

Seno memaknai kritik film berangkat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik: kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.

Memaknai kata kritik dan kajian dalam konteks film dengan berangkat dari arti kedua kata itu pada KBBI adalah tindakan yang mereduksi makna. Jika ingin mencari arti kata itu, seharusya dicari asal muasal kata kritik diadopsi dan padanan kata kajian.

Kata kritik secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, kritikos, yang berarti 'mampu membuat penilaian', lalu diserap ke bahasa Inggris, criticism, yang dalam Oxford Dictionary diberi arti the analysis and judgement of the merits and faults of a literary or artistic work (analisis dan penilaian terhadap kelebihan dan kekurangan sebuah karya sastra atau karya artistik).

Adapun padanan kata kajian adalah kata study: a detailed investigation and analysis of a subject or situation (analisis dan investigasi secara rinci atas suatu subyek atau situasi). Jadi, kritik dan kajian sama-sama tindakan menganalisis, tetapi kajian lebih rinci dan mendalam. Dan, tak ada arti kecaman serta baik-buruk.

Dunia kritik film di Amerika dan Eropa membagi kritik film menjadi dua bagian. Kritik film jurnalistik dan kritik film akademis. Yang pertama banyak beredar di media-media cetak, dalam tulisan pendek, mengingat keterbatasan ruang. Yang kedua, banyak ditulis para akademisi yang mengkaji film dalam bentuk tulisan panjang yang termuat di jurnal-jurnal, skripsi, tesis, dan disertasi. Yang kedua ini punya ruang cukup luas untuk membedah, mengkaji, dan menganalisis sebuah teks film.

Roger Ebert yang menulis untuk Chicago Sun Times adalah salah satu nama yang dikenal sebagai kritikus film jurnalistik. Andre Bazin, Rudolf Arhnheim, David Bordwell, Jean Luc Godard, dan Francois Truffaut adalah contoh kritikus film akademis yang mengkaji film secara mendalam sehingga dikenal sebagai teoritikus film. Bazin dengan bukunya What is Cinema, Bordwell dengan bukunya Film Art, dan Godard bersama kelompok Nouvelle Vague (gelombang baru sinema Perancis pada akhir tahun 1950-an) dengan Cahier du Cinema.

Bahkan, begitu kuatnya teori Godard dan Truffaut tentang film, teori Art Cinema Narration, yang awalnya dimaksudkan untuk melawan dominasi sinema Hollywood (Classical Narrative Hollywood), memberi pengaruh dan menjadi acuan para pembuat film di Eropa sesudahnya, khususnya di Perancis.

Godard dan Truffaut yang juga seorang pembuat film mengaplikasikan sendiri teorinya itu ke dalam film-filmnya.

Ketika film Citizen Kane yang sangat termasyhur itu ditayangkan di publik pada 1941, sebagian memuji, tetapi banyak pula yang "menyerang" (film ini mendapat sembilan nominasi Oscar, tetapi hanya mendapatkan satu penghargaan, skenario terbaik), termasuk dari sastrawan tersohor Jorge Luis Borges. Borges mengatakan, film Citizen Kane layaknya labirin yang tak ada pusat. Mungkin yang ia maksud, cerita film ke mana-mana dan tak jelas arahnya.

Bahasa sinema

Andre Bazin-lah yang kemudian memuji dan menulis kritik soal film Citizen Kane dalam tulisannya "The Technique of Citizen Kane". Bazin menjelaskan, film pertama Orson Walles itu adalah pencapaian baru bahasa sinema dan bagaimana sinema menjadi lebih dekat pada realitas, salah satunya dengan penggunaan deep focus dan blocking pemain tanpa harus terus-menerus mengandalkan editing cut to cut kepada subyek.

Bazin membuka pemahaman penonton terhadap film Citizen Kane sehingga film itu terus dibicarakan dan menjadi bahan studi sampai saat ini. Bahkan, British Film Institute menetapkan film Citizen Kane sebagai film terbaik dan terbesar sepanjang sejarah film dunia setelah film Vertigo karya Alfred Hitchcock.

Semestinya kita bisa belajar dari sepotong sejarah itu bahwa peran kritikus (teoritikus film) itu sangatlah penting, "menemukan" film-film yang bermutu dan membangun ekosistem perfilman. Tidak cukup dengan pengulas film saja.

Idealnya, film-film yang muncul didampingi dan melangkah beriringan dengan kritik film yang bermutu. Bukan tertinggal puluhan langkah. Jika tertinggal, siapa yang akan menjelaskan film-film bermutu dari sineas-sineas baru yang terus tumbuh di tanah Indonesia ini, seperti halnya Bazin menjelaskan Citizen Kane?