Ilustrasi kekerasan

Perilaku kekerasan yang berujung kematian berulang terjadi. Perilaku kekerasan bisa di mana saja: sekolah, rumah, jalanan, pabrik, kantor, gedung wakil rakyat, atau lapangan bola. Korbannya bisa siapa saja, mulai dari anak- anak, perempuan, mahasiswa, asisten rumah tangga, aparat, hingga suporter sepak bola.

Perilaku kekerasan bukan terjadi tanpa sebab. Secara sosiologis, akar penyebab perilaku kekerasan sangat kompleks. Secara umum, para sosiolog membedakan dua faktor penyebabnya: internal dan eksternal.

Secara internal, faktor psikologis cenderung dominan. Faktor karakter dan kondisi kejiwaan pelaku kekerasan berperan penting mendorong terjadinya tindak kekerasan. Seseorang dengan emosi temperamental lebih cenderung melakukan tindak kekerasan ketimbang mereka yang memiliki emosi stabil (Bennett, 2005).

Secara eksternal, perilaku kekerasan bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ketimpangan sosial, ekonomi, dan budaya. Perbedaan kepemilikan modal sosial, ekonomi, dan budaya bisa memicu perilaku kekerasan. Selain itu, budaya kekerasan dan paparan aksi kekerasan di media (koran, TV, internet, dan media sosial) juga menjadi faktor terus berulangnya perilaku kekerasan.

Sejumlah penelitian menunjukkan, perilaku kekerasan tidak bisa diredam hanya dengan memproduksi lebih banyak instrumen kontrol sosial: aturan, hukuman, sanksi, larangan (Kivel, 2010). Akar penyebab perilaku kekerasan sering kali tidak tersentuh oleh upaya-upaya struktural-legal-formal. Diperlukan pendekatan kultural-sosiologis yang lebih holistik untuk mencegah berulangnya perilaku kekerasan.

Secara sosiologis, merujuk Pierre Bourdieu dalam bukunya Outline of a Theory of Practice (1972), setiap perilaku manusia ditentukan oleh kalkulasi kepemilikan modal, arena (field), dan habitus. Perilaku ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dimiliki—modal sosial (jaringan pertemanan), ekonomi (uang), budaya (pendidikan), dan simbolik (penghargaan). Selain itu, perilaku juga ditentukan oleh aturan main dalam arena di mana seseorang berada dan habitus yang dimiliki.

Habitus adalah konsep yang dibuat Bourdieu untuk menjelaskan disposisi perilaku menubuh (embodied) yang dibentuk oleh norma, nilai, dan kebiasaan melalui pengasuhan dan pendidikan. Misalnya, cara berjalan, cara berbicara, cara marah, dan cara berpikir atau bersikap. Alih-alih sepenuhnya sadar, dalam perspektif Bourdieuan, cara kita berjalan, berbicara, berpikir, atau bahkan bersikap terjadi secara spontan dan sering kali tanpa sadar.

Dalam pemahaman ini, habitus kekerasan adalah disposisi atau cara-cara melakukan tindak kekerasan yang sering kali dilakukan secara spontan atau tanpa sadar oleh para pelaku aksi kekerasan. Manakala habitus kekerasan berjalin-kelindan dengan ketimpangan kepemilikan modal (sosial, ekonomi, budaya, dan simbolik) dalam arena tertentu, maka mewujudlah tindak kekerasan.

Memutus akar kekerasan

Meminjam dialektika modal-ranah-habitus Bourdieu, upaya mengakhiri aksi kekerasan seharusnya menyasar ketiga akar perilaku kekerasan tersebut. Pertama, meminimalisasi, jika tidak mungkin mengakhiri, ketimpangan kepemilikan modal sosial, ekonomi, budaya, dan simbolik. Ketimpangan besar-kecilnya jaringan pertemanan (modal sosial), minimnya ketersediaan dana (modal ekonomi), rendahnya tingkat pendidikan (modal budaya), serta perbedaan prestasi atau penghargaan (modal simbolik) turut menyulut berkobarnya api kekerasan dalam masyarakat. Upaya memutus perilaku kekerasan dengan demikian seyogianya juga memperhatikan faktor ketimpangan-ketimpangan ini.

Kedua, memahami secara utuh arena di mana perilaku kekerasan terjadi. Setiap perilaku kekerasan terjadi dalam ruang sosial, ekonomi, atau budaya yang berbeda-beda. Aturan main atau feel of the game' setiap arena pun berbeda-beda (Bourdieu, 1972). Dalam kasus perilaku kekerasan suporter sepak bola, misalnya, feel of the game arena suporter sepak bola berbeda dengan arena pendidikan di pesantren atau arena gedung wakil rakyat. Pendekatan kultural, nonlegal, dan nonstruktural—ketimbang formal, legal, dan struktural yang mengedepankan sanksi hukuman—boleh jadi lebih tepat digunakan untuk mencegah berulangnya kasus kekerasan di lapangan bola.

Ketiga, memutus mata rantai habitus perilaku kekerasan. Kembali ke kasus kekerasan suporter sepak bola, narasi kekerasan dalam arena ini boleh jadi mengejawantah melalui alam bawah sadar dalam pelbagai bentuk: julukan nama organisasi suporter (Viking, Panser Biru), salam suporter (satu nyali: wani!), logo organisasi (Macan Kemayoran, Singo Edan), yel-yel (bersatu dalam jiwa, bersatu dalam nyawa), nyanyian dan koreo, hingga cuitan-cuitan fanatisme organisasi suporter sepak bola di media sosial.

Narasi-narasi kekerasan yang barangkali tanpa sadar telah dibangun oleh organisasi dan anggota suporter sepak bola harus segera dihentikan. Secara umum, keluarga, sekolah, masyarakat, dan media massa bisa memainkan peranan penting dalam memutus mata rantai habitus perilaku kekerasan.

Akar perilaku kekerasan sejatinya bukan semata berasal dari dalam arena kekerasan itu sendiri. Perilaku kekerasan terjadi dalam kelindan dialektika kalkulasi modal, arena, dan habitus yang lebih luas dan kompleks. Pendekatan parsial yang cenderung menyalahkan satu dua pihak dalam berbagai kasus aksi kekerasan, termasuk dalam kasus kekerasan suporter sepak bola yang baru-baru ini kembali terjadi, tidak akan menyelesaikan masalah.

Diperlukan pendekatan holistik untuk mencegah berulangnya tragedi kekerasan. Tidak hanya di arena sepak bola, tetapi juga di pelbagai arena kehidupan yang lain.