ANTARA FOTO/DEDHEZ ANGGARA

Ilustrasi : Kebakaran yang pernah melanda kawasan hutan Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat, mencapai 400 hektar dan titik api.

Pembangunan Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam beberapa tahun ini, ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang terus membaik hingga sebesar 5,2 persen pada semester I-2018, tingkat kemiskinan yang terus menurun hingga 9,82 persen (Maret, 2018), dan pengurangan ketimpangan yang diukur dengan membaiknya rasio gini yang mencapai 0,389 (Maret, 2018).

Namun, kita tidak boleh berpuas diri dengan pencapaian tersebut karena dalam jangka panjang kita masih akan menghadapi berbagai tantangan pembangunan.

Seperti kita maklumi, sampai sekarang, pembangunan Indonesia masih bergantung pada eksploitasi sumber daya yang tidak berkelanjutan dan belum memperhitungkan faktor atau biaya  kerusakan lingkungan hidup dalam menentukan pertumbuhan ekonomi.

Sebagai ilustrasi, kebakaran lahan dan hutan yang dipicu kondisi iklim El Nino pada 2015 sebenarnya merugikan Indonesia sebesar Rp 221 triliun (Bank Dunia, 2016), meningkatkan insidensi penyakit pernapasan, memusnahkan keanekaragaman hayati, dan meningkatkan emisi karbon dan gas rumah kaca (GRK).

Oleh karena itu, dalam jangka panjang diperlukan pendekatan pembangunan yang didukung oleh tiga pilar, yaitu ekonomi—sosial—kelestarian lingkungan hidup. Dengan kata lain, kita perlu sebuah pertumbuhan ekonomi inklusif yang menjamin pemerataan, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, serta menjaga ketersediaan sumber daya alam dan kelestarian  lingkungan hidup.

Pendekatan pembangunan tersebut adalah pembangunan berkelanjutan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan pembangunan bagi generasi mendatang (Brundtland Report, 1987).

Salah satu upaya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah  melalui pembangunan rendah karbon. Seperti diketahui, emisi karbon ke atmosfer dapat memicu anomali iklim atau iklim ekstrem seperti El Nino tahun 2015 yang membuat Indonesia rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim seperti kebakaran hutan.

Landasan RPJMN

Kementerian PPN/Bappenas telah mencanangkan arah Pembangunan Rendah Karbon (PRK) sebagai landasan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Diluncurkan pada 2017 pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (COP-23 UNFCCC), PRK Indonesia diharapkan menjadi platform baru pembangunan Indonesia. Di atas platform tersebut, kebijakan pembangunan dalam berbagai bidang mengupayakan co-benefit berupa penurunan emisi.

Kebijakan ini memenuhi Tujuan 13 pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Pembangunan Berkelanjutan. PRK juga dimaksudkan untuk mendukung iklim investasi hijau atau investasi yang berwawasan lingkungan hidup. Selebihnya, PRK berniat menjadikan Indonesia sebagai bagian integral dan bahkan leader dari upaya internasional untuk mewujudkan pembangunan rendah karbon.

Dalam hubungan itu, peran strategis Kementerian PPN/Bappenas adalah memastikan pengarusutamaan (mainstreaming) dan mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional, baik ke rencana pembangunan jangka panjang, menengah, maupun penjabarannya dalam Rencana Kerja Pemerintah.

Sejak tahun 2010, Kementerian PPN/Bappenas melalui Sekretariat RAN-GRK (Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca)  telah mendorong keterlibatan aktif kementerian dan lembaga (K/L), pemerintah daerah, dan pihak terkait untuk mengoordinasikan pelaksanaan komitmen penurunan emisi GRK sebesar 26 persen di tahun 2020 melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang RAN-GRK.

Pelaksanaan RAN-GRK tersebut didukung oleh pemerintah daerah melalui 34 peraturan/keputusan gubernur tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Penyumbang utama emisi GRK berasal dari sektor berbasis lahan dan energi.

Koordinasi, kemitraan, dan sinergi dalam PRK

Saat ini, Kementerian PPN/ Bappenas tengah menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melekat pada RPJMN 2020-2024 sekaligus menuntun Peta Jalan SDGs tahun 2030. Kajian ini adalah suatu rangkaian pemodelan dinamis untuk mengintegrasikan konsep keberlanjutan ke dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan.

KLHS akan menunjukkan trade-off dan sinergi antara pertumbuhan ekonomi, penurunan tingkat kemiskinan, dan penurunan emisi GRK guna mencapai pilihan kebijakan-kebijakan pembangunan yang optimal.

Dalam KLHS tersebut, konsep daya dukung dan daya tampung sumber daya alam dan kelestarian lingkungan hidup termasuk emisi, tutupan lahan, dan air menjadi faktor penentu dalam perumusan kebijakan dan target PRK Indonesia.

Penyempurnaan kebijakan dan implementasi PRK bukan hanya tugas satu kementerian/lembaga. PRK memerlukan keterlibatan semua pemangku kepentingan sehingga koordinasi, kemitraan, dan sinergi di antara berbagai pihak adalah mutlak, baik pemerintah, swasta-industri, maupun masyarakat.

Pencapaian PRK juga memerlukan penelitian dan kajian berkualitas tinggi untuk menghasilkan kebijakan berbasis sains dan ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, konsep triple helix di mana pemerintah, swasta-industri, dan universitas bekerja sama amat diperlukan untuk menciptakan strategi kreatif serta mencari inovasi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan sekaligus penurunan emisi GRK.

Kementerian PPN/Bappenas diharapkan  menjadi system integrator dan pemungkin (enabler) dari upaya-upaya berbagai pemangku kepentingan yang berkomitmen dalam PRK.

Sebagai contoh adalah proyek kemitraan UNDP-GEF, Baznas, Bank Jambi, Pemda Jambi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Kementerian PPN/Bappenas yang diwujudkan melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Lubuk Bangkar, Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Skema kemitraan ini berhasil memberikan akses listrik kepada empat desa terpencil di Jambi: Desa Lubuk Bangkar, Desa Ngaol, Desa Air Liki, dan Desa Liki Baru. Proyek PLTMH tersebut berkapasitas 210 kW yang menjangkau 806 rumah tangga dan bangunan publik lainnya, seperti sekolah, masjid, kantor desa, posyandu. Khususnya di Lubuk Bangkar, akses listrik ini merupakan yang pertama dinikmati setelah 73 tahun Indonesia merdeka.

Proyek PLTMH tersebut menjadi bukti bahwa melalui kemitraan, koordinasi, dan sinergi, pembangunan rendah karbon berhasil memadukan aspek kelestarian lingkungan hidup (energi terbarukan dan rendah karbon), pembangunan sosial (kesehatan dan pendidikan), serta pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal. Kemitraan ini merupakan satu dari sekian contoh yang kita miliki dan dapat kita dorong. Mereka menjadi bukti bahwa tujuan pembangunan rendah karbon bukan tidak mungkin dicapai.