Di tengah lilitan ekonomi dan instabilitas politik Iran akibat sanksi ekonomi AS, sekelompok orang bersenjata menyerang parade militer di Ahvaz, Provinsi Khuzestan, Iran barat daya. Serangan menewaskan 29 orang, sebagian anggota Garda Revolusi.
Iran langsung menuduh Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Israel, dan AS berada di belakang insiden itu. Teheran mengancam akan menghukum empat negara itu. Benarkah tuduhan Iran itu? Kalau ya, apakah Iran akan merealisasikan ancamannya?
Intervensi asing merupakan isu sensitif di Iran. Campur tangan Rusia dan Inggris di Iran semasa Perang Dunia I dan kudeta terhadap PM Iran Mohammad Mosaddegh yang dilakukan CIA pada 1953 meninggalkan bekas mendalam di benak rakyat Iran.
Tak heran, kelompok oposisi di pengasingan seperti Mujahidin-e Khalq (MEK), yang kini didukung AS, tidak laku di Iran. Oleh karena itu, orang bisa beranggapan bahwa tuduhan Iran di atas hanyalah pengalihan perhatian rakyat Iran dari krisis ekonomi yang mereka hadapi sekaligus memobilisasi dukungan rakyat terhadap rezim.
Upaya pendongkelan
Meski demikian, nafsu Saudi, UEA, Israel, dan AS mendongkel rezim mullah merupakan fakta. Iran dinilai menjalankan politik sektarian, agresif, dan ekspansif. Ketika pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump mundur dari Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran dan diikuti penerapan sanksi ekonomi kembali, Saudi, UEA, dan Israel mendukung AS di tengah penentangan komunitas internasional, termasuk lima negara penanda tangan lainnya (Rusia, China, Inggris, Perancis, plus Jerman).
Paket sanksi tahap II yang menyasar industri energi Iran akan berlaku 4 November mendatang. Harapannya, AS dapat memaksa Iran merundingkan kembali JCPOA yang dipandang cacat oleh Trump. Namun, syarat renegosiasi yang diajukan AS tidak realistis.
Syarat-syarat itu, antara lain, Iran harus memberikan akses tanpa batas, termasuk ke area militernya, kepada Badan Energi Atom Internasional; mundur dari Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman; dan membatasi program rudal balistiknya saat Saudi dan UEA memborong persenjataan bernilai puluhan miliar dollar AS per tahun, dan Israel yang terus mengancam Iran, serta AS yang menimbun kekuatan militer di Teluk Persia.
Tampaklah bahwa kebijakan AS ini untuk mendongkel rezim mullah Iran, apalagi disertai dengan penutupan keran ekspor. Padahal, 80 persen pendapatan luar negeri Iran berasal dari ekspor migas. Menghentikan ekspor minyak Iran hingga nol sama dengan melumpuhkan rezim Pemerintah Iran, bahkan bisa memacu rakyat Iran mendongkel pemerintahannya.
Operasi di Iran
Sejak Mei tahun lalu, Trump menunjuk Michael D'Andrea memimpin operasi di Iran. D'Andrea terkenal karena keberhasilannya memimpin CIA memburu Osama bin Laden.
Entah kebetulan atau direkayasa, tak lama setelah D'Andrea menjalankan operasi intelijen di Iran, pada 7 Juni sekelompok orang bersenjata dari wilayah Kurdistan-Iran menyerang parlemen Iran dan mausoleum Imam Khomeini.
Peristiwa itu juga terjadi setelah Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammad bin Salman, dalam wawancara dengan televisi Saudi saluran MBC, mengatakan, Saudi akan mengalihkan perang melawan Iran ke wilayah Iran dan tidak akan menunggu pertempuran terjadi di wilayah Saudi.
Riyadh sudah lama menuduh Teheran mencampuri urusan dalam negeri Saudi dengan mengompori pemberontakan komunitas Syiah di Al-Ahsa, Provinsi Timur Saudi, ladang minyak Saudi. Hubungan diplomatik Saudi-Iran putus awal 2016 setelah Iran mengecam eksekusi mati ulama Syiah Saudi, Syeikh Nimr Baqir al-Nimr.
Saudi, UEA, dan Israel—belakangan membangun kemitraan strategis menghadapi Iran—juga tidak menyembunyikan keinginan untuk mendongkel rezim mullah. Dalam konferensi Bersatu Melawan Iran Nuklir (UANI) di New York empat hari setelah serangan di Ahvaz, Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Duta Besar UEA untuk AS, dan Direktur Mossad bergabung untuk mendorong perubahan rezim di Iran.
Berbicara bersama Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton dan Menlu AS Mike Pompeo, Menlu Saudi Adel al-Jubeir menyerukan penggulingan pemerintahan Iran.
Tekanan eksternal
Duta Besar UEA Yousef al-Otaiba melihat tekanan eksternal sangat diperlukan dan merupakan kunci dalam mengubah arah Iran. Menurut dia, isolasi terhadap Iran tak berguna tanpa didukung Eropa, Asia, dan AS. Tampaknya Otaiba pesimistis langkah AS menekan Iran akan efektif karena Uni Eropa, India, dan China—importir utama minyak Iran—tak mendukung.
Terkait serangan di Ahvaz, Abdulkhaleq Abdullah, penasihat pada Putra Mahkota UEA Pangeran Mohammad bin Zayed, menjustifikasi serangan itu.
Menurut dia, menyerang target militer bukanlah aksi teroris dan memindahkan pertempuran lebih masuk ke dalam wilayah Iran adalah opsi yang dideklarasikan.
Apakah Teheran akan mewujudkan ancamannya? Dengan cara apa Iran akan membalasnya? Iran mungkin tak akan membalas secara militer karena itu merupakan langkah bunuh diri.
Mungkin ancaman Iran lebih pada upaya meningkatkan harga minyak dunia yang—setelah ancaman itu—harganya merangkak naik hingga 81 dollar AS per barel, sesuatu yang tidak diinginkan AS. AS memang menjamin stabilitas pasokan minyak dari Teluk guna menahan harga minyak dunia.
Apa pun, pertikaian Iran dengan koalisi Arab-Israel yang didukung AS telah meningkatkan suhu politik di Timur Tengah yang tidak menguntungkan siapa pun. Mendongkel rezim Iran bukan hal mudah, bahkan berbahaya bagi stabilitas keamanan global. Alasan ini membuat UE berpihak kepada Iran terkait JCOPA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar