KOMPAS/AYU PRATIWI

Acara diskusi bertema "How Millenials are Reshaping Corporate Culture" yang digelar oleh PPM Manajemen, Rabu (5/9/2018), di Jakarta.

Generasi milenial yang lahir periode 1980-2000, atau saat ini berusia 18-38 tahun, tampaknya kini diperebutkan oleh setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden. Secara faktual, hal itu adalah wajar mengingat jumlahnya amat besar, yakni melebihi setengah dari total penduduk. Publikasi Statistik Indonesia 2018 menunjukkan jumlah penduduk usia 15-39 tahun pada 2017 sebagai proksi milenial pada 2019 jumlahnya 105 juta jiwa, 55 persen dari total penduduk.

Namun, untuk memperebutkan milenial itu barangkali tidak cukup mudah. Sejatinya diperlukan komitmen serius untuk  menampung aspirasi mereka, terutama yang kini berstatus sedang mencari pekerjaan alias menganggur. Dalam konteks ini, capres-cawapres perlu mendesain rencana konkret untuk menciptakan kesempatan kerja bagi kaum milenial.

Secara faktual, diperlukan strategi tersendiri mengingat peluang milenial lebih kecil dalam memperoleh pekerjaan dalam pasar kerja  dibandingkan non- milenial,  tecermin dari angka pengangguran milenial yang lebih tinggi dibandingkan angka pengangguran secara keseluruhan. Tercatat, pada Agustus 2017, misalnya, angka pengangguran milenial 8,9 persen, sedangkan angka pengangguran secara keseluruhan 5,5 persen.

Bahkan, jika dirinci menurut kelompok umur milenial, semakin muda usia milenial kian tinggi angka penganggurannya, yang sekaligus menunjukkan semakin sulit memperoleh pekerjaan. Tercatat, angka pengangguran pada kelompok umur 15-19 tahun sebesar 27,54 persen atau lima kali lipat dari total pengangguran (5,5 persen). Selanjutnya, angka pengangguran berkurang pada kelompok umur 20-24 tahun menjadi 16,64 persen dan terus berkurang pada kelompok umur 25-29 tahun menjadi 6,76 persen.

Persoalan "mismatch"

Ditengarai, tingginya angka pengangguran kelompok muda, terutama pada usia 15-24 tahun, karena faktor keterpaksaan untuk bekerja guna memperoleh pendapatan. Hal itu terjadi karena ketidakmampuan melanjutkan pendidikan, terutama akibat faktor kemiskinan dan ketidaktersediaan layanan pendidikan sehingga  mereka memiliki keterampilan dan pengetahuan rendah, yang pada gilirannya sulit memperoleh pekerjaan.

Tingginya angka pengangguran itu sekaligus mencerminkan adanya ketaksesuaian (mismatch) antara permintaan dan kebutuhan pasar kerja. Adapun salah satu strategi yang kini dijalankan pemerintah untuk mereduksi ketidaksesuaian itu ialah dengan meningkatkan keterampilan lulusan SMK, seperti tertuang  dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK.

Namun, pendidikan vokasi, seperti SMK, itu dinilai banyak pihak masih bersifat umum  mengingat desain pendidikannya terfokus pada kebutuhan pasar kerja secara nasional. Padahal, pasar kerja pada tingkat lokal amat berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya, sesuai potensi unggulan setiap daerah. Akibatnya, desain vokasi pendidikan secara nasional berpotensi menimbulkan mismatch pada pasar kerja lokal.

Secara faktual, hal itu sekaligus mengisyaratkan bahwa desain pendidikan vokasi sejatinya didasarkan pada pemetaan pasar kerja lokal, minimal pada level kabupaten/kota. Diketahui, lapangan pekerjaan berbeda antardaerah sesuai potensi unggulannya, seperti pertanian, industri, pertambangan, perdagangan, konstruksi, angkutan, keuangan, dan jasa  kemasyarakatan. Maka, setiap daerah, minimal pada tingkat kabupaten/ kota, eloknya memiliki pendidikan vokasi yang bersesuaian dengan kebutuhan daerah.

Selain itu, desain pendidikan vokasi pada tingkat lokal  sepatutnya tidak selalu harus sesuai dengan permintaan pasar kerja, tetapi juga dapat memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan  untuk bekerja mandiri dan berwirausaha.  Hal ini mengingat  kemampuan penduduk berwirausaha di Tanah Air masih terbilang rendah, antara lain, tecermin dari rendahnya peringkat wirausaha Indonesia pada tataran global. Laporan The Global Entrepreneurship and Development Index  2017, misalnya,  menyebutkan Indonesia berada di peringkat ke-90 dari 137 negara.

Dalam konteks ini, Smith dan Petersen (2006) mengingatkan keberhasilan berwirausaha tidak hanya bermodalkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga kekuatan jiwa kewirausahaan. Adapun jiwa kewirausahaan dapat didorong dengan memotivasi dalam memulai usaha baru dan mengintroduksi produk atau jasa baru.

Strategi pengurangan pengangguran milenial bagi capres- cawapres barangkali bukan hanya akan menentukan perolehan suara dari kelompok milenial, melainkan juga akan menentukan keberhasilan pembangunan di masa datang.

Sebab, milenial amat berperan sebagai  motor penggerak pembangunan. Bahkan, peran milenial dari sisi jumlah akan semakin  meningkat  di masa datang. Hal ini sesuai kehadiran bonus demografi akibat penurunan kelahiran pada masa lalu, yang menyebabkan proporsi penduduk usia produktif dengan mayoritas milenial semakin meningkat hingga puncaknya pada 2028-2030.

Pemanfaatan bonus demografi itu kiranya mendesak untuk dilakukan seoptimal mungkin karena periodenya cukup singkat. Sebab, setelah itu penduduk di Tanah Air secara perlahan akan menua. Jelasnya, pengangguran milenial perlu ditekan serendah mungkin dan produktivitas perlu digenjot untuk menghadapi penuaan penduduk.