Seiring semakin menghangatnya dinamika menuju Pilpres 2019, kubu-kubu politik yang berkontestasi terlihat antusias merebut suara kaum milenial.

Sorotan terang terhadap kalangan milenial ini sepertinya menjadi terlalu dangkal jika ditujukan semata-mata untuk kepentingan terbatas pemenangan Pilpres 2019 belaka.

Pertanyaan fundamental yang patut kita renungkan: Indonesia seperti apakah yang telah dan akan diwariskan kepada kaum milenial pemilik sah masa depan Indonesia  dari kalangan elite yang selama ini menguasai panggung politik?

Langkah awal dari masingmasing kubu untuk memikat suara milenial (yang berjumlah 80 juta jiwa atau 40 persen suara) dimulai dengan aksi simbolis. Pasangan Prabowo-Sandiaga Uno, misalnya, menghadirkan kandidat wakil presiden berusia muda.

Sementara pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin memilih ketua tim pemenangan dari kalangan eksekutif muda yang dianggap dekat dengan kalangan milenial, yakni Erick Thohir.

Selain menampilkan berbagai figur yang secara simbolis merepresentasikan kedekatan dengan kaum milenial, sampai saat ini masing-masing kubu belum menjawab sebuah pertanyaan mendasar yang dapat merebut hati dan pikiran mereka. Pertanyaan tersebut adalah mengapa kalangan milenial harus memilih mereka.

Inisiatif politik apa yang akan diambil oleh kubu politik yang membuat kalangan milenial tidak saja akan melabuhkan pilihannya, tetapi juga berjuang dalam ranah politik untuk memastikan kemenangan dari kubu yang didukungnya.

Dalam sebuah karya yang inspiratif, penulis dan motivator Inggris-Amerika, Simon Sinek, dalam karyanya, Start with Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action (2009), menjelaskan bahwa kunci perubahan sosial ada pada kemampuan menjawab pertanyaan mendasar, yaitu mengapa sebuah tindakan harus dilakukan.

Sinek memberi contoh klasik tentang keberhasilan pendeta Kristen progresif Martin Luther King Jr menghimpun 200.000 warga Amerika Serikat di Lincoln Memorial, menyuarakan kesetaraan sosial dan hak-hak dasar warga pada tahun 1963.

Keberhasilan Martin Luther King Jr karena ia berangkat dari jawaban konkret tentang mengapa ia memulai langkah politik dengan sebuah kalimat inspiratif: I have a dream (saya memiliki mimpi).

Mimpi King itu tentang negerinya di masa depan yang menempatkan seluruh warga negaranya, apa pun warna kulit, keyakinan, dan latar belakang sosialnya dalam posisi setara.

Mimpi tentang masa depan keluarganya, di mana anak-anak dari keluarga King akan dinilai dan dihargai bukan atas dasar warna kulitnya, melainkan atas dasar sikap hidup, peran, dan kontribusi yang diberikan kepada bangsa dan negara.

Berangkat dari mimpinya, Martin Luther King Jr berhasil menjawab pertanyaan mengapa orang-orang di Amerika Serikat kala itu mengikutinya. Alasannya, perjuangan yang diinisiasi oleh Martin Luther King Jr tentang harapan masa depan Amerika bertemu dengan harapan dan aspirasi dari sebagian besar warga di sana, apa pun warna kulit dan keyakinan mereka.

Harapan milenial

Kembali pada persoalan generasi milenial Indonesia, bagaimana kita menjelaskan sesuatu yang di permukaan dianggap paradoks.

Bahwa generasi milenial yang umumnya tidak tertarik secara politis (survei CSIS 2017 menyebutkan hanya 2,3 persen generasi milenial tertarik politik), tetapi di sisi lain banyak dari mereka memiliki ciri kecerdasan sosial yang kuat, yakni inovatif, kolaboratif, dan percaya diri.

Sepertinya persoalan bukan pada generasi milenial yang tak acuh terhadap politik, melainkan lebih pada situasi politik kita yang belum mampu membuat generasi milenial masuk ke dalamnya.

Aktor politik dan elite kita masih belum memiliki literasi politik yang memadai untuk dapat menjawab pertanyaan mendasar ini: mengapa kaum milenial harus berjuang bersama mereka di panggung politik?

Dua hal patut dipertimbangkan elite politik untuk mengajak generasi milenial berjuang bersama mereka, yakni partisipasi dan kebinekaan. Generasi milenial adalah generasi yang akrab dengan media sosial. Karakter utama di dalamnya adalah hubungan yang interaktif di antara pengguna internet (netizen).

Media dalam media sosial bukan lagi menjadi panggung bagi sedikit bintang dan yang lain sebagai penonton.

Melalui interaksi dalam media sosial, kepercayaan diri generasi milenial ditempa untuk menyuarakan pandangannya.

Berhadapan dengan situasi politik saat ini,  yang ditandai oleh corak kekuasaan oligarki dan politik dinasti, adalah wajar jika generasi milenial enggan terlibat dalam politik. Sebuah konteks politik yang belum memberikan ruang leluasa bagi kaum milenial untuk berkiprah sebagai aktor yang setara.

Dunia dalam panggung ruang media sosial memberi kemungkinan luas bagi generasi milenial untuk berhubungan dengan berbagai macam manusia dengan latar belakang lintas identitas dan lintas batas. Sebuah ruang virtual yang pelan-pelan tengah merumuskan etika sosial yang berpijak pada kesetaraan dan penghormatan pada keragaman.

Sementara itu, panggung politik kita saat ini diisi oleh berbagai bentuk komodifikasi atas sentimen identitas berbasis ras, golongan dan agama, hoaks, dan ujaran kebencian.

Sebuah sentimen politik yang secara masif tengah merusak panggung dunia sosial yang dimiliki kaum milenial.

Letak persoalannya adalah bahwa masyarakat politik kita belum berhasil mengembangkan etika sosial dan habitus politik yang sejalan dengan nilai-nilai utama yang menjadi perhatian dari generasi milenial.

Para elite politik perlu kembali melihat kearifan masa lalu untuk menyiapkan masa depan Indonesia bagi generasi milenial.

Seperti ujaran monumental Ki Hadjar Dewantara yang menjadi simbol pendidikan kita, Ing ngarso sung tulodo (memberikan teladan di depan), ing madya mangun karso (di tengah membangun kerja sama untuk berkarya), dan tut wuri handayani (di belakang memberi semangat).

Teladan, kerja sama yang setara, dan memberi semangat. Tiga kata kunci inilah yang hendaknya harus direnungkan dalam-dalam oleh kalangan elite politik kita untuk menemukan kesamaan frekuensi dengan generasi milenial dan bersama-sama dengan mereka menyiapkan masa depan Indonesia.

Airlangga Pribadi Kusman Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Direktur The Initiative Institue

Kompas, 15 Oktober 2018