Setelah penandatanganan head of agreement dan sale purchase
agreement pada 27 September 2018 dengan Freeport Indonesia (FI), perusahaan tambang milik negara, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), menjadi magnet bagi pelaku pasar lokal dan global.

Dua rangkaian aksi korporasi ini adalah tahapan penting Inalum untuk mengontrol 51 persen saham FI. Jika dalam enam bulan ke depan tuntas membayar 3,5 miliar dollar AS (Rp 56 triliun), Inalum resmi mengontrol 51 persen saham FI sesuai amanat konstitusi UUD 1945: pertambangan strategis harus dikendalikan negara untuk kesejahteraan rakyat.

Meski demikian, upaya Inalum membeli 40 persen hak partisipasi Rio Tinto untuk mengontrol 51 persen saham FI dipertanyakan. Mengapa Inalum tak langsung membeli saham Freeport McMoRan (FCX) di FI?

Menurut penulis, jika Inalum membeli saham FI melalui FCX, itu tak menguntungkan Indonesia. Tambang terbuka (open-pit) dan bawah tanah (underground) di Grasberg adalah tambang yang menyedot biaya investasi besar. Tahun 1995, Freeport tak punya dana untuk operasional tambang itu.

Rio Tinto yang waktu itu memiliki modal finansial. Dengan kekuatan uang, Freeport dan Rio Tinto melakukan joint agreement operation tahun 1996. Melalui perjanjian itu, Rio Tinto bersedia menggelontor ratusan juta dollar AS untuk pengembangan tambang Grasberg dan bertanggung jawab atas operasional tambang, teknik eksplorasi, dan pengolahan limbah tailing.

Mekanisme korporasi

Jaminan bagi Rio Tinto yang telah mengembangkan tambang Grasberg bukan saham, melainkan memiliki 40 persen hak partisipasi di tambang Grasberg dan berhak dapat 40 persen dari total produksi tembaga dan emas Freeport di Grasberg. Setelah 2021, otomatis Rio Tinto mengontrol 40 persen produksi.

Artinya, Inalum dan Freeport hanya bisa mengontrol 30:30 persen produksi Grasberg jika membeli saham Freeport melalui FCX.

Tidak bisa juga dikatakan karena itu perjanjian antara Freeport dan Rio Tinto, maka yang menyelesaikan soal adalah Freeport dan Rio Tinto. Pemerintahan Joko Widodo justru memikul beban masa lalu bawaan rezim Soeharto yang turut menyepakati perjanjian Freeport-Rio Tinto. Klausul dalam kontrak karya (KK) Freeport juga mengisyaratkan jika kontrak berakhir tahun 2021, otomatis Freeport mendapat perpanjangan kontrak 2×10 tahun.

Apa pun mekanismenya, yang penting Indonesia sudah mengontrol 51 persen saham FI. FI sudah sepakat mengonversi 40 persen participating interest Rio Tinto menjadi saham meski terdilusi 5 persen menjadi 35 persen. Lima persen sisanya diambil dari saham Indocopper di Freeport untuk mencapai 51 persen. Pertanyaannya, apakah negara dan BUMN mampu membeli 51 persen saham FI dan apa keuntungan bagi BUMN tambang kelak?

Presiden Jokowi peduli terhadap nasib BUMN tambang, termasuk mengembalikan kedaulatan tambang. Divestasi saham FI bukanlah mudah untuk Jokowi. Selain alotnya negosiasi dengan FI yang tak mau mengubah KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), Jokowi berhadapan dengan defisit APBN akibat besarnya impor migas (bensin).

DPR tak mendukung pengalihan saham perusahaan asing ke BUMN karena injeksi modal ke BUMN menguras APBN. Padahal, menutup defisit APBN adalah pekerjaan DPR dan pemerintah. DPR tak punya politik konstitusional dalam divestasi sehingga Presiden bersama para menteri melakukan divestasi dengan mekanisme korporasi.

Sebelum membeli 51 persen saham FI, perusahaan tambang BUMN telah melakukan konsolidasi dengan membentuk perusahaan holding (PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, dan PT Bukit Asam Tbk/PTBA). Jika digabung, total aset Inalum Rp 86 triliun. Itu memudahkan Inalum dapat pinjaman bank dan melakukan ekspansi bisnis.

Di tambah arus kas anak usaha (PTBA 2018 Rp 4,45 triliun, PT Timah Rp 1,29 triliun) yang besar, memudahkan Inalum membeli saham FI. Jika tuntas membeli 51 persen saham FI, total aset Inalum menjadi Rp 180 triliun.

Dana pinjaman untuk membeli saham FI akan tertutup oleh laba bersih FI yang rata-rata di atas 2 miliar dollar AS per tahun setelah 2022. Apalagi tambang bawah tanah (93 persen total cadangan FI di bawah tanah) mulai berproduksi 2019.

Nilai pasar Inalum mencapai 15 miliar dollar AS jika sukses mengontrol 51 persen saham FI. Itu sudah cukup menempatkan Inalum setara raksasa tambang dunia, seperti Freeport McMoRan yang bernilai pasar 20,9 miliar dollar AS, meski jauh di bawah raksasa tambang dunia, Rio Tinto Plc, yang 86,55 miliar dollar AS. Inalum memiliki ruang besar berekspansi.

BUMN tambang diuntungkan dengan pemberlakuan UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara yang memerintahkan perusahaan tambang asing yang sudah berproduksi 10 tahun wajib mendivestasi 51 persen saham ke pihak domestik. Inalum punya kesempatan membeli 20 persen sisa saham PT Vale Indonesia yang belum didivestasikan ke pihak domestik.

Vale mengoperasikan tambang nikel di Sorowako (Sulawesi Selatan) dan Morowali (Sulawesi Tengah). Vale juga menguasai pasar nikel domestik dan menjadi salah satu pesaing utama PT Antam. Jika sukses mengakuisisi Vale, nilai pasar Inalum naik.

Indonesia dianugerahi cadangan mineral berlimpah. Cadangan bijih besi terkira di Kalimantan 39.964.006 ton dan bauksit 125.008.311 ton dan cadangan bijih besi di Sumatera 2.432.000 ton. Cadangan nikel di Maluku 354.466.592 ton dan Sulawesi 529.224.638 ton. Sementara cadangan tembaga di Papua 2.574.744.000 ton.

Tak mengontrol SDA

Meski begitu, yang mengontrol pasar nikel, bauksit, tembaga, dan batubara adalah perusahaan asing dan grup lokal besar yang diberikan privilese oleh Soeharto melalui KK dan perizinan pertambangan batubara (PKP2B). Vale Indonesia, misalnya, mengontrol konsesi nikel mulai dari Sorowako sampai Morowali, Freeport mengontrol konsesi 215.000 hektar (ha) di Grasberg.

Soeharto juga memberikan konsesi ke pengusaha domestik, seperti PT Kaltim Prima Coal (KPC) 90.938 ha dan Arutmin 70.153 ha. Jika digabung, KPC dan Arutmin mampu produksi batubara 90 juta ton; PTBA hanya 25 juta ton.

BUMN tambang menambang di wilayah yang "kering". Antam, misalnya, hanya bisa konsesi bauksit di Tayan, Kalimantan Barat (34.360 ha), tambang nikel di Asera dan Molawe, Sulawesi Tenggara (16.920 ha). Sementara PTBA memiliki konsesi batubara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, (66.414 ha) dan Tabalong di Kalimantan Timur 3.145 ha.

Pengecualian PT Timah yang memiliki konsesi luas dan menguasai pasar timah di Tanah Air. Timah mengontrol konsesi 116.983 ha di Lintas, Bangka Balitung, dan Riau (19.594 ha). Maka, banyak yang mencibir, BUMN hanyalah sapi perah elite penguasa.

Risikonya, perusahaan-perusahaan BUMN lemah bersaing. Jangankan berkompetisi dengan raksasa-raksasa global, (Rio Tinto dan BHP Billiton), dengan perusahaan-perusahaan tambang batubara domestik, seperti KPC, Arutmin, Adaro Energi, saja keok. BUMN tambang tak bisa mendongkrak penerimaan negara karena dividen kecil dan tak menguntungkan.

Korporasi asing-domestik justru yang menopang penerimaan negara dari sektor tambang, termasuk menentukan maju- mundurnya proyek hilirisasi mineral. Pemerintah seakan tak konsisten melarang ekspor mineral mentah. FI, misalnya, masih saja diizinkan ekspor mineral.

Perusahaan tambang BUMN kemudian loyo mengontrol pasar. Di tambang bauksit dan nikel, Vale dan Cita Mineral masih mengontrol kekuatan pasar daripada ANTM. Sementara di batubara, PTBA jauh di bawah Arutmin dan KPC yang produksinya sudah 90 juta ton dan Adaro Energi 60 juta ton tahun 2018.

BUMN tambang saat ini hanya mengontrol 7-20 persen pangsa pasar mineral. Di batubara, PTBA hanya mengontrol 10 persen. Padahal, Direktur Inalum Budi G Sadikin mengatakan, jika ingin mengontrol pasar global, Inalum harus menguasai 15-20 persen pasar mineral domestik.

Mengontrol konsesi mineral dalam negeri adalah tahap awal agar BUMN tambang menguasai pasar global, termasuk mengambil alih beberapa konsesi tambang warisan perusahaan-perusahaan tambang asing. Antam diharapkan bisa menang lelang konsesi lahan yang ditinggalkan Vale di Bahodopi,

Morowali. Antam memang menyediakan Rp 1,8 triliun lebih untuk mendapat beberapa blok yang diciutkan Vale di wilayah kerja Sua-Sua, Latao, Kolonodale, dan Bahodopi Utara. Begitu pun lahan yang ditinggalkan perusahaan KK dan PKP2B. Adaro Indonesia, misalnya, memiliki luas lahan konsesi 148.148 ha (diciutkan 12 persen), KPC 90.938 ha (diciutkan 6,6 persen), dan Arutmin 70.153 ha (diciutkan 4,7 persen). Dengan mengontrol konsesi, perusahaan tambang BUMN bisa mengontrol sektor hulu yang memungkinkan bisa bergerak bebas di hilir (pembangunan smelter).

Tanpa ada pasokan mineral dari hulu, pembangunan smelter yang didesain anak usaha Inalum akan mati suri. Antam sedang membangun smelter grade alumina (SGA) di Mempawah, Kalimantan Barat, untuk memproduksi 2 juta ton alumina per tahun. Proyek SGA ini merupakan upaya Inalum dan Antam mengintegrasikan industri hulu aluminium dengan industri hilirnya, pabrik aluminium ingot di Kuala Tanjung.

Dengan mengontrol 51 persen saham FI, ambisi Inalum menguasai pasar global tidak sulit. FI memiliki konsesi dan cadangan tembaga-emas besar. FI dan Inalum bisa merealisasikan proyek smelter tembaga dan emas yang rencananya dibangun di Gresik, Jawa Timur.

Pembangunan proyek smelter tembaga lebih mudah jika anak usaha Inalum, PTBA, memastikan ketersediaan listrik karena PTBA memiliki batubara dan mengoperasikan beberapa proyek listrik PLTU Mulut Tambang. Dengan demikian, kita berharap pendapatan BUMN tambang mencapai 22 miliar dollar AS tahun 2025.

Inalum menjadi kompetitor utama raksasa tambang global jika negara memberikan kesempatan BUMN tambang mengontrol sektor hulu tambang. Dari sana, BUMN tambang akan mudah mengontrol pasar mineral domestik-global. Perusahaan milik negara juga bisa menaikkan penerimaan negara asalkan dikelola secara profesional, transparan, dan akuntabel.