Hanya ada dua kemungkinan jika masyarakat akar rumput memersepsikan kondisi politik mutakhir secara kelakar. Pertama, politik memang sudah berkembang secara damai dan cenderung menyejukkan. Kedua, politik semakin pahit sehingga memproduksi sinisme kultural.

Betapa tidak! Hanya dalam hitungan menit setelah kepastian final dua pasang calon presiden dan wakil presiden, sudah banjir respons yang berpindah dari satu HP ke HP yang lain. Gurauan-gurauan begitu menggelitik, seolah menganggap tiada rentetan sanksi hukum dari negara yang diformalisasikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai pesan rasis lewat media sosial.

Ambil contoh saja pesan dalam Whatsapp ini: "Ada indikasi perbankan diam-diam mendukung Sandi. Dukungan ini bahkan sudah lama. Barusan saya masuk ATM, nuansa dukungan Prabowo/Sandi langsung saya rasakan. Begitu saya mau tarik uang, langsung muncul tulisan 'masukkan kata sandi'. Saya nekad ngetik Jokowi ternyata tidak bisa".

Pesan sebelumnya yang beredar adalah: "Demokrasi itu bebas. Kalau pilih Jokowi ya silakan. Kalau gak pilih Prabowo juga gak apa-apa. Kita menghormati pilihan masing-masing".  Sementara pesan-pesan lawas lain yang membanjir adalah: "Yen pilih sing joko yo ojo pilih sing dudo (kalau memilih yang perjaka, ya, jangan memilih yang duda)."

Jika dibandingkan dengan model pesan lain, jelas pesan tersebut muncul dari "bawah". Bahasa politik masyarakat bawah sangatlah non-kiasan. Sementara pesan berderet sekian panjang, yang memiliki ekor "baca selengkapnya", sama sekali justru tidak menarik. Sudah bisa ditebak, pesan tersebut pasti produksi mesin politik yang resmi alias dari atas.

Masih ingat tagar #2019GantiPresiden? Secara karikatural, pesan tersebut diolah fotogenik dengan tipuan aplikasi gawai sedemikian rupa dalam paduan warna merah dan hitam sehingga seolah-olah jadi kesetujuan kolektif, tetapi sebetulnya ada dua kata sisipan yang begitu kecil tak terlihat langsung: "Gak Usah".

Proses purgatif

Bahwa banyak perkara politik yang sebelumnya tampak begitu elitis dan kompleks tetapi dapat dipersepsi sekaligus dikonsepsi secara lebih ringan dalam sebuah kelakar, hal ini menunjuk pada kecerdasan generik khas masyarakat akar rumput.

Hal esensial adalah keterbacaan politik elite bersifat tak terhindarkan (unavoidable). Karakter slinthat-slinthut laksana belut berpelumas oli, sebagaimana tecermin dalam politik selama ini, tidaklah antitembus pandang. Bukan lagi logika formal yang dipakai, melainkan sekadar slogan-slogan tertentu yang bernuansa candaan.

Yang memiliki kadar humor tipis dipastikan tidak bisa membaca dalam rasa nikmat level tertentu secara politis. Lihatlah pesan yang "mewakil" para Ahokers. Panjangnya menyerupai tesis, mengisahkan bagaimana kecewanya kubu Ahok yang tidak sadar disusupi oleh para broker politik dan akhirnya pada tikungan terakhir batal dicalonkan.

Masih ingat bukan pesan bergambar kakek tua dengan mimik heran dalam kernyitan dahi, "Pusing dah suruh baca pesan sepanjang ini". Masih tulisan yang sama, tetapi pesan lain telah dimodifikasi: bukan foto seorang kakek, melainkan monyet yang garuk-garuk kepala dicalonkan.

Kekuatan pesan pendek lewat aneka meme jauh lebih efektif dalam menancapkan opini untuk kepentingan pembentukan stereotip tertentu. Ambil contoh, penyampaian video delapan menit seorang ustaz yang menanggapi #2019GantiPresiden sebagai #2019GantiSistem memang benar secara kategoris menurut logika khusus yang relevan dengan pokok bahasan tersebut, tetapi jelas tidak efektif. Pesan panjang lewat video tersebut tidak pernah didengarkan.

Dunia media sosial tidak lagi bergantung pada penyampaian verbal, tetapi visual. Alasan yang sangat praktis adalah memutar video delapan menit jelas tidak bersahabat karena menghabiskan kuota internet. Lebih praktis adalah tagar #2019GantiPresiden yang murah meriah.

Ratapan mengenai hilangnya substansi nilai dari sebuah pesan bukan menunjuk pada ketiadaan nilai itu per se, melainkan ketidakbisaan mengadaptasi cara-cara terpendek dalam berproses mengikuti logika masyarakat digital. Ratapan tersebut mirip tangisan infantil daripada ketidakberdayaan untuk mengikuti arus tanpa harus tergerus.

"Via purgativa"

Berlimpahnya meme politik belakangan ini memang di satu pihak menjadi kabar baik bagi demokrasi. Pastilah tidak serta- merta keberlimpahan persepsi dan konsepsi politik ala masyarakat akar rumput ini menjadi penanda kedewasaan kehidupan berpolitik.

Setidaknya, cara cerdas masyarakat akar rumput dalam membumikan pesan sangatlah signifikan dalam mengikis apatisme politik. Bahwa politik itu memang dari "sana"-nya kotor, hal itu terlihat pahit dalam semua lapisan masyarakat. Namun, bahwa politik itu bisa dikelakarkan, model pendekatan ini jauh lebih populer yang bersifat generik sekaligus organik. Disebut generik karena muncul dari kecerdasan lokal ala masyarakat akar rumput dan organik karena menumbuhkan kecintaan patriotik pada masyarakat bangsa, tanpa pernah kecintaan pada politik itu sendiri.

Yang pasti, pelbagai meme politik ala masyarakat akar rumput bukanlah suatu eskapisme kultural. Justru sebaliknya, para elite politiklah yang tidak bisa menafikan begitu saja persepsi sekaligus konsepsi politik ala masyarakat akar rumput ini. Alias, elite politik tidak bisa melarikan diri (escape) dari bahasa kalbu masyarakat bawah ini.

Dalam traktat spiritualitas politik, tahap awal dari titik pencerahan adalah pembaharuan lewat pembongkaran-pembongkaran (via purgativa). Tidak ada capaian iluminatif tanpa pembaharuan terlebih dahulu.

Tentu saja hal ini berkaitan erat dengan isi nilai (head to head), bukan isi kantong. Guyonan politik tidak pernah betul-betul jadi guyonan yang kosong, tetapi jadi sebuah cara tercerdik karena masyarakat sudah sedemikian terdidik.