Polemik mengenai data produksi beras sejatinya telah berlangsung cukup lama. Setidaknya, studi Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 1998, telah mengindikasikan terjadi overestimasi luas panen sekitar 17,07 persen. Karenanya, tidak mengherankan jika selalu terjadi perbedaan data atau diskrepansi data antarkementerian teknis terkait. Utamanya data dari Kementerian Pertanian yang mengacu sisi produksi dan data Kementerian Perdagangan yang mengacu pemenuhan kebutuhan konsumsi.
Simpang siur data semakin menjadi-jadi ketika Pemerintah menargetkan swasembada beras dan berjanji tidak impor beras. Berbagai upaya menggenjot sisi produksi pun dilakukan, mulai dari menambah anggaran Kementerian Pertanian, membangun infrastruktur pertanian, juga upaya mencetak lahan sawah baru. Termasuk tetap memberikan subsidi pupuk dan benih, juga membagikan bantuan alat-alat pertanian (Alsintan) kepada petani.
Sayangnya, sekalipun komitmen meningkatkan produktivitas telah all out , harga beras di dalam negeri terus mengalami kenaikan. Padahal, penentu utama harga beras jelas sederhana, interaksi pasokan dan permintaan. Karenanya, guna stabilisasi harga Kementerian Perdagangan menyimpulkan pasokan beras kurang dan memutuskan untuk impor. Secara kebetulan disparitas harga beras di pasar internasional memberikan insentif ekonomi yang sangat menggiurkan. Akibatnya, selalu terjadi kegaduhan dan pro kontra setiap kali penetapan kebijakan impor beras.
Sejatinya, kenaikan harga beras tentu tidak jadi masalah jika berujung pada peningkatan kesejahteraan petani. Dimana petani jadi memiliki insentif ekonomi untuk terus bertanam padi. Bahkan diharapkan tidak menjual lahan pertaniannya sehingga produktivitas beras dengan sendirinya akan pasti meningkat. Dengan demikian, selain mengikis kemiskinan pedesaan sekaligus meningkatkan daya beli petani. Terdapat sekitar 14,1 juta rumah tangga petani akan berkontribusi signifikan terhadap peningkatan konsumsi rumah tangga yang berujung meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
Sayangnya, pengalihan fungsi atau konversi lahan pertanian justru terjadi semakin masif. Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang, peta luas baku sawah berkurang dari 7.750.999 hektar (ha) pada 2013 menjadi 7.105.145 ha pada 2018.
Padahal, luas lahan baku sawah tersebut yang menentukan luas panen dan menghitung produksi padi. Karenanya, guna mendapatkan akurasi data, BPS meluncurkan metode perhitungan luas panen baru dengan metode Kerangka Sampel Area (KSA). Metode ini disusun BPS bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi Geospasial (BIG); serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). KSA memanfaatkan teknologi citra satelit pemetaan radar, disertai pengecekan langsung lapangan.
Berdasarkan metode KSA, dihasilkan luas panen padi selama Januari–September 2018 sebesar 9,54 juta hektar, dan produksi padi mencapai 49,65 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Jika diperhitungan sampai Desember 2018, maka potensi luas panen menjadi 10,90 juta hektar, dan total produksi padi diperkirakan 56,54 juta ton GKG atau setara 32,42 juta ton beras.
Sebelumnya, perhitungan luas lahan baku sawah Kementerian Pertanian sebesar 15,5 juta ha, luas panen 83,3 juta ha, sehingga produksi 83,3 juta ton GKG atau setara 48 juta ton beras. Jika asumsi konsumsi beras diperkirakan 29,57 juta ton, maka dari perhitungan KSA masih terdapat potensi surplus beras sebesar 2,8 juta ton pada 2018. Sekalipun masih terdapat surplus, namun dibawah perkiraan surplus beras Kementerian Pertanian yang mencapai 13,03 juta ton.
Akurasi data perhitungan luas baku lahan dan luas panen tidak hanya sekedar guna menghentikan polemik terkait kebijakan importasi beras. Validitas data tersebut akan memberikan kepastian jumlah produksi sekaligus menjadi panduan kebijakan pertanian lebih efektif.
Dengan kejelasan besaran dan lokasi sebaran luas lahan, maka kebutuhan dan distribusi subsidi pupuk lebih tepat sesuai kebutuhan petani tanpa menimbulkan potensi moral hazard penetapan pupuk bersubsidi melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Subsidi benih juga akan lebih mudah disesuaikan dengan waktu tanam dan jenis lahan masing-masing wilayah. Dengan demikian, neraca produksi dan pengelolaan stok beras akan mudah dipantau secara dinamis dan berkala.
Intervensi Pemerintah melalui Bulog menjadi sangat sederhana. Jika luas panen pada suatu daerah terindikasi melimpah, maka Bulog sudah mengantisipasinya dengan mengajukan anggaran penyerapan gabah petani sebelum panen tiba. Demikian juga ketika neraca beras suatu daerah berpotensi defisit, Bulog dapat berperan membantu sebaran distribusi beras ataupun sebagai alarm melakukan operasi pasar. Apalagi jika Tim Pemantau Inflasi Daerah (TPID) dilibatkan secara aktif, maka langkah preventif mengantisipasi gejolak harga pangan dapat dilakukan secara dini. Prinsipnya, dengan akurasi data maka seluruh pemangku kepentingan akan efektif melaksanakan peran dan tugasnya masing-masing secara tepat dan efektif.
Berbeda ketika tidak ada kejelasan jumlah dan sebaran keberadaan produksi. Sekalipun terdapat surplus beras, Pemerintah akan tetap kesulitan memastikan terjadinya stabilisasi harga. Pasalnya, ketersediaan beras berada di masyarakat, apalagi jika penguasaan pasokan terkonsentrasi pada pedagang besar. Apalagi peran dan eksistensi Bulog mengalami banyak keterbatasan, mulai terikat pada penetapan Harga Pembelian Pemerinah (HPP) sampai kemampuan keuangan dan infrastruktur logistik dibandingkan pemain swasta besar.
Akhirnya, setiap terjadi gejolak harga beras, mafia pangan selalu mudah dijadikan kambing hitam. Padahal, mafia pangan akan tumbuh subur, hanya ketika pemerintah memberikan kesempatan karena data pangan yang tidak akurat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar