Dalam perjalanan Anda sebagai pekerja amatir ataupun profesional, menjadi orangtua, menjadi pasangan sah atau tidak sah atau pasangan gelap atau terang, menjadi warga negara, menjadi murid atau mahasiswa, apakah Anda berhitung mengenai apa yang sudah Anda berikan atau korbankan, dengan apa yang telah dikorbankan bos atau perusahaan Anda, suami atau istri Anda, negara, dosen dan atau guru Anda?

"Gold digger"

Apakah selain melihat aksi pengorbanan mereka, Anda juga menerjemahkan pengorbanan itu ke dalam bentuk angka? Misalnya saja seperti ini. Apakah cinta Anda pada pasangan Anda itu bukan semata-mata hanya cinta murni, tetapi di balik kemurnian itu otak Anda telah menerjemahkan cintanya itu senilai sekian miliar berupa cincin pernikahan bertakhtakan berlian, kapal terbang pribadi, tas termahal di dunia, dan rumah sekian hektar?

Atau apakah Anda hanya berhitung dalam kasus-kasus tertentu saja? Misalnya sebagai seorang profesional Anda menerima upah katakan 30 juta rupiah per bulan. Nah, dengan angka itu, Anda hanya akan mengerjakan tugas yang memang menjadi tanggung jawab Anda saja.

Kalau diminta membantu departemen lain atau lembur, Anda akan mulai berhitung, sehingga akhirnya Anda bekerja belasan tahun dalam satu perusahaan, itu karena kesetiaan Anda ada dalam bentuk perhitungan?

Kalau dalam perjalanan pernikahan Anda terjadi perselingkuhan, apakah perselingkuhan itu terjadi karena pada dasarnya Anda memang suka berselingkuh, atau karena setelah Anda berhitung soal kadar cinta pasangan Anda yang berpengaruh kepada penurunan jumlah pengorbanannya dalam bentuk perhatian dan atau dana yang dikucurkan tiap bulan, maka perselingkuhan itu terjadi?

Atau kalau Anda sedang jatuh cinta, apakah pada masa kasmaran itu kepala Anda juga dipenuhi dengan perhitungan? Anda tidak hanya memperhitungkan soal fisiknya tampan atau cantik, tetapi tebersit di dalam pikiran Anda bahwa pacar Anda itu bakal menjadi putra atau putri mahkota yang akan mendapat warisan berupa perusahaan besar dan uang berlimpah? Karena beberapa kali di dalam pergaulan saya, telinga saya pernah menangkap omongan macam begini. "Dia, sih, emanggold digger."

Sempoa

Kalau seandainya perhitungan Anda tak langsung berhadapan dengan angka, apakah dalam kehidupan sosial, Anda menghitung prospek yang akan Anda dapatkan dalam setiap pertemanan yang Anda miliki?

Apakah Anda itu terlihat ada di mana-mana, selain mungkin Anda adalah seorang social climber seperti saya, tetapi di dalam kepala, Anda telah berhitung bahwa pertemanan atau kehidupan sosial yang Anda jalani akan memberi kehidupan masa depan yang cemerlang?

Karena itu, kalau Anda bersosialisasi, aktivitas itu bukan karena Anda adalah orang yang sosial dan secara murni ingin memperbanyak jejaring sosial tanpa alasan apa pun di baliknya, tetapi memperbanyak jejaring dengan alasan yang penuh perhitungan dan menjadikan kehidupan pergaulan itu seperti pusat transaksi bisnis.

Maka, dalam perjalanan kehidupan Anda, kepala Anda sudah mirip kalkulator, pelukan Anda juga seperti kalkulator, kebaikan Anda dengan mengirimkan bunga saat berdukacita atau kue saat ada yang berulang tahun juga seperti kalkulator.

Bahkan mungkin ketika Anda meninggalkan dunia ini, Anda masih memberi pesan kepada mereka yang akan Anda tinggalkan bahwa Anda harus dimakamkan di tanah pekuburan yang nilai tanahnya memiliki future value tinggi, meski Anda sendiri sudah tak bisa menikmati keuntungannya di masa depan.

Apakah Anda juga pernah melakukan perhitungan dengan Yang Maha Kuasa? Apakah Anda pernah kecewa setelah menghitung? Karena menurut perhitungan Anda, Anda mendapati ternyata Tuhan tidak adil, sehingga kalimat hidup itu tidak adil yang meluncur dari mulut Anda karena diawali dari sebuah perhitungan?

Atau sebaliknya, apakah ketika Anda mengatakan hidup itu sungguh adil, ketika mulut Anda menyuarakan kepada semua orang bahwa Tuhan itu sungguh baik, itu juga karena Anda berhitung dari banyaknya mukjizat yang telah Anda terima yang sesuai dengan keinginan Anda? Atau Anda mendapatkan keuntungan yang melebihi harapan yang tak pernah Anda duga sebelumnya?

Belakangan saya merasa bahwa kehidupan yang saya jalani sudah seperti seorang yang membawa kalkulator atau sempoa ke mana-mana. Saya diajari bahwa saya harus menghitung berkat yang saya terima. Ternyata, saya makin kecewa dengan berhitung, karena dengan cara itu saya menjadi orang yang suka membanding-bandingkan berkat.

Saya malah merasa berhitung itu membuat saya susah bersyukur. Sekarang saya lagi membiasakan untuk memilah yang mana harus saya hitung dan yang mana tak perlu ada perhitungan. Dan saya tak berkeinginan untuk meninggalkan dunia ini dengan kalkulator di genggaman tangan. Saya tak mau pelukan dan kebaikan saya dirasakan orang beraroma sempoa.

Kompas, 7 Oktober 2018