Salah satu isu yang banyak menjadi perbincangan dalam jagat politik adalah peran generasi milenial, dihubungkan dengan upaya capres-cawapres dan parpol-parpol untuk mendapat dukungan mereka.

Generasi milenial, yang berusia 17-35 tahun pada tahun 2019, jumlahnya sekitar 80 juta orang dari total calon pemilih sebesar 185 juta atau sekitar 40 persen. Maka, keberhasilan untuk meraih dukungan dari generasi milenial  akan cukup signifikan baik bagi capres-cawapres maupun para caleg dari parpol-parpol.

Pertanyaannya, apakah pemilih milenial masih bisa didekati secara ideologis oleh semua kontestan dalam pemilu nasional 2019?

Generasi milenial kini hidup dalam masa pasca-ideologi. Dalam kancah kontestasi politik sudah cukup lama gaung ideologi tidak bergema lagi. Kaum milenial yang lahir mulai tahun 1980-an tidak sempat mengalami zaman keemasan ideologi, apalagi persaingan antar-ideologi.

Jadi, ideologi merupakan barang asing bagi mereka. Atas dasar itu , tidak atau bahkan sulit sekali bagi kontestan politik untuk memikat kaum milenial dengan pendekatan ideologis. Tentu saja pendapat itu benar bila mengartikan ideologi dalam artian sempit, yakni seperti ideologi-ideologi pada masa sebelum Reformasi.

Ideologi pernah mewarnai dengan pekat dunia politik Indonesia pada zaman liberal, yang menurut kalangan ahli politik berlangsung antara 1945 dan 1959.

Bahkan, sebelum kemerdekaan ideologi-ideologi sudah bermunculan di Tanah Air. Generasi milenial umumnya, kecuali mereka yang kuliah di fakultas  ilmu politik atau sejarah, tidak mengenal  apa itu ideologi yang dulu dikemas dalam bentuk isme-isme seperti nasionalisme, islamisme, dan sosialisme.

Kompetisi ideologi mencapai puncaknya pada masa sebelum dan sesudah Pemilu 1955. Bukan sekadar kompetisi, masa itu juga dilukiskan sebagai konflik ideologi, yang mencapai titik klimaksnya pada sidang-sidang Konstituante tahun 1956-1959, yang berakhir dengan kegagalan lembaga negara itu menyepakati suatu dasar negara yang memang menjadi tugas utama lembaga Konstituante tersebut.

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang mendeklarasikan berlakunya kembali UUD 1945, memang konflik ideologi berkurang. Akan tetapi, tetap tajam dan berujung pada upaya kudeta G-30-S tahun 1965 yang gagal dan mengantarkan Indonesia memasuki alam Orde Baru.

Barulah pada masa ini Indonesia memasuki alam di mana konflik ideologi dapat diredam. Pertentangan ideologi yang dianggap  rezim Orde Baru sebagai biang keladi perpecahan bangsa dijinakkan, antara lain, dengan diberlakukannya  asas tunggal Pancasila untuk semua parpol dan ormas.

Namun, keotoriteran rezim Orba yang mengarah pada kediktatoran akhirnya  runtuh oleh kekuatan reformasi pada tahun 1998. Maka, Indonesia  memasuki tahap sejarah baru, yakni reformasi, dan demokrasi politik terbuka kembali. Bersamaan itu pula ideologi-ideologi mulai bermunculan kembali, seiring dengan banyaknya parpol yang baru dibentuk.

Mudah-mudahan sebagian generasi milenial mengamati dengan saksama dan cerdas periodisasi sejarah politik Indonesia. Mudah-mudahan dengan naluri kemudaannya yang kritis mereka dapat mengambil pelajaran, memilah aspek-aspek yang positif dan negatif, termasuk yang berhubungan dengan ideologi.

Jadi, ideologi itu merupakan faktor penting dalam perjalanan suatu bangsa untuk berjuang sejak sebelum dan sesudah meraih kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan.

Ideologi mengandung  seperangkat pemikiran untuk mewujudkan cita-cita manusia demi kemaslahatan suatu bangsa pada masa depan. Tanpa basis ideologi masing-masing tidak mungkin para pejuang, terutama para pendiri bangsa kita dulu, dapat merebut kemerdekaan.

Upaya untuk mengusir penjajah didorong oleh ideologi nasionalisme yang tinggi yang dilakukan oleh para pemimpin dari berbagai kalangan, baik yang dinamakan nasionalis, agama, maupun yang berideologi kekiri-kirian.

Saat ini yang paling dikenal oleh kalangan milenial adalah Pancasila sebagai dasar negara. Sebagian besar parpol di luar parpol Islam menggunakan Pancasila sebagai asas atau ideologi partai. Melalui ideologi Pancasila ini sebagian parpol bisa melakukan pendekatan terhadap kaum milenial.

Hanya saja, Pancasila terlalu umum sifatnya, perlu dilakukan penciutan yang lebih spesifik agar bisa dipakai untuk menarik simpati kaum milenial.

Para pemangku kepentingan politik harus pandai-pandai menyerap aspirasi kaum milenial. Harus diakomodasi apa yang dikehendaki kaum milenial dalam menghadapi tantangan kehidupan masa kini dan mendatang.

Apa yang jadi  keprihatinan kaum milenial? Pada 2017, Centre for Strategic and International  Studies  (CSIS) melakukan survei nasional untuk memetakan sejumlah realitas kesulitan yang dihadapi milenial saat ini.  Disebutkan, salah satu hal yang menjadi perhatian kaum milenial adalah keterbatasan lapangan kerja.

Realitas kesulitan lain  berupa tingginya harga kebutuhan pokok. Dan, kesulitan lain lagi yang dirasakan adalah masih tingginya angka kemiskinan yang sebagian juga melanda kelompok milenial (Kompas, 24/9/2018).

Mengejawantahkan ideologi

Perlu diingat, kaum milenial tidak hanya tinggal di kota-kota, tetapi tak kurang banyaknya di pedesaan. Dengan tingkat pendidikan yang berbeda-beda, demikian juga tingkat sosial keluarga di mana mereka dibesarkan. Sebagian sudah memiliki pekerjaan, sebagian lagi masih menganggur atau melanjutkan pendidikan.

Jadi, tugas parpol atau tim kampanye capres-cawapres secara ideologis masih bisa mengejawantahkan ideologi  mereka, baik Pancasila maupun Islamisme, dengan menawarkan pemecahan masalah yang jadi keprihatinan kaum milenial.

Inilah saat yang paling baik bagi parpol-parpol yang berideologikan Pancasila untuk menampilkan Pancasila sebagai ideologi yang dapat memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini.

Sila-sila dalam Pancasila harus di-"jual" kepada calon pemilih milenial dengan program-program yang konkret, baik makro maupun mikro. Ini dapat juga diartikulasikan dengan Nawacita Jokowi sebagai bukti pengejawantahan Pancasila dalam wujud program-program yang konkret dan mudah dimengerti oleh rakyat, termasuk (terutama)  kaum milenial.

Demikian juga bagi parpol yang berasaskan Islam agar tidak kalah mengajukan tawaran program-program yang konkret bahwa Islam itu sesungguhnya adalah anti-kemiskinan, anti-kebodohan, melalui program-program yang membumi.

Maka, salah besar bila  parpol Islam masih  menampilkan wajah Islam yang garang, apalagi ingin mengubah dasar negara Pancasila. Kaum milenial akan lebih mudah  dibujuk dengan Islam yang berwajah damai, toleransi , dan  benar-benar membumi untuk menuntaskan setiap permasalahan bangsa secara konkret.

Melukiskan generasi milenial sebagai generasi yang hanya suka mengidolakan kehidupan hedonis, ingin mencapai keinginan dengan mudah dan jalan pintas, merupakan gambaran yang kurang obyektif.

Maka, salah satu pendekatan yang baik adalah berilah mereka harapan akan kehidupan bangsa yang lebih baik pada masa mendatang.

Kita harus percaya bahwa sebagian dari generasi milenial adalah calon pemimpin bangsa pada masa mendatang. Sebagian dari mereka ada yang sudah atau belum menjadi kader parpol. Parpol-parpol harus meletakkan kaum milenial sebagai kader-kader pemimpin parpol kelak.

Janganlah kaum milenial mendapat warisan dari pemimpin parpol yang korup. Dan, kaum milenial tidak akan suka bila mereka harus meniru perilaku buruk sebagian pemimpin parpol yang oportunis dan pragmatis dan selama ini terjerat korupsi.

Jadi, keteladanan adalah amat penting.  Dari sudut ini mungkin Golkar merupakan parpol yang paling sulit memberikan keteladanan karena pemimpinnya banyak yang terkena kasus korupsi besar-besaran.

Tapi, bila partai ini sanggup menggantikan secara konsisten pemimpin-pemimpinnya yang terlibat  korupsi dan tidak lagi dijadikan caleg, saya kira lama-kelamaan kaum milenial akan berangsur-angsur menaruh kepercayaan lagi terhadap Golkar.

Sementara PDI-P tidak cukup  dengan penampilan zaman now sebagai parpolnya anak-anak muda, juga mesti memberikan keteladanan yang baik  dari para pemimpinnya.

Mungkin keinginan anak muda adalah agar parpol-parpol pendukung capres-cawapres berjanji untuk semakin memperkuat KPK. Ingat bahwa bagi generasi muda, KPK tetap merupakan  simbol  negara dalam upaya pemberantasan korupsi sebagai perjuangan jangka panjang untuk menyelamatkan negara ini.

Terlepas dari itu semua, yang tak kurang pentingnya, jangan sampai generasi milenial diarahkan menjadi generasi yang anti-ideologi.

Kepada segenap parpol dan capres/cawapres selamat berkontestasi secara sehat serta dengan ramah dan bijak menarik simpati generasi milenial melalui ideologinya masing-masing. Dalam politik, ideologi  masih tetap bukan barang yang haram!

Pramudito Mantan Diplomat

Kompas, 8 Oktober 2018