Selama empat hari berturut-turut, sejak Sabtu (13/10/2018) harian ini menurunkan berita yang melukiskan kondisi penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat. Aturan pengutamaan bahasa Indonesia di ruang publik belum sepenuhnya tegak. Di sisi lain, serbuan bahasa asing yang memengaruhi bahasa kita, terutama dalam kosakata, tak mereda. Teknologi, yang kian tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat, sering memaksa kita menyerap kata asing dalam kehidupan berbahasa Indonesia.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Merayakan Indonesia Raya – Musisi senior Purwacaraka memimpin dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda dengan tajuk Merayakan Indonesia Raya, 88 Tahun Lagu Kebangsaan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (30/10/2016). Kegiatan yang dimotori oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaantersebut diselenggarakan untuk mendudukkan kembali lagu kebangsaan Indonesia Raya di jalur sejarahnya yang benar.

Kondisi itu kian tak mudah karena penggunaan bahasa daerah dan bahasa negara, khususnya oleh generasi muda, kian mengendur. Pemerintah dan Badan Bahasa tentu tak tinggal diam untuk menjaga bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa persatuan dan bahasa resmi negeri ini, termasuk dengan mendekati pemerintah dan warga di daerah. Sejak sembilan tahun lalu pun ada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Pasal 25 Ayat (2) dan (3) UU No 24/2009 menyatakan, bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi dalam UUD 1945 berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi, sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.

Kenyataannya, hingga kini, misalnya ketentuan Pasal 32 UU itu, yakni bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum bersifat nasional atau internasional di Indonesia, belum sepenuhnya dijalankan. Kewajiban pemakaian nama dalam bahasa Indonesia untuk gedung, jalan, properti lain, atau badan usaha yang dimiliki warga negara Indonesia atau berbadan hukum Indonesia belum juga sepenuhnya dihormati. Pada masa lalu, pemerintahan Orde Baru pernah memaksakan pemakaian nama berbahasa Indonesia itu, yang diikuti dengan operasi penertiban. Sebaliknya, UU No 24/2009 tidak mencantumkan sanksi bagi siapa pun yang tak mengindahkan ketentuan terkait bahasa.

Dalam sebuah surat pembaca yang dimuat harian ini (Kompas, 30/10/2017), Pandu Syaiful, pensiunan guru, mengajak kita untuk peduli bahasa Indonesia, sebelum terlambat. Ia meminta setiap lembaga pemerintah mempekerjakan ahli bahasa Indonesia. Di sinilah persoalan bahasa kita juga bermula karena standardisasi keahlian berbahasa Indonesia belum sepenuhnya diakui di negeri ini. Bandingkan dengan standardisasi keahlian berbahasa Inggris yang lebih jelas, dan diakui setara di seluruh dunia.

Penyair Joko Pinurbo, melalui puisi berjudul "Kamar Kecil", menggambarkan kerinduannya pada sebuah kamar besar untuk bahasa Indonesia di Nusantara ini. Tentu kita tak boleh menggantungkan asa akan kehadiran sebuah kamar besar bagi bahasa Indonesia itu pada pemerintah, Badan Bahasa, guru, atau lembaga negara lainnya. Kita harus memulai dari diri sendiri, dengan memakai bahasa Indonesia yang benar, dan tetap komunikatif.


Kompas, 16 Oktober 2018