Adalah Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tri Nuke Pudjiastuti yang mengemukakan pembangunan nasional yang didasarkan pada ilmu sosial dan kemanusiaan masih minim. Penyebabnya, riset soal ilmu sosial belum berkembang optimal di Indonesia. (Kompas, 24 Oktober 2018)

KOMPAS/SAMUEL OKTORA

Rekap Kelurahan – Pihak Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Gedebage dan anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) sedang melakukan rekapitulasi penghitungan perolehan suara pemilihan umum 2019 dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk direkap di tiap kelurahan dalam acara simulasi yang digelar di lingkungan Kantor Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (3/10/2018). Simulasi itu digelar oleh Komisi Pemilihan Umum RI ini selain untuk mengukur waktu yang diperlukan dalam proses rekap di tingkat PPK, juga sarana sosialisasi kepada masyarakat tentang tata cara rekapitulasi di PPK.

Kita garis bawahi pandangan ini. Lembaga riset masih sering dianggap sebagai tempat buangan. Hasil penelitian ditempatkan di rak lembaga penelitian dan tidak dimanfaatkan secara optimal. Situasi sangat berbeda dengan lembaga riset di negara lain.

Selain anggaran yang terbatas karena kurangnya dukungan dari pemerintah, para pejabat pun jarang menggunakan hasil riset dalam mengambil keputusan. Anggaran riset Indonesia hanya 0,9 persen dari APBN atau sekitar Rp 24 triliun. Sangat kecil. Jumlah itu pun tersebar di sejumlah kementerian sehingga hasil riset dan pemanfaatannya pun tidak optimal.

Hasil kajian akademis berupa risiko, manajemen risiko, dampak kadang ditabrak karena hanya ingin hasil yang instan. Peringatan dari LIPI ini seharusnya dipahami sebagai upaya menjadikan kembali riset akademis sebagai salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

Sebut saja desain pemilu serentak 17 April 2019. Apakah pemilu serentak sudah didasarkan pada kajian akademis yang mencakup semua aspek kehidupan? Pemilu serentak 2019 akan menjadi pemilu yang kompleks dengan penghitungan suara yang baru bisa selesai 24 jam. Begitu juga dengan penerapan sistem demokrasi penuh di Papua, yang masih mengadopsi sistem noken, juga diputuskan berdasarkan hasil riset sosial.

Apakah pemekaran-pemekaran wilayah yang pernah marak pada satu masa juga sudah didasarkan pada hasil riset akademisi? Atau, pemekaran wilayah semata-mata didasarkan pada semangat menciptakan raja-raja kecil di daerah yang berakhir dengan konflik dan terabaikannya kepentingan rakyat.

Kembali soal riset, bangsa ini membutuhkan sebuah lembaga riset yang berwibawa. Lembaga yang bisa melihat ke depan, apa yang akan menjadi tren dan arah dunia. Lembaga riset yang membekali pemimpin untuk melihat ke depan. Gouverner c'est prevoir. Memerintah itu melihat lebih dulu. Untuk bisa melakukan itu, dibutuhkan hasil-hasil riset. Lembaga riset membutuhkan dana untuk menopang kerja penelitiannya.

Kita, misalnya, tentu tidak ingin bangsa ini terus-menerus menjadi laboratorium sistem pemilu. Hampir tiap pemilu ganti aturan main. Apakah perubahan sistem pemilu itu didasarkan pada hasil riset akademis atau semata-mata untuk kepentingan kekuasaan? Kadang bangsa ini terlalu kreatif untuk menyiasati keadaan, mencari jalan pintas, demi dan hanya untuk meraih kekuasaan.

Riset akademis dibutuhkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Riset akademis dibutuhkan untuk membekali pengambil keputusan untuk mengambil keputusan.


Kompas, 25 Oktober 2018