Di balik riak pembangunan (ekonomi) yang bergemuruh selalu ada ide. Gagasan yang bagus bersandar pada dua kaki: relevansi dan aksi. Sumber relevansi yang utama adalah kesanggupan memetakan sumber daya yang dipunya dan lubang persoalan yang masih menganga (juga prospek masa depan). Sementara, sumber terpenting aksi ialah kemampuan mengawal tiap kebijakan dan program menjadi kerja yang berjejak di lapangan.

Konsep yang relevan kerap kali babak belur karena eksekusi yang lunglai. Sebaliknya, kerja yang efektif tak menimbulkan getar karena tidak punya titik singgung dengan keadaan (relevansi). Setelah usia pemerintah tepat empat tahun (20 Oktober 2018), kita sekarang menyadari betapa pentingnya daya gagasan tersebut. Pembangunan ekonomi yang berjalan ditopang oleh sumber relevansi dan aksi yang kokoh. Namun, narasi ini saja tak cukup, masih dibutuhkan penjelasan yang memadai, khususnya terkait: apa sumber kekuatan dan syarat kemajuan di masa depan?

Sumber kekuatan

Jika dicermati secara detail dalam empat tahun terakhir ini, sekurangnya terdapat lima sumber kekuatan ekonomi domestik yang vital, yakni postur alokasi fiskal yang solid, stabilitas harga (inflasi) yang terjaga, ongkos investasi yang kian murah (suku bunga kredit yang turun), kemandirian ekonomi yang mulai merekah, dan pemerataan (keadilan) kesejahteraan yang berkilat.

Politik alokasi fiskal mengalami perubahan yang penting dalam tiga urusan pokok: politik subsidi, belanja ekonomi, dan alokasi perlindungan sosial. Subsidi minyak yang sebelum tahun 2015 menyedot lebih dari Rp 300 triliun dialihkan untuk pembangunan infrastruktur (2015- 2019 dialokasikan Rp 2.215 triliun dari APBN). Belanja fungsi ekonomi naik dua kali lipat sepanjang 2015-2018 dibandingkan periode sebelumnya. Lebih fantastis lagi, alokasi dana untuk perlindungan sosial meningkat 10 kali lipat ketimbang masa 2010-2014. Di balik risiko atas perubahan radikal ini, tertancap mosaik baru politik fiskal yang fokus untuk bertempur melawan rupa-rupa kerentanan kondisi sosial-ekonomi.

Stabilitas harga juga barang langka di republik ini sejak proklamasi dikumandangkan. Pada masa awal pembangunan, problem yang muncul adalah kelangkaan produksi sehingga permintaan melampaui kebutuhan. Namun, setelah pembangunan kian mapan, soal yang terkait manajemen pasokan dan distribusi barang/jasa menjadi lebih dominan. Produksi bahan pangan fluktuatif bergantung pada musim, distribusi antarpulau mahal karena infrastruktur yang menyedihkan, dan tata niaga yang tidak sehat.

Meski belum sempurna, urusan tersebut telah dijamah dengan intensif sehingga inflasi bisa dikelola pada level yang beradab (pada kisaran 3,5 persen). Ini yang kemudian membuat sektor keuangan (khususnya perbankan) bisa bernapas lega dengan melakukan relaksasi suku bunga. Inflasi yang rendah membuat suku bunga (deposito) menurun, yang kemudian bunga kredit bisa lebih murah (otoritas fiskal dan moneter bekerja secara terpadu). Prestasi ini harus dikawal sebab masih belum setara apabila dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Rintisan kemandirian ekonomi dan efisiensi pembiayaan sektor energi telah dan sedang dijalankan secara serius. Penguasaan blok minyak Pertamina diperbesar menjadi sekitar 60 persen (dari semula hanya di kisaran 20 persen). Hal yang sama juga dilakukan untuk sumber daya alam (SDA) lainnya, seperti emas. Ini akan terus dieksekusi sehingga kemandirian energi meningkat. Ratusan triliun anggaran dari cost recovery migas dapat diselamatkan melalui negosiasi intensif, demikian pula dengan sistem bagi hasil (revenue sharing). Mandat konstitusi ini dikerjakan secara spartan agar ragam kebocoran bisa disumbat.

Pada ujungnya, kekuatan ekonomi terpenting belakangan ini adalah mendorong struktur ekonomi menjadi lebih landai, tak mengerucut seperti piramida korban. Kue ekonomi yang dinikmati oleh lapis masyarakat bawah kian besar. Ikhtiar ini tidak saja dilakukan di hilir (Rastra, PKH KIP, KIS, dan lain-lain), tetapi juga bertempur di hulu melalui program Reforma Agraria dan Pehutanan Sosial (RAPS), dana desa, KUR, dan lain sebagainya.

Kotak pendalaman

Tentu saja pekerjaan rumah belum usai dan perlu segera diurus dalam jangka menengah agar sumber kekuatan pembangunan ekonomi itu dapat ditegakkan lebih tinggi. Jika diperas menjadi "kotak pendalaman", terdapat tiga inti perkara yang mesti diperhatikan: pendalaman struktur ekonomi, inklusi pembangunan, dan kualitas manusia. Indonesia memiliki sumber daya ekonomi (termasuk SDA) yang besar. Seluruhnya telah dimanfaatkan, bahkan sejak Republik belum diproklamasikan.

Problemnya, watak pengelolaan atas sumber daya ekonomi itu belum mengalami kemajuan yang berarti sejak lama. Nilai tambah ekonomi tidak menjadi bahasa pembangunan, yang muncul baru eksplorasi (bahkan eksploitasi) atas sumber daya ekonomi. Akibatnya, struktur ekonomi amat dangkal dan baru sekarang disentuh. Ekspor kedodoran karena variasi produk terbatas, yang sebagian besar berasal dari bahan mentah. Sektor manufaktur berbasis teknologi dan inovasi belum menjadi sumber pendalaman ekonomi. Kerentanan neraca perdagangan dan transaksi berjalan di antaranya bersumber dari perkara ini.

Pendalaman ekonomi yang memerlukan teknologi dan inovasi tersebut butuh syarat pokok: mutu manusia. Di balik inovasi adalah ide dan keterampilan. Sektor industri dan jasa yang kokoh ditopang tenaga kerja yang berdaya. Sumber utama kualitas manusia itu bukan lagi tenaga, melainkan kreativitas dan kapabilitas. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terus meningkat, bahkan sejak 2016 telah menembus angka di atas 70 (kategori IPM tinggi). Namun, apabila dilacak lebih dalam lagi, tingkat pendidikan tenaga kerja sampai sekarang masih didominasi lulusan SMP ke bawah (59,8 persen/BPS, 2018).

IPM Indonesia pada level ASEAN setara dengan Vietnam dan Filipina, masih tertinggal dari Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Indeks Inovasi Global baru naik ke ranking ke-85 (World Intellectual Property Organization, 2018). Implikasi dari masalah ini adalah level produktivitas tenaga kerja tidak bisa dipacu. Pertempuran mutu manusia ini yang harus dimenangkan pada masa mendatang.

Berikutnya, inklusi pembangunan dimaknai keterlibatan secara penuh warga negara dalam arena ekonomi dengan kesetaraan akses. Partisipasi ekonomi akan menuntun kepada rasio nisbah ekonomi yang diterima. Partisipasi tersebut bukan cuma dalam kegiatan ekonomi, melainkan juga kepemilikan aset dan keterbukaan akses ekonomi. Inklusi keuangan di perdesaan naik tajam dari 29 persen (2014) menjadi 47 persen (2017), sedangkan di perkotaan naik dari 46 persen (2014) menjadi 51 persen (2017). Jika masing-masing bisa digenjot sampai pada level 85 persen (seperti di Malaysia dan Thailand), roda ekonomi akan bergerak kencang (DKNI, 2017).

Kepemilikan aset (tanah) telah disangga dengan program Reforma Agraria, sedangkan keterbukaan akses melalui program Perhutanan Sosial. Akses ini juga dibuka lewat program KUR dan pembangunan infrastruktur yang masif di desa (dana desa) dan Indonesia Bagian Timur (IBT). Ini yang membuat rasio gini menurun cukup cepat dalam empat tahun ini.

Indonesia maju

Formula pendalaman paling gampang dalam kurun lima-enam tahun ke depan adalah perkuat yang sudah dicapai (lima sumber kekuatan) dan perbuat aneka kebijakan untuk menapis tiga sumber kerentanan tersebut. Struktur ekonomi yang masih dangkal bisa diperdalam dengan strategi industrialisasi yang fokus dan konsisten. Tidak bisa subsektor yang dipilih terlalu banyak, demikian pula komoditas dasarnya. Riset soal ini telah banyak, juga peta jalannya. Hasil kajian tinggal diambil, lantas disusul kebijakan dan insentif sumber daya untuk menggapainya.

Berita bagusnya, empat tahun ini telah disumbang pembangunan infrastruktur yang cepat sehingga indeks daya saing (ranking ke-36/Forum Ekonomi Dunia, 2018) dan indeks logistik (urutan ke-46/ Bank Dunia, 2018) telah meningkat tajam. Desa dan IBT menjadi pangkalan strategis untuk pendalaman struktur ekonomi mengingat lapak yang dapat dioptimalisasi sangat besar. Target produk, nibah nilai tambah, dan sasaran ekspor dibuat secara presisi tiap tahun. Kemandirian ekonomi bukan lagi sebatas imajinasi.

Pada isu kualitas manusia, bidang kesehatan dan pendidikan merupakan prioritas yang tak dapat dinegosiasikan. Anggaran dan program kesehatan meningkat pesat (naik dua kali lipat dari 2014) sehingga akses warga terhadap kesehatan makin tinggi. Khusus pendidikan, isunya bukan sekadar menambah waktu lama sekolah (misalnya wajib belajar 12 tahun), melainkan juga desain sekolah vokasi yang terkait langsung dengan sumber daya ekonomi dan keterampilan tenaga kerja. Kualifikasi tenaga kerja dipetakan dengan jelas sehingga kurikulum sekolah vokasi dapat didesain sesuai kebutuhan.

Sementara, agenda pemerataan dan keadilan pembangunan dipertajam dengan akses pendidikan dan kesehatan tersebut. Akses ekonomi yang besar tidak lagi semata akibat dari penguasaan aset (modal dan tanah), tetapi oleh pengetahuan dan kapabilitas. Jika seluruh warga di perdesaan dan daerah tertinggal dinaikkan derajat kapabilitasnya, inklusi pembangunan bisa dilaksanakan secara lebih utuh.

Dua soal yang menjadi unsur penopang bagi keberlanjutan dan efektivitas pembangunan adalah lingkungan hidup dan relasi pemerintah pusat-daerah. Selama puluhan tahun pembangunan ekonomi dipacu dengan titik tumpu eksplorasi dan eksploitasi SDA. Aneka capaian pembangunan luluh lantak akibat pengabaian daya dukung lingkungan tersebut. Banjir, kekeringan, kebakaran (hutan dan kebun), dan perubahan iklim adalah ongkos pembangunan yang mengerikan. Model itu harus dihentikan diganti dengan pembangunan yang meninggikan lingkungan.

Selebihnya, otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk menyusun agenda pembangunannya sendiri. Ini tentu saja bagus sepanjang tidak mengisolasi untuk bergandengan tangan dengan pemerintah daerah lain atau pemerintah pusat. Agenda nasional membutuhkan kolaborasi, bukan kompetisi, antara pemerintah pusat dan daerah. Keduanya menyatu: manunggal dalam pembangunan. Agenda itulah yang mesti diperjuangkan dan dirawat dengan akal sehat.

Sumber kekuatan dan kemajuan telah dirintis sejak lama, khususnya pasca-krisis 1997/1998. Pencapaian empat tahun terakhir merupakan modal besar untuk memperkuat laju pembangunan ekonomi nasional. Fondasi dan tiang sudah berdiri kokoh, tinggal menutup dengan atap yang luas untuk melindungi setiap warga negara. Agenda penguatan reformasi struktural, mutu manusia, keadilan pembangunan, kelestarian lingkungan, dan relasi yang padu antara pemerintah pusat dan daerah merupakan babakan baru pembangunan yang harus dimenangkan.

Keberadaannya bukan cuma sebagai kelanjutan dari sumber kekuatan (domestik) yang telah diperoleh, melainkan juga meningkatkan level pembangunan ke tingkat berikutnya (internasional). Indonesia maju bukan semata kesanggupan mengeksplorasi potensi, melainkan juga meninggikan peran dalam pentas ekonomi yang lebih besar di altar dunia.