KOMPAS/PRIYOMBODO

Menteri Keuangan Sri Mulyani beserta jajarannya bergegas meninggalkan rapat Paripurna DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/10/2018). Rapat Paripurna tersebut mengesahkan rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 menjadi undang-undang.

Utang luar negeri, subsidi BBM, dan BPJS adalah tiga variabel yang paling banyak mendapat sorotan publik akhir-akhir ini dari keuangan pemerintah. Sorotan atas tiga variabel itu terutama terlihat menjelang tahun politik 2019, pada saat kita akan menyelenggarakan pemilu mendatang.

Sorotan menjadi kian tajam bukan saja berkaitan dengan momen politik menjelang pemilu dan dinamika internal lainnya, melainkan juga berubahnya berbagai variabel eksternal yang berkecamuk. Hal itu terutama terkait dengan kenaikan kembali harga minyak dunia, ancaman penaikan suku bunga AS, masih pulih terbatasnya beberapa harga komoditas, serta perang dagang antara AS dan beberapa negara yang mendefisitkan transaksi berjalannya, terutama dengan China. Sementara permintaan dunia, yang dipicu Uni Eropa, masih akan stabil dan cenderung didorong negara-negara Asia Timur, sesuai laporan prediksi IMF dalam Regional Economic Outlook 2018 per Mei 2018.

Soal defisit itu

Akibat kelima dinamika global tersebut, sorotan publik terhadap APBN menjadi kian intensif, berkisar pada: (1) apakah pemerintah mampu menanggung beban utang luar negeri di tengah depresiasi yang mengguncang tidak hanya rupiah, tetapi juga berbagai mata uang lain di dunia; dan (2) mampukah APBN bertahan dari guncangan subsidi yang kian besar akibat tekanan harga minyak dunia dan beban BPJS yang dilaporkan mengalami defisit.

Kita harus jujur, dalam buku teks teori ekonomi mana pun, APBN yang baik bukanlah yang tanpa defisit. Atau, APBN yang baik tidak harus yang tidak defisit. Di tengah situasi perekonomian lesu, hingga terjadi paradoks penghematan, misalnya seperti pada tahun 1998, pemerintah mana pun harus berani melakukan defisit untuk menjaga agar momen produk domestik bruto (PDB) tetap berjalan di tengah konsumsi, investasi, dan akun semasa neraca perdagangan yang menurun. Terjaga, bukan kokoh, adalah kata kunci yang tepat untuk menjadi agenda utama APBN di tengah turbulensi dollar AS dan perang dagang antara AS dan China.

Kini, menilik APBN kita, isu utama yang harus dijaga Kementerian Keuangan adalah kemampuan ekonomi kita untuk tetap bertahan menghela napas. Di tengah pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang belum beranjak dari rata-rata 5 persen per tahun, kondisi surplus neraca perdagangan yang belum stabil, investasi dan pergerakan ekspansi APBN adalah dua variabel utama penggerak pertumbuhan PDB agar setidaknya tidak melemah pada kisaran 5-5,3 persen terlebih dahulu.

Kita masih harus bersyukur bahwa besaran-besaran pos APBN kita masih menunjukkan angka yang membesarkan hati selama tiga kuartal terakhir. Sepanjang 2018, hingga September lalu, capaian Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) melebihi target sehingga berkontribusi pada peningkatan realisasi penerimaan negara, yaitu hampir 70 persen di atas perkiraan APBN 2018. Sementara penerimaan pajak telah lebih dari 60 persen, di atas 50 persen pada paruh pertama semester I-2018, atau tumbuh 17 persen dibandingkan tahun 2017.

Pertumbuhan penerimaan pajak bulanan per September 2018 lalu adalah yang tertinggi dalam empat tahun terakhir, dengan penerimaan dari bea keluar sebagai instrumen pendukung utama, yang menyumbang kenaikan hampir 100 persen. Ini adalah prestasi fiskal pemerintah yang patut kita catat, selain penerimaan amnesti pajak Rp 147 triliun dari total laporan SPH sebesar Rp 4,9 kuadriliun, baik di dalam maupun luar negeri yang telah berakhir pada 31 Maret 2017.

Harus diakui, terjadinya dua musibah besar bencana alam—di Lombok dan Palu-Donggala—secara bertubi-tubi selama empat bulan terakhir merupakan cobaan Tuhan di luar kehendak kita manusia. Alhasil, APBN harus memenuhi tugas moralnya sebagai pelaksana amanat UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia ataupun memajukan kesejahteraan umum, dengan melakukan pengeluaran ekstra berupa dana cadangan untuk tanggap darurat bencana sebesar Rp 4 triliun. Ini bagian dari mitigasi bencana di negeri "Cincin Api" yang dapat terjadi kapan pun di luar perkiraan kita, yang sewaktu-waktu dapat berdampak pada APBN.

Oleh karena itu, di tengah tantangan global melemahnya berbagai mata uang dunia terhadap dollar AS—tak terkecuali rupiah, ancaman suku bunga AS, dan bea masuk produk ekspor yang kian dipersulit—kehadiran bencana merupakan faktor internal pendorong defisit yang dapat kita pahami. Hal ini mengingat besarnya biaya tanggap darurat ataupun rekonstruksi dan rehabilitasi prasarana fisik di lokasi bencana, yang dalam estimasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dapat mencapai Rp 15 triliun apabila hingga mencakup kajian pemetaan pra-bencana hingga mitigasi.

Tentu angka sebesar itu cukup untuk membuat pemerintah harus berhitung ulang dan memutar kembali (fine-tuning) pos-pos pengeluaran di APBN. Dengan demikian, pemotongan subsidi BBM jenis nonsubsidi di kemudian hari menjadi pilihan yang dapat kita pahami, selain ongkos keekonomian asumsi produksi dan lifting hingga 815 barel/hari yang selama ini sangat jauh di atas realisasi harga jual di pasar, lantaran kita yang tergolong mampu pun masih dibantu oleh pemerintah.

Soal utang luar negeri

Sementara di sisi lain, posisi utang luar negeri (LN) pemerintah, per September 2018, masih tergolong aman, yaitu di bawah 60 persen PDB sesuai amanat UU No 17/2003. Selama 2012 hingga 2017, misalnya, posisi peningkatan proporsi utang LN pemerintah dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi asing/valas hanya 18,9 persen dari total pinjaman, dengan peningkatan 0,2 persen, dibandingkan dengan utang dalam negeri menggunakan rupiah yang meningkat lebih besar, yaitu 2,3 persen. Adapun peningkatan proporsi utang pembiayaan dengan menggunakan utang justru menunjukkan tren menurun, yaitu 25 persen lebih rendah daripada September 2017. Karena itu, embusan isu mengenai ancaman utang luar negeri pemerintah terhadap perekonomian menjadi tidak akurat. Bukan utang luar negeri yang tidak ada, tetapi utang luar negeri telah tertanggulangi dengan baik.

Adapun penyaluran dana BPJS yang dalam praktik penggunaannya terus meningkat di masyarakat, dan yang telah dilakukan pembayaran iurannya bersama Dana Alokasi Umum (DAU) kepada 16 daerah hampir Rp 21 miliar, harus diwaspadai dan direstrukturisasi program iurannya. Hal ini perlu agar di kemudian hari tidak menjadi momok bagi pemerintah.

Maka, kita patut bernapas lega karena cukup dapat dipastikan tidak akan terjadi kontraksi kontribusi APBN terhadap PDB, dengan kemampuan bertahan yang ternyata masih cukup tangguh dari penerimaan pajak, bea masuk, rencana penambahan cukai rokok, dan pemutaran subsidi BBM di tengah guncangan nilai tukar dan mitigasi bencana yang menelan biaya tidak sedikit. Karena itu, tidak mengherankan apabila Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde pun berkata dalam Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, 8-14 Oktober lalu, bahwa perekonomian Indonesia tidak memerlukan bantuan utang luar negeri apa pun di tengah berbagai turbulensi tersebut.

Ke depan, pekerjaan rumah terbesar yang harus segera dikerjakan Indonesia adalah menekan semaksimal mungkin laju pertumbuhan penduduk. Program Keluarga Berencana (KB), yang sudah lama terlupakan, harus segera digalakkan kembali.

Presiden memerlukan kepemimpinan yang kuat untuk melaksanakannya, terlebih secara kultural. Di tengah produktivitas per kepala pekerja yang rendah—dari hasil laporan oleh USAID-SEADI Project pada tahun 2012—memiliki jumlah penduduk yang banyak dengan demikian bukanlah sebuah kenyataan yang bijak, setidaknya untuk saat ini.