Saat bahasa negara-bangsa, dan bahasa Indonesia berusia 90 tahun, hari-hari ini kita menyaksikan tampilnya sejumlah kosakata dalam percakapan politik yang menyita perhatian publik.
Beberapa catatan penting dan menarik didiskusikan soal kosakata yang begitu surplus dalam tanding narasi jagat perpolitikan kita.
Pertama, kosakata tersebut diucapkan bukan oleh orang biasa dan bukan pula dalam kitaran konteks biasa. Ia diucapkan oleh elite atau tokoh dan dalam konteks besar, yaitu ikhtiar demokrasi untuk mencapai satu tujuan mulia yang sama: membawa Indonesia lebih maju.
Kalau saja diucapkan oleh orang biasa, orang kebanyakan dan dalam konteks biasa, kosakata atau frasa itu akan menjadi tuturan yang biasa-biasa saja, seperti lalu lalangnya tuturan lain dalam percakapan sehari-hari.
Karena diucapkan oleh elite yang sedang menjadi "titik pusat" dari perhelatan pemilihan pemimpin nasional, kosakata itu pun mengalami amplifikasi kebergetaran semantik yang begitu luas, melampaui dua "tanah asalnya", yaitu dalam kesepakatan makna oleh penutur dan dalam rimba leksikalnya di kamus.
Saat pertama kali diucapkan, daya getar dan kecepatan sebar kosakata itu seperti gelombang yang terbentuk oleh jatuhnya sebuah batu di tengah telaga dalam teori "lingkaran kebudayaan".
Gelombang pertama yang meriak setelah batu menukik ke dalam telaga terus bergerak meluas membentuk lingkaran yang semakin besar dan menjauh dari tempat batu tersebut jatuh.
Bagai gerak lingkaran gelombang yang terus membesar, kosakata tersebut memenuhi alam pikir dan kesadaran publik. Kosakata itu diperbincangkan, bahkan diperbalahkan.
Resonansi semantik telah melesakkan "beban" makna denotatif kosakata itu masuk ke dalam luasan konotasi karena ketokohan pengucapnya dan konteks besar yang mengitarinya. Sampai pada aras ini, kita lalu menemukan bahwa makna kosakata telah mengalami pembebasan dari "rumah denotasinya" dan dibawa masuk ke dalam ragam tafsir pengguna dan penerimanya.
Kesibukan berdebat dan juga berbalah, mulai dari urusan mencari jejak etimologi kosakata hingga ke upaya menjaga bangunan demokrasi agar tidak jebol karena keliaran tafsir yang berkelebat dalam tanding narasi antarpara penafsir, telah menjadikan kosakata tersebut benar-benar mengalami pelepasan makna denotatifnya.
Lalu, upaya mencari jejak makna di satu sisi dan menjaga muruah demokrasi di lain sisi telah menjadikan kosakata yang diucapkan elite dalam konteks besar ini mengalami penjauhan dari sumber-sumber otentik kosakata tersebut dalam rumah asalnya, makna denotatif, arti apa adanya dalam kamus dan dalam konvensi penutur. Segalanya kemudian menjadi riuh rendah, hiruk-pikuk dalam tanding narasi antarpenafsir, yang sama-sama punya "bahasa kepentingan".
Dari struktur batin
Kedua, persoalan kebergetaran semantik yang ditimbulkan kosakata bukan orang biasa dan bukan dalam konteks biasa mengingatkan kita pada tesis lama Abraham Malinowsky: konteks mendahului teks, atau lebih operasionalnya, konteks mendahului kosakata. Setiap kosakata yang diucapkan oleh siapa pun karena dorongan konteks—tempat segala jejaring makna berkelindan.
Kosakata tidak pernah lahir dari ruang hampa intensi. Lalu, pengucap kosakata dan para penafsirnya sama-sama sibuk mendebatkan kebergetaran semantik dan wacana itu terus terkapitalisasi oleh tafsir-tafsir yang pada tingkat tertentu menimbulkan kerumitan makna baru.
Salah satu upaya menemukan asal-usul terdalam dari kebergetaran semantik kosakata tersebut adalah dengan menemukan intensi pengucapnya. Tahun 1960-an, Avram Noam Chomsky, peneroka teori tata bahasa generatif-transformasional, menawarkan dua paradigma penting dalam memahami bahasa sebagai praktik sosial, yaitu struktur batin (deep structure) dan struktur lahir (surface structure).
Dengan menggunakan logika matematika, Chomsky mengatakan bahwa kalimat atau kosakata yang diucapkan manusia pemilik bahasa adalah suatu proses transformatif dari struktur batin—sediaan sistem dan potensi berbahasa—ke dalam struktur lahir—penggunaan nyata dari berbahasa.
Segala tampilan berbicara, kemampuan menggunakan kosakata, keterampilan mengolah kata—termasuk kecakapan dalam beretorika—sesungguhnya bersumber dari struktur batin itu.
Karena itu, apabila ada perdebatan makna setiap kosakata, upaya untuk menyelesaikan sengkarut makna itu adalah dengan cara menemukan kembali intensi yang terdapat dalam struktur batin pengucapnya. Dalam struktur batin inilah tersimpan kepentingan berbahasa setiap manusia.
Ketika ditransformasikan dari struktur batin ke struktur lahir karena dorongan konteks, kosakata telah mendapatkan beban "kepentingan" yang ingin disampaikan penggunanya. Dan, dalam diskursus politik semua kepentingan itu teradon dalam siasat berbicara untuk membujuk, meyakinkan, menebar kebaikan, menyampaikan kebenaran, hingga saling menegasikan.
Kepentingan bahasa
Dalam sediaan struktur batin, kosakata bersifat netral—karena kedenotatifannya. Akan tetapi, pada saat bertransformasi melalui mekanisme berbicara, kosakata kemudian menerima "beban konotatif" yang sama- sama diciptakan oleh pengguna dan penafsirnya dalam relasi penutur-petutur.
Manusia-manusia pemilik bahasa mula-mula memang telah menciptakan denotasi-denotasi dalam struktur batin bahasanya. Lalu, karena tekanan konteks dan ditambah lagi dengan dorongan kepentingan, manusia-manusia kemudian menciptakan lagi jejaring konotasi.
Dari sinilah derajat keadaban berwacana menawarkan diskursus yang perlu pula dirawat dengan membangun dialog yang saling memuliakan.
Agar kebergetaran semantik dalam jejaring konotasi yang dikitari konteks kepentingan menjadi bagian produktif dari diskursus penguatan demokrasi, maka pemakai bahasa, pengucap kata, harus menunjukkan kemampuannya sebagai pemulia bahasa.
Dalam konteks demokrasi, para pemulia bahasa—penutur dan petutur—yang hebat adalah manusia yang berhasil menjaga dan merawat kontinum denotasi-konotasi setiap kata untuk membangun keluhungan demokrasi.
Dalam konteks Sumpah Pemuda yang telah memasuki usia 90 tahun ini, salah satu cara memuliakan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara-bangsa adalah "menjaga kata kita tetap pada tingkat yang luhung". Sebab, kata-kata yang diproduksi untuk saling memuliakan akan memastikan kita tetap menjaga muruah berbangsa satu dan bertanah air satu: Indonesia!
Gufran A Ibrahim Bekerja di Badan Bahasa Kemendikbud; Guru Besar Antropolinguistik Universitas Khairun, Ternate
Kompas, 5 November 2018
#opinikompas, #artikelkompas,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar