Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menangkap tangan kepala daerah yang nekat melakukan korupsi. Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra adalah kepala daerah yang baru saja ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar pada 24 Oktober 2018, KPK juga menyita uang tunai Rp 385 juta dan bukti transfer Rp 6,4 miliar yang diduga merupakan suap berkaitan dengan jual beli sekitar 400 jabatan di pemerintahan Kabupaten Cirebon.
Penangkapan Sunjaya tidak saja menambah panjang deretan kepala daerah yang terjerat KPK, tetapi juga mengungkap kembali praktik jual beli jabatan di pemerintahan daerah. Sebelum Sunjaya, KPK telah menangkap tiga kepala daerah lain yang terlibat dalam kasus jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah.
Salah satunya adalah Bupati Klaten Sri Hartini yang ditangkap KPK karena menerima suap Rp 12,8 miliar dalam mutasi dan promosi pejabat di pemerintahan Kabupaten Klaten. Sri Hartini yang pernah menandatangani pakta integritas pada akhirnya dinyatakan bersalah dan divonis 11 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Semarang.
Bupati Nganjuk Taufiqurrahman juga tertangkap menerima suap Rp 298 juta terkait pengisian sejumlah posisi, seperti kepala sekolah SD, SMP, dan SMA di Kabupaten Nganjuk pada 2017.
Taufiqurrahman kemudian dinyatakan bersalah dan divonis oleh hakim selama tujuh tahun penjara. Awal 2018, Bupati Jombang Nyono Suharli terjaring OTT KPK karena menerima suap Rp 275 juta terkait perizinan pengurusan jabatan di Pemerintah Kabupaten Jombang. Pada September 2018, Pengadilan Tipikor Surabaya menjatuhkan vonis 3,5 tahun penjara dan pencabutan hak politik kepada Nyono Suharli.
Praktik jual beli jabatan ditengarai tidak saja terjadi di empat daerah yang telah terbongkar oleh KPK. Sesuai data, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada 2017 menerima 278 pengaduan dari 11 daerah yang terindikasi kuat melakukan jual beli jabatan. Dalam setahun, KASN memperkirakan ada potensi jual beli jabatan pada 29.113 jabatan di instansi pemerintah.
Menurut KASN, bentuk jual beli jabatan tidak selalu dalam bentuk uang, tetapi bisa dalam bentuk lain, misalnya janji ketika menjabat sehingga pejabat tersebut akan membuat kebijakan yang menguntungkan kepala
daerah.
Modus suap
Jual beli jabatan adalah salah satu modus korupsi yang lazim dilakukan oleh oknum kepala daerah. Modus lain adalah suap dalam bidang perizinan, menerima komisi (fee) dari proyek pengadaan barang dan jasa, serta suap dalam penerbitan peraturan. Selain untuk memperkaya diri, faktor pendorong korupsi kepala daerah adalah karena tidak berjalannya fungsi pengawasan internal pemerintahan daerah dan untuk membiayai ongkos politik dari kepala daerah saat proses pilkada ataupun mengamankan posisi selama menjabat.
Bentuk korupsi dalam jual beli jabatan adalah suap atau pemerasan. Suap bisa terjadi atas inisiatif dari calon pejabat atau karena kepala daerah yang berupaya memeras bawahan untuk kepentingan mempertahankan posisi atau promosi. Nilai suap bisa mencapai puluhan juta hingga miliaran rupiah tergantung posisi dan nilai strategis jabatan yang dikehendaki.
Bahkan, dalam posisi yang strategis praktik jual beli jabatan tak ubahnya seperti "balai lelang". Siapa yang mampu membayar tinggi akan berpeluang
menempati posisi tersebut. Semakin besar anggaran yang dikelola oleh pemegang jabatan, semakin tinggi nilai jual posisi tersebut.
Lingkaran setan
Maraknya fenomena jual beli jabatan tidak saja memprihatinkan, tetapi juga berdampak buruk bagi tata kelola pemerintahan. Birokrasi cenderung korup dan tidak akan berjalan secara optimal karena dijalankan oleh orang yang bukan ahlinya. Tugas melayani rakyat akhirnya terbengkalai karena birokrasi digunakan untuk melayani atasan atau kepala daerah.
Ibarat lingkaran setan, ketika seseorang memperoleh atau mempertahankan jabatan dengan cara menyuap kepala daerah, untuk mengembalikan uang suap tersebut sang pejabat akhirnya memanfaatkan kedudukan untuk melakukan korupsi. Dengan kondisi demikian, sulit berharap pejabat daerah akan memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat atau mendorong pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Praktik kotor jual beli jabatan pada dasarnya tidak perlu terjadi jika saja pemerintah daerah menerapkan aturan tentang pengisian suatu jabatan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Berdasarkan aturan, pengisian jabatan seharusnya dilakukan melalui lelang terbuka untuk mendapatkan pejabat yang kredibel dan kompeten di bidangnya.
Agar korupsi jual beli jabatan tidak terjadi lagi di masa mendatang, KASN sebagai lembaga pengawas seleksi pejabat perlu dilibatkan dalam proses lelang atau penempatan jabatan di lingkungan pemerintah daerah. Mekanisme seleksi harus dilakukan secara terbuka dan kompetitif dengan menggunakan pihak ketiga yang kompeten atau panitia yang independen.
Sistem ini dipercaya mampu mencegah proses rekrutmen atau mutasi pejabat yang didasari pada jual beli jabatan dan konflik kepentingan, seperti atas dasar agama, suku, ataupun kepentingan politik.
Regulasi yang berkaitan dengan seleksi pejabat pemerintah sebaiknya ditinjau ulang dan jika perlu diperbaiki untuk menutup peluang terjadinya jual beli jabatan. Kerja sama KASN dengan KPK dan Kementerian Dalam Negeri perlu ditingkatkan, khususnya ketika melakukan pengawasan kinerja kepala daerah dalam pengangkatan dan penempatan pejabat daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar