Teguran ini sudah tepat mengingat defisit terjadi setiap tahun. Teguran ini seyogianya menjadi proses awal keseriusan pemerintah untuk lebih membenahi program JKN ke depan. Tentunya tidak hanya masalah defisit, tetapi juga masalah pelayanan BPJS Kesehatan yang sering dikeluhkan rakyat harus menjadi topik penting untuk dibenahi.

Tak hanya program JKN, pelaksanaan empat program jaminan sosial (jamsos) ketenagakerjaan yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan juga harus mendapat perhatian Presiden. Persoalan regulasi, seperti program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) yang tak dilaksanakan secara bergotong royong, pekerja sektor mikro yang tak wajib menjadi peserta Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP), serta masih rendahnya kepesertaan di BPJS Ketenagakerjaan merupakan masalah yang juga terus terjadi dalam empat tahun pemerintahan Jokowi.

Meski pelaksanaan lima program jamsos masih punya persoalan, harus diakui jamsos sudah memberikan manfaat nyata bagi rakyat. Selama empat tahun pelaksanaan jamsos di bawah pemerintahan Jokowi, segala masalah itu terus dicarikan solusinya, tetapi kebijakan yang diambil masih setengah hati.

Evaluasi program JKN

Defisit pembiayaan JKN menunjukkan angka yang meningkat. Per 30 September 2018, tercatat defisit Rp 11,39 triliun meski pemerintah telah memberikan dana talangan Rp 4,99 triliun. Realisasi penerimaan pendapatan Rp 65,98 triliun dengan jumlah beban Rp 77,38 triliun.

Akibat defisit, terjadi penurunan manfaat bagi peserta, seperti lahirnya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/659/2017 yang tak lagi menjamin obat Trastuzumab per 1 April 2018, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan (Perdirlan) BPJS Nomor 2 Tahun 2018 tentang operasi katarak, Perdirlan Nomor 3 Tahun 2018 tentang bayi baru lahir sehat, dan Perdirlan No 5 Tahun 2018 tentang rehab medik.

Untunglah semua regulasi ini sudah dicabut. Obat Trastuzumab dijamin kembali setelah ada perdamaian di pengadilan dan ketiga perdirlan dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung.

Defisit menyebabkan arus kas rumah sakit (RS) terganggu karena pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan terlambat. Per 30 September 2018, tercatat utang jaminan kesehatan Rp 6,13 triliun. Akibatnya, RS terkendala membayar kewajibannya ke pemasok obat, alat-alat kesehatan, membayar jasa dokter, dan sebagainya.

Terjadinya defisit disebabkan banyak hal, seperti iuran JKN yang belum disesuaikan, masih tingginya tunggakan iuran, perekrutan peserta yang belum maksimal, terutama pekerja penerima upah (PPU) swasta, masih adanya fraud di RS, meningkatnya rata-rata rujukan dari FKTP ke RS, kurangnya pengawasan dan penegakan hukum, serta kurangnya sinergitas program JKN dengan program jamsos lainnya, khususnya kecelakaan kerja.

Sebenarnya pemerintah telah mengantisipasi terjadinya defisit pada tahun 2018 dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2017 tentang optimalisasi JKN. Namun, menurut saya, inpres ini belum maksimal dilaksanakan oleh delapan menteri, direksi BPJS Kesehatan, serta para gubernur/wali kota/bupati sehingga defisit tetap terjadi dan nilainya semakin besar.

Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani pada 17 September 2018 sebagai pengganti Perpres Nomor 19 Tahun 2016 juga difokuskan untuk mengatasi defisit, tetapi memosisikan iuran tidak disesuaikan untuk semua segmen kepesertaan. Kalaupun ada potensi peningkatan pendapatan di Pasal 43, yaitu pembayaran tunggakan iuran maksimal 24 bulan, dan Pasal 100, yaitu kontribusi pajak rokok, perpres ini belum bisa menjamin masalah defisit teratasi, baik di tahun ini maupun tahun depan.

Jamsos ketenagakerjaan

Hingga saat ini, penyusunan peta jalan transformasi pengalihan program PT Asabri dan PT Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan, sesuai amanat Pasal 65 UU BPJS, belum juga dilaksanakan. Padahal, penjelasan Pasal 65 mengamanatkan penyusunan road map paling lambat tahun 2014. Pelaksanaan jamsos ketenagakerjaan terancam tidak memenuhi sembilan prinsip jamsos.

Penyelenggaraan JKK-JKm bagi aparatur sipil negara dan nelayan tidak dilaksanakan sesuai dengan sembilan prinsip jamsos. Akibatnya, tak terjadi gotong royong bagi seluruh pekerja dan terjadi perbedaan manfaat di kalangan pekerja. Penyelenggaraan JKK-JKm ASN oleh PT Taspen menimbulkan inefisiensi APBN/APBD. Dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2017, iuran JKm bagi ASN menjadi 0,72 persen, naik 0,42 persen dari ketentuan sebelumnya di PP Nomor 70 Tahun 2015, yaitu 0,3 persen. Artinya, iuran JKm bertambah Rp 963,02 miliar per tahun. Jika JKK-JKm ASN diserahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan, maka iuran JKm ASN hanya 0,3 persen, tidak perlu naik menjadi 0,72 persen.

Masih belum maksimalnya kepesertaan PPU swasta di BPJS Ketenagakerjaan disebabkan masalah penegakan hukum dan regulasi. Per 31 Agustus 2018, jumlah peserta PPU di JKK-JKm 16,96 juta pekerja, di JHT 14,98 juta, dan JP 11,42 juta. Tentu ini masih jauh dari total PPU sebanyak 48,04 juta pekerja (BPS, Agustus 2017). Perpres Nomor 109 Tahun 2013 yang tak mewajibkan PPU di sektor mikro dan kecil mengikuti JP adalah salah satu bentuk persoalan di regulasi.

Hingga saat ini, pemerintah belum tuntas merevisi PP No 44 Tahun 2015 tentang JKK-JKm dan PP No 45 Tahun 2015 tentang JP. Dengan revisi PP No 44, diharapkan manfaat JKK-JKm bisa ditingkatkan, seperti pemberian beasiswa ke anak peserta tanpa harus pekerja meninggal. Demikian juga PP No 45 diharapkan segera direvisi, khususnya Pasal 15, agar pekerja yang memasuki masa pensiun langsung dapat manfaat pensiun.

Sebagai usulan

Inpres No 8 Tahun 2017 dan Perpres No 82 Tahun 2018 merupakan potret kebijakan setengah hati pemerintah dalam membenahi JKN, khususnya masalah defisit. Sudah saatnya iuran disesuaikan secara bertahap. Kenaikan iuran PBI dan Jamkesda menjadi Rp 27.000 berpotensi menambah pendapatan iuran Rp 5,7 triliun. Kenaikan iuran peserta mandiri kelas III Rp 1.500 bisa menambah iuran Rp 340,63 miliar, kenaikan iuran kelas II Rp 4.000 akan menambah Rp 310,8 miliar.

Menaikkan batas atas upah peserta PPU swasta/BUMN dari Rp 8 juta menjadi Rp 12 juta akan menambah iuran Rp 2,3 triliun. Demikian juga merekrut 1 juta PPU swasta baru berpotensi menambah iuran Rp 2,1 triliun. Tentunya upaya meningkatkan iuran ini harus juga didukung oleh pengawasan guna mengendalikan biaya manfaat kesehatan, khususnya INA CBGs.

Sudah saatnya pemerintah mengembalikan roh gotong royong dalam pelaksanaan program JKK-JKm dengan menyerahkan program ini untuk seluruh pekerja ke BPJS Ketenagakerjaan. Pekerja informal miskin, seperti buruh tani, nelayan, dan buruh informal miskin juga harus diikutkan dalam program JKK-JKm dengan skema PBI.

Inefisiensi APBN/APBD sebesar Rp 963,02 miliar dapat dialihkan menjadi iuran JKK-JKm untuk 5 juta pekerja informal miskin ini. Belajar dari kebijakan setengah hati di empat tahun lalu, semoga kebijakan jamsos pemerintahan Presiden Jokowi di tahun kelima nanti lebih disempurnakan sehingga jamsos benar-benar dirasakan sebagai hak konstitusional rakyat Indonesia.