KOMPAS/ALIF ICHWAN

Amien Rais ke KPK – Mantan Ketua MPR Amien Rais datang ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (29/10/18). Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN), datang bersama dengan rombongan dalam rangka ingin bertemu dengan pimpinan KPK. Kedatangan Amien untuk membahas mengenai sejumlah masalah dan status Wakil Ketua DPR yang juga politisi PAN, Taufik Kurniawan.

Akhir-akhir ini panggilan pihak kepolisian kepada sejumlah elite sering langsung ditolak kendati pemanggilan itu dilakukan belum jelas benar apa substansinya.

Sebagai contoh, pemanggilan kepada Amien Rais dan kawan-kawan. Tampaknya para elite ini skeptis atau tidak acuh kepada pihak kepolisian karena mereka menganggap panggilan itu sarat dengan nuansa politis.

Benarkah demikian? Skeptis atau underestimate semacam ini paling tidak bisa didekati dari dua sudut pandang. Pertama, bisa jadi apa yang menjadi alasan para elite ini benar.

Namun, kedua, bisa jadi anggapan itu terlalu berlebihan, artinya, sejatinya pihak kepolisian memanggil mereka semata-mata karena tugas yang diberikan undang-undang. Tak ada unsur lain. Ataukah, bisa jadi, cara pendekatan hukum kita memang jauh dari substansinya.

Kenyataannya

Pada akhirnya panggilan pihak kepolisian dihadiri Amien Rais dan kawan-kawan kendati dengan pengawalan yang agak berlebihan. Dalam proses klarifikasi oleh pihak kepolisian, ternyata pihak Amien Rais diperlakukan sangat manusiawi, akrab, dan jauh dari persepsi bahwa kepolisian telah "diperalat" penguasa dan lain-lain.

Acara klarifikasi pun benar-benar semata mencari kebenaran pihak pelapor terkait persangkaan yang ditujukan kepadanya, selain itu tidak ada.

Dari kasus semacam ini, sejatinya "dunia hukum" kita memang sedang mengalami degradasi kepercayaan atau kalau kita merujuk kepada pemikiran Jean Baudrillad (1981) itulah gambaran dari matinya realitas dan kita tengah menuju ke arah pos realitas sebagai dunia baru.

Dunia realitas baru tak lain adalah metamorfosis yang dialami manusia, dari apa yang disebut sebagai kondisi realitas, ke arah apa yang disebut post-realitas (post-reality). Kondisi post- realitas adalah sebuah kondisi yang di dalamnya prinsip-prinsip realitas itu sendiri telah dilampaui, dalam pengertian diambil alih oleh substitusi-substitusinya, yang diciptakan secara artifisial lewat bantuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni mutakhir, yang telah menghancurkan asumsi-asumsi konvensional tentang apa yang disebut yang nyata (the real).

Penulis ingin menyinggung terkait putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Pasal 4 Ayat 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 termasuk di antara "model" putusan yang merampas realitas.

Padahal, jika saja pendekatan itu tidak semata mengutamakan kenormatifan hukum, tentu putusan itu akan jauh lebih berwibawa dan substantif; jauh lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Memang putusan MA itu tidak salah, tetapi putusan itu menjauhkan dari putusan hukum progresif seperti yang dulu pernah dirintis oleh Profesor Satjipto Rahardjo.

Seperti kita tahu bahwa gagasan hukum progresif lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang dipraktikkan pada realitas empirik tidak memuaskan. Gagasan hukum progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia sekarang yang sangat bertolak belakang dengan cita-cita hukum progresif.

Progresivisme bertolak bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang, cinta, dan memiliki kepedulian terhadap sesama.

Dengan demikian, asumsi dasar hukum progresif dimulai dari hakikat dasar manusia. Hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif, tetapi manusia dalam rangka mencapai kesejahteraannya dan kebahagiaan manusia.

Posisi demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu pada status "law in making" (hukum yang selalu berproses untuk menjadi). Gagasan ini jelas bertolak belakang dengan model legal formal akan halnya putusan MA di atas.

Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat. Dalam posisi yang demikian ini, hukum progresif dapat dikaitkan dengan developmental model hukum Nonet dan Selznick, yaitu hukum memiliki tipe responsif. Dalam karakter ini, hukum selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan di luar hukum itu sendiri.

Hukum progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan hukum dari sudut "logika dan peraturan" ala MA di atas. Hukum progresif tidak hanya berhenti pada kritik atas sistem hukum liberal.

Hukum progresif mengetengahkan paham bahwa  hukum itu tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum perundang-undangan, tetapi ia juga digerakkan pada arah nonformal. Oleh karena itulah, hukum progresif berasumsi bahwa hukum itu ada dan hadir untuk manusia.

Lembaga hukum kredibel

Sayangnya, gagasan hukum progresif belum mempunyai wadah untuk merealisasikannya, atau minimal ada "aktor" hakim atau penegak hukum yang berani dan dapat menyandang keprogresifan hukum ini.

Jadi, diperlukan sebuah organisasi kredibel yang bisa menerapkan dan mengonkretkan hukum tersebut ke dalam masyarakat seperti kepolisian dan pengadilan. Mengapa demikian, karena esensinya hukum tidak dapat dijalankan tanpa adanya sebuah organisasi/kelembagaan yang berfungsi mewujudkannya.

Seperti dipahami penegakan hukum mengandung supremasi nilai, yaitu keadilan. Namun, di alam hukum modern khususnya di Indonesia, terkesan hukum bukan lagi tempat untuk mencari keadilan, tetapi pengadilan kemudian bergeser dan berkutat pada aturan main dan prosedur.

Dengan kalimat lain, pengadilan hanya sebagai lembaga penerapan peraturan undang-undang dan prosedur saja. Pada hukum demikian ini, sejatinya hukum telah kehilangan rohnya sebagai house of justice.

Indonesia adalah negara tempat laboratorium hukum. Di sini kita banyak belajar dan mengembangkan berbagai pandangan hukum. Namun, penulis berharap salah satu pandangan yang senantiasa harus kita sokong terus guna mencapai keadilan (house of justice); pengadilan (jaksa, hakim) hendaknya berpegangan juga pada model hukum progresif, yaitu melampaui sekadar terjemahan teks atau corong undang-undang.

Pengadilan seharusnya menjadi tempat rumah untuk mencari keadilan. Formalisme dan prosedur hukum semata jelas mudah mengabaikan rasa keadilan.