KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berdialog bersama agamawan dan budayawan, Jumat (2/11/2018) dalam acara Sarasehan Agamawan dan Budayawan dengan tema "Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya di Indonesia" yang digelar Kementerian Agama di Bantul, Yogyakarta. Sarasehan ini dipandu oleh budayawan Radhar Panca Dahana dan menghadirkan puluhan tokoh agama dan budaya dari berbagai daerah di Indonesia.

 

Masyarakat memiliki daulat seka- ligus tanggung jawab mengatasi persoalan dan tantangan bangsa, termasuk yang belakangan terjadi, yaitu disrupsi atas tafsir agama.

Sarasehan bertema "Relasi Agama dan Budaya di Indonesia", pekan lalu, di Yogyakarta, yang diselenggarakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan mengundang sejumlah agamawan dan budayawan sampai pada kesimpulan, perlu menciptakan perubahan nyata di semua dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perubahan mendesak dilaksanakan mengingat disrupsi berpotensi mengganggu, bahkan merusak, keyakinan masyarakat dan hubungan ideal antara keyakinan dan kenyataan sosial serta budaya di mana anggota masyarakat berada.

Sejarah masyarakat di Nusantara memperlihatkan kedekatan agama dan budaya setempat, seperti satu mata uang dengan dua sisi yang tak terpisahkan.

Para pendiri bangsa dengan penuh keyakinan mendirikan negara berdasar keberagaman masyarakat dan budayanya, tecermin di dalam Pancasila. Semua dengan satu tujuan, yaitu mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Daulat masyarakat untuk mengatasi persoalan disrupsi tafsir agama tentu perlu disertai pula dengan tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan dan tantangan yang dihadapi dengan mengedepankan nilai-nilai luhur bangsa. Itulah sebabnya, sarasehan mengajak para agamawan dan budayawan harus memahami dan mampu mengatasi disrupsi yang terjadi pada dirinya sendiri.

Segenap anggota masyarakat juga perlu bersama-sama mengatasi tantangan disrupsi dengan mengedepankan nilai luhur bangsa yang telah dipraktikkan para pendahulu, seperti kejujuran, kesabaran, ungkapan syukur, kesetaraan, pengakuan pada kebinekaan, gotong royong, disiplin, bertanggung jawab, mandiri, santun, saling mengasihi, dan penuh keterbukaan.

Kita sepakat apabila meminta keluarga, utamanya, ikut berperan mengajarkan nilai kebajikan sosial dan spiritual itu mulai dari rumah sebagai unit terkecil negara. Adapun negara diminta menciptakan narasi bersama tentang siapa, dari mana, dan akan ke mana bangsa Indonesia menuju.

Ketika disrupsi akibat globalisasi juga menyentuh tatanan kehidupan masyarakat yang sejak awal sudah beraneka ragam, pertanyaan besar bagi kita bersama adalah bagaimana menguatkan kohesi sebagai bangsa yang belakangan mendapat tantangan dari dalam dan juga dari luar batas-batas negara.

Menguatkan kohesi bangsa membutuhkan rasa bahwa kita satu bangsa dengan satu tujuan bersama. Untuk menentukan siapa kita dan ke mana menuju, kita sudah memiliki landasan yang telah kita sepakati, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Karena itu, tidak berlebihan apabila mufakat budaya di Yogyakarta meminta pemerintah berperan membangun narasi yang menjadi pijakan bersama.