KOMPAS/PRIYOMBODO

Kondisi kawasan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (11/10/2018), yang luluh lantak karena fenomena likuefaksi akibat gempabumi bermagnitudo 7,4. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) jumlah korban jiwa per 11/10/2018 pukul 13.00 WIB sebanyak 2.073 orang. Evakuasi korban akan berakhir pada hari Jumat (12/10/2018), sedangkan masa tanggap darurat diperpanjang hingga 26 Oktober 2018.
galeri Kompas.id

Tidak terasa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah memasuki tahun keempat dan tinggal setahun lagi menjalankan mandat.  Sudah banyak pencapaian target yang membanggakan, tetapi belum sepenuhnya dapat diterima sebagian kalangan yang masih menganggap capaian selama empat tahun belum sepenuhnya memenuhi harapan publik.

Dengan memperhatikan semakin tingginya kejadian dan dampak bencana beberapa tahun terakhir, yang menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan kecenderungan yang kian meningkat, tak hanya dari frekuensi, jenis ancaman dan risiko, serta jumlah kerugian yang diakibatkan, perlu dikaji ulang kembali perjalanan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang hampir menyelesaikan tiga periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), mulai dari RPJMN 2005-2009, dilanjutkan RPJMN 2010-2014, dan yang terakhir di RPJMN 2015-2019.

Agenda pembangunan terkait kebencanaan

Arah kebijakan penanggulangan bencana mengalami perkembangan, mulai dari RPJMN 2005-2009 yang menitikberatkan pada membangun komitmen bangsa dalam penanggulangan bencana, yang ditunjukkan dengan penetapan UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana serta pembentukan BNPB pada 2008.

Dilanjutkan dengan RPJMN 2010-2014, yang meletakkan dasar sistem penanggulangan bencana, yang mencakup kebijakan, kelembagaan, perencanaan, pendanaan dalam penanggulangan bencana, serta peningkatan kapasitas, di mana upaya penanggulangan bencana telah dimasukkan menjadi salah satu prioritas nasional, bersama-sama dengan lingkungan hidup dan pengelolaan bencana.

Sementara pada RPJMN tahap ke-3 tahun 2015–2019 yang merupakan penjabaran dari Nawacita, sebenarnya ditargetkan untuk dititikberatkan pada peningkatan efektivitas penanggulangan bencana. Namun, karena tidak secara eksplisit muncul dalam Nawacita, penanggulangan bencana tak menjadi prioritas pembangunan nasional dalam RPJMN 2015-2019.

Padahal, sesuai Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (RNPB) 2015-2019 yang disusun BNPB, terdapat empat arah kebijakan nasional penanggulangan bencana yang akan diwujudkan selama 2015-2019: (1) terselenggaranya upaya pengurangan risiko bencana (PRB) secara terpadu, (2) terlaksananya sistem penanganan kedaruratan bencana yang efektif, (3) terlaksananya efisiensi dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi, dan (4) terlaksananya mekanisme dan sistem akuntabilitas dan transparansi serta tata kelola penanggulangan bencana di tingkat pusat dan daerah.

Dalam upaya menjalankan keempat arah kebijakan penanggulangan bencana 2015-2019, ditetapkan strategi yang difokuskan pada tujuh prioritas: (1) penguatan kerangka regulasi penanggulangan bencana, (2) pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam pembangunan, (3) peningkatan kemitraan multipihak dalam penanggulangan bencana, (4) peningkatan efektivitas pencegahan dan mitigasi bencana, (5) peningkatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana, (6) peningkatan kapasitas pemulihan bencana, dan (7) perbaikan tata kelola bidang penanggulangan bencana.

Keterkaitan Nawacita dan penanggulangan bencana

Mengkaji arah kebijakan dan strategi penanggulangan bencana pada periode 2015-2019, perlu dipertimbangkan sejauh mana Nawacita telah memberikan perhatian terhadap penanggulangan bencana.

Dari kesembilan cita, setidaknya ada empat cita yang dapat dikaitkan dengan penanggulangan bencana: (1) cita pertama, untuk menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, termasuk dalam menghadapi ancaman bencana; (2) cita ketiga, untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan melalui pengembangan program Desa Tangguh Bencana dan penguatan kapasitas pemerintah daerah dan desa serta masyarakat desa dalam penanggulangan bencana; (3) cita kelima, untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan, melalui upaya pengurangan kerentanan dan peningkatan kapasitas aparatur pemerintah daerah dan desa, serta masyarakat di tingkat desa.

Kemudian (4) cita kedelapan, untuk melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional untuk mengembangkan budaya aman bencana, melalui penerapan kurikulum kebencanaan, sekolah/madrasah aman bencana, pengembangan iptek dalam kebencanaan.

Hasil survei Indo Barometer yang dirilis April 2018 terkait hasil capaian Nawacita yang merupakan program dan agenda prioritas pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla selama kepemimpinan paruh waktu periode 2014-2019 sebenarnya telah menunjukkan capaian yang cukup memuaskan di beberapa cita, terutama di beberapa cita yang terkait kebencanaan, seperti cita ketiga yang menunjukkan kepuasan publik tertinggi sebesar 60,4 persen, juga cita pertama yang memuaskan 53,8 persen, dan cita kelima yang dianggap memuaskan publik 53,4 persen.

Sementara capaian dari cita lain menurut hasil survei Indo Barometer tersebut memang masih  berada di tingkat kepuasan di bawah 50 persen, dengan rentang antara 34,2 persen kepuasan capaian cita kedua dan 46,8 persen kepuasan capaian cita keempat.

Namun, dengan tidak diprioritaskannya penanggulangan bencana secara tersurat dalam Nawacita 2014-2019, tampak bahwa kinerja penanggulangan bencana masih belum optimal, yang ditunjukkan dengan penanganan kedua kejadian bencana yang cukup besar, yaitu gempa di NTB pada awal Agustus 2018, gempa dan tsunami serta likuefaksi di Sulawesi Tengah pada akhir September 2018, yang berdasarkan Rapat Kabinet Terbatas pada 16 Oktober 2018 diarahkan untuk dapat memperbaiki standard operating procedure dalam penanggulangan kebencanaan.

Penanggulangan bencana, prioritas pembangunan

Dengan mempertimbangkan wilayah Indonesia yang berada di kawasan rawan bencana, untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan ke depan pemerintah harus memperhatikan pentingnya penanggulangan bencana, yang perlu dimulai dengan menempatkannya di dalam salah satu prioritas pembangunan nasional, termasuk juga di daerah.

Beberapa pengalaman bencana besar yang terjadi pada lebih dari satu dasawarsa terakhir sebenarnya telah menunjukkan bahwa daerah-daerah yang mengalami bencana besar telah menempatkan penanggulangan bencana sebagai salah satu prioritas pembangunannya, seperti pemerintah daerah di Aceh, Yogyakarta, dan Sumatera Barat yang telah memuat visi dan misi yang terkait kebencanaan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) masing-masing.

Sehubungan dengan itu, sejalan dengan penyiapan RPJMN 2020-2024 yang merupakan periode RPJMN terakhir dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang salah satu misinya adalah mewujudkan Indonesia yang lestari dan berkelanjutan, sangat diperlukan komitmen pemerintah pada periode 2020-2024 untuk menetapkan penanggulangan bencana sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional.

Selanjutnya, ini perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah agar juga menempatkan kebencanaan sebagai prioritas pembangunan daerah, sejalan dengan UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah menetapkan kebencanaan sebagai urusan wajib daerah.

Dengan demikian, kebencanaan tidak lagi menjadi "takdir" yang harus dihadapi setelah terjadi, tetapi lebih perlu diantisipasi melalui upaya pencegahan atau preventif melalui investasi pengurangan risiko bencana secara konsisten, sekaligus meningkatkan kesiapsiagaan hingga di tingkat masyarakat untuk mewujudkan pembangunan yang lebih baik, lebih aman, dan lebih berkelanjutan.