Setelah mencuat di hadapan publik, Polres Malang akhirnya melakukan mediasi antara pihak Perhutani dan Buamin terkait dengan kasus pencurian hasil hutan, Jumat (2/11/2018).
Sebelumnya, Buamin (53), petani di Dusun Judeg, Desa Sumberejo, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang, Jawa Timur, ditangkap petugas patroli gabungan ketika sedang membawa kayu dengan motornya. Dia diduga mencuri kayu dari jenis sonokeling untuk dijual. Barang bukti berupa tiga batang kayu yang sudah lapuk dan sepeda motor. Menurut pengakuan keluarga Buamin, kayu itu dijadikan kayu bakar. Sementara itu, Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Sengguruh menilai kayu itu tetap bisa dijual sehingga Buamin perlu dibawa ke pengadilan agar mendapatkan efek jera.
Kasus tersebut merupakan permodelan dalam praktik hukum dan pemerintahan di republik ini. Buamin adalah warga yang beruntung karena kasusnya "diselesaikan" melalui mediasi. Bagaimana dengan kasus-kasus lain yang menimpa warga negara "kelas bawah"? Sejauh ini bagaimana pemerintah mengatasi ketimpangan dalam praktik hukum dan pemerintahan?
Hal itu mengingatkan kasus-kasus lain yang telah mencuat sebagai memori kolektif. Di Situbondo, Jatim, Nenek Asyani (63) divonis satu tahun tiga bulan dan denda Rp 500 juta subsider satu hari hukuman percobaan. Kasusnya adalah pencurian dua batang kayu jati yang digunakan untuk tidur (23/4/2015). Di Gunung Kidul, gara-gara memindahkan dan menggergaji kayu di ladang miliknya, Mbah Harso Taruno (65) didakwa melakukan pencurian kayu milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (26/9/2014). Di Banyumas, Nenek Minah (55) diganjar hukuman satu bulan 15 hari dengan masa percobaan tiga bulan karena dituduh mencuri tiga kakao di lahan perkebunan PT Rumpun Sari Antan (19/11/2009).
Orang kuat vs lemah
Selama kurun waktu itu pula, kasus-kasus di atas menimpa warga yang tidak memiliki akses kekuasaan. Secara formal, sistem perundang-undangan kita tidak mengenal "orang lemah" yang berhadapan "orang kuat". Secara teoretis, praktik dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini jelaslah didasari oleh pemahaman tentang persamaan hak setiap warga negara di depan hukum, tetapi tidak untuk persamaan kekuasaan. Bila mengacu pada prinsip dasar dalam UUD 1945, praktik kebangsaan dalam melestarikan Indonesia secara eksplisit dinyatakan "Indonesia merupakan negara hukum dan bukan negara kekuasaan". Itu berarti "kekuasaan pemerintahan haruslah dibatasi oleh koridor hukum".
Pada kenyataannya, kekuasaan yang dibatasi hukum tidak selalu memberikan perlindungan yang adil bagi warga negaranya. Jika keadilan adalah sebuah gagasan tentang kesamaan harkat dan martabat manusia, hukum adalah struktur linguistik yang mengatur perilaku manusia. Hukum menghubungkan antara klausul ayat dan perilaku, sedangkan keadilan menghubungkan antara gagasan tentang nilai dan perilaku kemanusiaan. Dalam hal ini, ayat-ayat hukum dianggap mewakili keadilan sejauh di dalamnya mengandung prinsip-prinsip yang berasal dari persamaan kodrat manusia. Penerjemahan ayat-ayat ke dalam mekanisme dan praktik bernegara mau tidak mau harus melibatkan institusi dan aparat yang diberikan kewenangan untuk menjalankan amanat hukum tersebut.
Utopia persamaan hukum
Kita baru tahu dari Rawls tentang perilaku adil yang terdiri atas dua prinsip. Pertama, persamaan semua warga dalam memperoleh keadilan. Kedua, jika tak ada persamaan, perbedaan perilaku adil mesti memberikan keuntungan, bahkan bagi orang yang tidak beruntung.
Dalam banyak hal, persamaan di dalam hukum dan pemerintahan sering kali hanyalah utopia dalam masyarakat. Kita berusaha disamakan melalui catatan sipil dan identitas kewarganegaraan. Di luar itu, perbedaan mayoritas-minoritas, elite-massa, sipil-militer, kaya-miskin, kelas atas dan kelas bawah adalah diskursus sosial yang harus dihadapi secara nyata. Contoh, Anda dan saya bisa saja sama-sama memiliki hak untuk melapor ke kepolisian untuk sebuah persoalan yang kita hadapi, tetapi persamaan itu tidak serta-merta berakibat pada persamaan akses kita terhadap sumber daya hukum dan pemerintahan. Suka atau tidak, perbedaan kelas sosial dan golongan akan berpengaruh terhadap keadilan yang diperoleh di meja pengadilan nantinya.
Bila direfleksikan ke dalam realitas sosial, bahwasanya di luar penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum, praktik hukum tidak selalu selaras dengan rasa keadilan. Itulah mengapa muncul istilah "menyiasati hukum" karena dianggap ada celah-celah yang membebaskan subyek dari jeratan hukuman. Kalaupun bukan celah, subyek akan memberikan argumentasi tentang tindakan yang "belum ada hukumnya". Sebaliknya, muncul istilah "kebal hukum" bagi orang-orang yang dianggap memiliki kekuasaan lebih dibandingkan dengan orang lain. Adapun istilah "mempermainkan hukum" mengacu pada tindakan yang sudah sesuai dengan mekanisme legal-formal tetapi tidak memberikan keadilan bagi orang lain.
Ada tiga alasan mengapa istilah-istilah itu masih lestari. Pertama, tidak adanya prinsip keberanian dalam penegakan hukum. Masyarakat diminta sadar hukum demi ketertiban sosial, tetapi pemerintah belum memberikan bukti bagaimana kekuasaan pemerintahan diarahkan pada nilai-nilai keadilan secara konkret. Pendeknya, keberanian menegakkan hukum bagi "orang kuat" dan "orang kaya" merupakan langkah nyata yang membawa efek terhadap peningkatan rasa keadilan publik.
Kedua, tidak adanya keteladanan oleh aparat penegak hukum. Jika pelanggaran harus ditertibkan, penertiban itu mestilah diawali dari warga negara atau golongan yang dianggap punya kewenangan besar dalam akses terhadap kekuasaan. Hal itu berguna untuk menepis persoalan hukum di Indonesia yang mengidap sindrom "tajam ke bawah, tumpul ke atas".
Ketiga, tak adanya prinsip kepedulian dalam mempraktikkan kewenangan. Hal itu berarti jika hukum dianggap tak mampu memberikan keadilan, kekuasaan pemerintahan merupakan alat untuk menghadirkan kepedulian terhadap sesama. Karena itu, kita menuntut adanya keberpihakan terhadap orang-orang yang belum beruntung, terpinggirkan, dan jauh dari akses hukum dan kekuasaan.
Tuntutan itu kiranya tidak mengada- ada. Sebagai bagian dari cita-cita republik, ketimpangan dalam praktik hukum merupakan kegagalan eksistensial untuk mewujudkan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar