Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 13 November 2018

Trotoar di Jalan Fatmawati//Moral Koruptor//Sampah Bahasa (Surat Pembaca Kompas)


Trotoar di Jalan Fatmawati

Sudah lebih dari empat bulan kami yang tinggal di sepanjang Jalan Raya Fatmawati, Jakarta Selatan, menderita karena macet luar biasa akibat bongkar pasang saluran air, kabel, dan trotoar. Setiap hari saya dan istri "wajib" mengakses jalan raya ini berangkat ke kantor sambil menyimpan dongkol di hati.

Ketika pembangunan MRT di jalan tersebut, saya—dan saya yakin, mayoritas warga yang terkena dampak—sangat memaklumi pembongkaran dan penutupan jalan saat itu meski berlangsung pagi, siang, dan malam. Toh, ketika MRT mulai dioperasikan pada 2019, kami yang akan menikmatinya. Lagi pula, pembangunan jalur MRT terencana dengan baik.

Setelah MRT selesai—selain stasiun-stasiunnya—pihak pembangun segera membereskan dan merapikan jalan rusak. Partisi tengah jadi lebar. Kami sangat apresiatif.

Namun, mulai sekitar empat bulan lalu terjadi pembongkaran kabel dan gorong-gorong di pinggir jalan dari ujung simpang empat Jalan Fatmawati hingga simpang empat Cipete. Pembongkaran itu membuat lajur menyempit dan jalan rusak. Setelah tanah dibongkar dan kabel ditanam, pekerjaan gorong-gorong tak langsung dimulai. Jalan kian semrawut.

Dua bulan lalu gorong-gorong akhirnya dikerjakan. Begitu selesai, sebagian jalan rusak segera diaspal. Namun, tak sampai dua minggu setelah pengaspalan, aspal baru itu dibongkar lagi! Tampaknya Pemprov DKI punya rencana bikin trotoar yang hingga kini masih dikerjakan.

Sangat terlihat berbagai pihak terkait tak mampu berkoordinasi dengan baik. Tak ada rencana besar yang jelas. Padahal, pembangunan bongkar pasang ini dibiayai rakyat melalui APBD. Jakarta kini, oh, Jakarta kini.

Doni Rizal
Jalan Tumaritis, Cilandak Barat,
Jakarta Selatan

Moral Koruptor

Sejak 2004 Komisi Pemberantasan Korupsi telah memproses hukum 554 orang dari berbagai kalangan. Terbanyak, 205 orang, dari kalangan anggota DPR/DPRD dan terkecil, empat orang, dari kelompok korporasi. Demikian menurut Kompas (27/10/2018).

Dalam proses hukum hingga menjelang putusan pengadilan muncul dinamika dalam benak terdakwa apakah akan menelan sendiri persoalan hukum yang sedang melilitnya atau berbagi dengan pihak lain.

Muncul kegundahan dan pertentangan batin sehingga timbul gagasan mengajukan diri sebagai justice collaborator. Pada kasus korupsi berskala besar usul ini selalu muncul.

Ide justice collaborator selalu datang terlambat—ketika mereka sudah jadi pesakitan. Pakta integritas dibuat dan ditandatangani, tapi jumlah pelaku tindak korupsi tak berkurang.

Budi Sartono
Cilame, Kabupaten Bandung Barat,
Jawa Barat

Sampah Bahasa

Merujuk kepada kolom Bre Redana dalam Udar Rasa di Kompas (4/11/2018), "Sampah Bahasa, Taman Bahasa" tentang rasa gundahnya saat jadi juri lomba penulisan kritik, banyak peserta lomba tak mampu menyusun kalimat yang benar alias amburadul.

Pertanyaan saya, apakah itu hanya terjadi di Indonesia? Simak pengalaman di bawah ini.

Saat studi di UVic, Kanada, saya diminta ikut sebagai narasumber yang diikuti para dosen UVic yang profesor dan doktor. Sepuluh menit sebelum usai, saya memberikan hasil diskusi tersebut kepada ketua, Dr Laurie Jackson. Setelah membaca hasil diskusi itu, dia mengatakan, isi dan susunan kalimat bagus dan benar. Sambil tersenyum dia menambahkan bahwa tak semua orang Kanada dapat menulis dalam bahasa Inggris yang betul. "I appreciate very much," katanya.

Sejak saat itu saya tahu bahwa tak semua orang mampu mengungkapkan pikiran dalam bahasa tulisan. Sama saja, saya tak bisa menyanyi walau saat di SMAN jadi anggota paduan suara untuk menyanyi di istana. Premilenial? Pruut!

Suyadi Prawirosentono
Pensiunan Dosen PNS, Selakopi Pasir Mulya,

Bogor, Jawa Barat

Kompas, 13 November 2018
#suratpembacakompas
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger