KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Dari kiri, Ketua YLBHI, Asfinawati, Komisioner Komnas HAM M. Choirul Anam dan Akademisi, M Ali Safaat dalam konferensi pers terkait peluncuran draf Standar Norma dan Setting Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (17/7/2018). Draft norma dan setting itu diharapkan dapat menjadi acuan pelaksanaan noma terkait diskriminasi ras dan etnis terutama dalam Pilpres dan pemilu 2019 nanti.

Seakan terlupakan, 10 November 2018, tepat sepuluh tahun UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis diundangkan.
Undang-undang itu ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta.

Undang-undang itu merupakan fondasi untuk pembangunan bangsa ke depan. Undang-undang itu juga selaras dan sejalan dengan UUD 1945 ataupun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Semangat kelahiran UU Antidiskriminasi berasal dari gerakan reformasi Mei 1998. Presiden Abdurrahman Wahid memperkokoh wajah kemajemukan Indonesia dan sikap politik antidiskriminasi di Indonesia.

Pada era Abdurrahman Wahid untuk pertama kalinya barongsai bisa tampil di ruang publik setelah sekian lama dibungkam Orde Baru. Presiden Abdurrahman Wahid pulalah yang menetapkan Imlek bisa dirayakan secara terbuka dan menjadi hari libur.

Seharusnya, setelah UU Penghapusan Diskriminasi diundangkan, sekat perbedaan etnis, ras, dan golongan sudah tidak ada di bumi Indonesia. Namun, realitas sosiologis justru menunjukkan, pembedaan etnis justru kian terasa.

Pengawasan kemungkinan terjadinya diskriminasi etnis dan ras yang dibebankan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidaklah berjalan. Menurut Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, UU No 40/2008 belum punya peraturan pemerintah. Akibatnya, UU tersebut masihlah berupa teks yang tak bisa dijalankan.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Sejumlah perwakilan dari berbagai elemen masyarakat dan organisasi perempuan berpartisipasi dalam aksi "Women March" dari Jalan MH Thamrin menuju ke depan Istana Kepresidenan, Jakarta, Sabtu (3/3). Aksi ini memperingati Hari Nol Diskriminasi yang jatuh pada 1 Maret. Mereka menyuarakan perlawanan terhadap diskriminasi dan kekerasan berbasis jender dalam tingkat hukum, dan kebijakan.

Inilah penyakit pembangunan hukum di Indonesia. Sebuah undang-undang dibuat seperti hanya mengakomodasi kepentingan politik sesaat, tetapi lalai dalam penyusunan peraturan pelaksanaannya. Undang-undang itu menjadi mandul.

Siapa yang bertugas menyosialisasikan UU Penghapusan Diskriminasi Ras pun tidak jelas. Padahal, UU No 40/2008 itu sudah bisa menjadi alat hukum untuk mengendalikan gerakan intoleransi yang merupakan bagian dari diskriminasi etnis dan ras.

Dalam Pasal 4 (b) misalnya disebutkan, "tindakan diskriminasi etnis dan ras berupa menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis berupa: (a) membuat tulisan atau gambar di tempat umum (b) berpidato mengungkapkan kata-kata tertentu yang dapat didengar orang lain, dan sejumlah pasal lainnya.

Melihat pidato sejumlah elite ataupun "tokoh", bisa ditemukan pidato dengan muatan kebencian (hate speech), menyaksikan meme di media sosial pun bisa ditemukan meme yang isinya bisa ditafsirkan penuh dengan muatan kebencian.

Indonesia adalah negara hukum, bukan negara undang-undang. Undang-undang tak punya makna jika tidak ada kekuasaan yang menegakkannya.

Menjadi tugas pemerintah menerbitkan aturan pelaksanaan UU No 40/2008 dan menegakkannya. Pemerintah hadir untuk menegakkan hukum itu.